tirto.id - Tiket pesawat internasional ke negara-negara tetangga terhitung lebih murah dibanding penerbangan domestik. Banyak wisatawan akhirnya memilih destinasi luar negeri. Apa penyebab harga tiket yang mahal ini?
Dite (30) gigit jari. Rencananya untuk pergi berlibur ke Bali, harus kembali ia urungkan, terganjal harga tiket pesawat yang terhitung mahal.
Memasuki bulan Oktober, Dite langsung memeriksa harga tiket pesawat ke Bali, berharap harganya sudah masuk ke bujet melancong yang sudah dia anggarkan.
"Baru saja tadi pagi cek harga tiket (ke Bali). Pemerintah kan bilangnya Oktober akan nurunin (harga tiket pesawat). Makanya berharap hari ini sudah mulai balik ke normal harganya," ujarnya ketika dihubungi Tirto, Selasa (1/10/2024).
Pemerintah, lewat Satuan Tugas (Satgas) penurunan harga tiket pesawat, memang sempat menargetkan penurunan harga pada Oktober 2024, sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, pada Juli 2024, memperkirakan penurunan harga tiket pesawat terbang sekitar 10 persen.
Hal tersebut nyatanya belum tercapai, hingga pekan pertama Oktober 2024. Meski target tersebut masih mungkin terealisasi, mengingat masih ada sekitar tiga pekan di bulan ke-10 tahun ini.
Uniknya, harga tiket pesawat yang mahal ini, lebih banyak ditemukan dalam penerbangan domestik. Tirto mencoba melakukan pemantauan harga ke sejumlah situs pemesanan tiket pesawat terbang (online travel agent/OTA) sepert Tiket.com dan Traveloka. Harga tiket pesawat satu arah dari Jakarta ke Bali lebih mahal ketimbang harga tiket pesawat ke negara tetangga, Singapura. Padahal kedua rute perjalanan tersebut sama-sama memakan waktu tempuh sekitar 1 jam 50 menit.
Untuk keberangkatan ke Bali, dari Jakarta, tiket pesawat termurah untuk perjalanan pada akhir pekan di akhir Oktober 2024, yakni 25 Oktober 2024, mencapai Rp1,1 juta untuk one way alias satu kali perjalanan (tautan 1, tautan 2). Sementara untuk waktu yang sama, rute ke Singapura, tiket termurahnya ada di kisaran Rp600 ribu (tautan 1, tautan 2).
Bukan hanya ke Bali, saat kami coba memeriksa harga tiket ke Kota Medan –yang berada dekat dengan Singapura, harga tiket pesawat termurah untuk tanggal yang sama juga lebih mahal. Rute Jakarta-Medan menggunakan pesawat terbang, memakan biaya hampir Rp1,6 juta untuk satu kali perjalanan (tautan 1, tautan 2).
Tidak heran kalau hal ini kemudian menurunkan minat pelancong untuk pergi ke destinasi wisata domestik. Hal ini yang setidaknya dirasakan Dite. Meski masih punya ketertarikan untuk berkunjung ke berbagai wilayah di Indonesia, terutama Indonesia bagian timur, namun jika harga tiket masih melambung, dia cenderung memilih destinasi internasional.
“Destinasi domestik sih gak bisa tergantikan ya, pasti akan ada nilai positifnya. Tapi jadinya, frekuensi (pergi berliburnya) lebih banyak ke luar negeri. Misalnya, setahun biasa sekali ke luar negeri, tapi karena harganya lebih murah, jadi ya setahun beberapa kali dan jalan-jalan domestiknya yang berkurang,” ujarnya.
Harga tiket pesawat domestik yang mahal memberi pengalaman lain lagi bagi Daniel (31). Pria yang bekerja di Jakarta ini, kini membawa paspor tatkala pulang ke rumah orang tuanya di Sumatera Utara. Sebab, berkaca dari kunjungan terakhirnya Maret 2024 lalu ke Medan, dia menemukan harga penerbangan yang lebih murah, untuk pulang ke Jakarta dengan singgah dahulu di Malaysia.
“Gue tahu cara ini dari abang gue. Dia kan sering mau ke Jakarta dari Medan. Dia pasti cek tuh, via Singapura atau Malaysia lebih murah atau enggak. Menurut pengalaman dia sih bisa sampai Rp800 ribu-Rp1,2 juga ngiritnya,” ceritanya kepada Tirto, Rabu (2/10/2024).
Berdasarkan pengalaman Daniel, "harga" yang harus dibayar adalah waktu transit 1-2 jam. “Tapi kalau jalan-jalan di bandara juga tidak terasa waktunya,” tambah dia. Dia juga menambahkan rute domestik yang kerap mengalami keterlambatan keberangkatan (delay) juga membuat waktu yang terbuang bisa jadi tidak terlalu berbeda jauh.
Berdasar pantauan Tirto ke situs OTA, cara yang disebut Daniel memang benar memberi alternatif perjalanan yang lebih murah. Dengan mencocokan jam penerbangan dari Medan-Kuala Lumpur dan Kuala Lumpur-Jakartaone way untuk tanggal 25 Oktober 2024, harga termurah ada di kisaran Rp 1,2 juta. Sementara perjalanan langsung rute Medan-Jakarta di tanggal yang sama, biayanya Rp1,6 juta. Ada selisih sekitar Rp400 ribu, tidak sebesar cerita Daniel, namun tetap saja lebih murah.
Dia juga menceritakan rencananya dan keluarga untuk pergi berlibur bersama. Dari awalnya yang berencana ke Bali, kemudian pindah menjadi ke Thailand. Bagi keluarganya yang tinggal di Sumatera Utara, perjalanan ke negara tetangga, lebih murah dibanding ke destinasi favorit domestik seperti Bali.
“Kemarin pas lihat tiket ke Bali, Rp2 juta lebih. Abang gue, lihat opsi lain, Thailand. Itu dia dapat tiket (pesawat terbang) di bawah Rp2 juta pulang-pergi. Gue jadi kayak, ‘mending gue ke sana’,” ujarnya.
Lantas, apa saja sebenarnya aspek yang mempengaruhi mahalnya tiket penerbangan domestik?
Persoalan Avtur dan Biaya dari Pemerintah Jadi Alasan?
CEO AirAsia, Tony Fernandes menyebut ada beberapa hal yang menyebabkan harga tiket pesawat rute domestik di Indonesia cukup tinggi.
Pertama, biaya avtur yang lebih mahal di Indonesia ketimbang negara lain. Kedua, adanya pajak pertambahan nilai (PPN) berlipat yang tidak hanya dikenai ke maskapai, tapi juga penumpang.
Kemudian, adanya tarif batas atas dan bawah yang membuat harga tiket jadi mahal.
"Pembatasan justru membuat harga tiket menjadi lebih mahal. Jadi sebaiknya menghapus batas atas tarif," ujar Tony dikutip dari CNN Indonesia, 5 September 2024 lalu. Hal ini terjadi karena maskapai cenderung menggunakan tarif paling tinggi.
Faktor terakhir adalah nilai tukar mata uang Dollar terhadap Rupiah. Ketika Rupiah melemah, maka daya saing untuk mendapat harga bahan bakar murah juga semakin sulit.
Terkait bahan bakar avtur, berdasar catatan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carrier Association/INACA), bahan bakar mengambil porsi yang gemuk terhadap total biaya operasional maskapai.
Biaya avtur berkontribusi sebanyak 35 persen, diikuti biaya pemeliharan 25 persen, biaya kepemilikan armada pesawat 20 persen, biaya penggunaan bandar udara dan landasan pacu 10 persen, dan 10 persen sisanya biaya lain-lain.
Jika menilik data rangkuman PT Pertamina, harga avtur baru-baru ini bisa dibilang mengalami penurunan. Sebagai contoh, di Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, pada Oktober tahun ini, harga avtur berada di level Rp12 ribu.
Angka itu merangkak turun dari bulan sebelumnya yang berada di kisaran Rp13 ribu dan mencatat harga paling rendah selama 2024. Ketimbang Oktober 2023, harga avtur di Bandara Soekarno-Hatta justru tembus di angka Rp15.448 dan sempat melesat ke level Rp18 ribu selama periode 1-14 Juli 2022.
Meski biaya avtur tampak melorot, ada perbedaan harga antara avtur di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Apabila di Bandara Soekarno-Hatta, yang tercatat punya biaya avtur paling murah, harganya Rp12 ribu, harga avtur di Bandara Lede Kalumbang (dulu Bandara Tambolaka) di Nusa Tenggara Timur (NTT), mencapai Rp14.467.
Selain NTT, data Pertamina menunjukkan kalau lima bandara dengan harga avtur termahal di antaranya terletak di Maluku dan Maluku Utara, seperti Bandara Mathilda Batlayeri, Bandara Kuabang Kao Halmahera Utara, dan Bandara Dumatubun.
Pengamat Penerbangan, Alvin Lie, menerangkan bahwa harga avtur yang lebih mahal di Indonesia Timur, yang ujung-ujungnya bikin harga tiket menjadi lebih mahal tersebut, menjadi salah satu penyebab mahalnya harga tiket penerbangan domestik ke daerah sana.
“Karena biaya logistiknya, biaya angkutnya mahal, kemudian juga setiap bandara butuhnya hanya sedikit-sedikit. Sehingga tidak mencapai skala keekonomiannya di sana. Tapi tetap harus ada persediaan. Sehingga walaupun nilainya avtur tidak sesuai dengan biaya angkutnya di sana, tetap harus ada,” jelas Alvin ketika berbincang dengan Tirto, Rabu (2/10/2024).
Kemudian ada juga faktor banyaknya penerbangan ke daerah Indonesia Timur yang dilayani dengan pesawat propeller bermuatan penumpang sedikit, alih-alih pesawat jet yang bisa mengangkut banyak penumpang. Menurut Alvin, hal itu dikarenakan beberapa bandara di sana tak bisa didarati pesawat jet, dan hal ini lagi-lagi menjadi tantangan.
“Tapi kalau di bagian timur Indonesia, kadang cuma bisa terbang 6-7 [jam], maksimum 8 jam sehari. Ini kembali lagi menjadikan produktivitas pesawat itu menurun. Ketika produktivitas menurun, biayanya juga naik. Bukan hanya pesawatnya. Awak pesawatnya ini biayanya juga naik,” kata Alvin.
Di luar itu, Alvin, yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) mengungkap, secara umum, harga tiket penerbangan domestik turut dipengaruhi oleh “pungutan” dari pemerintah. Alvin bilang, selama ini yang naik bukanlah harga tiket pesawat, melainkan “beban-beban” yang dititipkan pada tiket pesawat.
Sementara harga tiket penerbangan internasional, murni merupakan mekanisme pasar dan tidak diatur oleh pemerintah.
“Jadi bisa sangat murah dan bisa menjadi sangat mahal. Karena harga tiket pesawat ini ada siklusnya. Ada masa-masa mahal, ada masa-masa murah. Ketika permintaan tinggi, harga tiket akan mahal. Tapi ketika permintaan rendah, harga tiket akan turun,” kata Alvin.
Dengan kata lain, makin jauh hari tiket itu dipesan, maka harganya semakin murah. Sementara semakin mepet pemesanan tiket dilakukan dengan hari keberangkatan, dan ketika sudah mendekati target muatan penumpang, maka semakin meroket harganya.
Lebih jauh tentang penerbangan domestik, komponen tiket pesawat yang selama ini dibayarkan masyarakat meliputi tarif jarak yang dibedakan dari jenis pesawat (propeller dan jet) dan kelompok pelayanan (full services, medium services, dan no frills services), pajak, iuran wajib asuransi, serta biaya tuslah atau tambahan (biaya yang ditetapkan dikarenakan kondisi seperti fluktuasi kenaikan harga avtur).
“Yang naik selama ini, ini sejak tahun 2019, yang naik adalah pertama PPN. PPN itu naik April 2022. Naik dari 10 persen menjadi 11 persen. Kenyataannya naik 1 persen, tapi 1 persen dari 10 persen, ini 10 persen sebetulnya. Kemudian ada PJP2U. PJP2U itu adalah singkatan dari Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara,” jelas Alvin.
PJP2U yang merupakan retribusi bandara ini sempat mengalami kenaikan pada medio 2022. Ada setidaknya 18 bandara yang menerapkan kenaikan tersebut, di antaranya Bandara Pattimura di Ambon, Bandara Juanda Surabaya, dan Bandara Frans Kaisiepo Biak.
Di bandara Pattimura Ambon misalnya, tarif PJP2U domestik naik dari Rp50 ribu menjadi Rp70 ribu dan tarif PJP2U internasional menjadi Rp175 ribu, dari sebelumnya sebesar Rp150 ribu. Sementara di Bandara Juanda, tarif PJP2U domestik naik dari Rp101 ribu menjadi Rp119.880.
Namun begitu, rupanya tak banyak penumpang pesawat mafhum soal nilai PJP2U dan adanya komponen lain, seperti Iuran Wajib Jasa Raharja (IWJR), yang termasuk dalam tiket pesawat.
Hal itu tercermin dari hasil survei APJAPI yang melibatkan 7.414 penumpang pesawat. Data yang diterima Tirto menunjukkan, sebanyak 90,9 persen responden mengaku belum tahu terkait komponen dan nilai PJP2U dan IWJR.
Survei tersebut berlangsung selama Januari sampai Februari 2024 dan dilakukan di lima bandara, antara lain Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bandara Juanda, Bandara Sultan Hasanuddin Sulawesi Selatan, dan Bandara Kualanamu Sumatera Utara.
Sedangkan, untuk rute internasional, Alvin juga menyebut, sepengetahuannya, pemerintah Malaysia misalnya, memberikan insentif pada maskapai yang mendatangkan pengunjung.
"Ini yang kita perlu tahu, bahwa pemerintah Malaysia itu membutuhkan statistik kunjungan," katanya.
Kondisi Keuangan dan Data Penumpang Maskapai
Meski harus menghadapi isu besar terkait harga tiket rute domestik yang terbilang mahal, pengguna layanan transportasi udara cenderung stabil jumlahnya. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam setahun terakhir saja, jumlahnya berfluktuasi. Bahkan, jumlah penumpang penerbangan domestik menunjukkan peningkatan secara year-on-year (yoy) pada Agustus 2024 dibanding Agustus 2023.
Sementara itu, jumlah penumpang penerbangan internasional cenderung stagnan dalam periode yang sama, meski secara keseluruhan mengalami kenaikan jumlah pada Agustus 2024 dibanding Agustus 2023.
Para penyedia maskapai di Indonesia pun, nyatanya masih bisa meraup untung dan peningkatan jumlah penumpang. Hal ini bisa dilihat dari laporan operasional dan keuangan dari Garuda Indonesia dan Air Asia, dua maskapai yang merupakan perusahaan terbuka.
Garuda Indonesia, dalam laporan kuartal II tahun 2024 (April-Juni) mencatatkan jumlah penumpang sebesar 6,11 juta. Nilai ini naik 34,99 persen dibanding periode yang sama tahun 2023 sebanyak 4,52 juta penumpang.
Peningkatan jumlah penumpang ini melanjutkan tren peningkatan jumlah penumpang selama tahun semester I tahun 2024 (Januari-Juni).
“Dengan demikian, hingga akhir semester I 2024, Garuda Indonesia berhasil mengangkut 11,53 juta penumpang,” ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, dalam keterangan resmi yang dikutip Antara, Agustus 2024 lalu.
Jika dibandingkan dengan total semester I 2023, ketika maskapai ini mengangkut 9,05 juta penumpang, ada kenaikan jumlah penumpang sekitar 27,4 persen. Sebagai catatan, jumlah penumpang yang tercatat tersebut berasal dari keseluruhan Garuda Indonesia Group, yang mencakup maskapai Garuda Indonesia dan Citilink.
Jika mau dibedah lebih jauh, penumpang rute domestik juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan. Dari Citilink, maskapai yang berada di bawah naungan Indonesia Group, dengan mayoritas rute domestik (43 rute domestik dan 5 rute internasional), mencatat 6,26 juta penumpang pada semester I 2024, naik 15,5 persen dibanding semester I 2023 (5,42 juta penumpang).
Sementara untuk maskapai Garuda Indonesia, khusus untuk rute domestiknya, tercatat telah mengangkut 4,13 juta penumpang pada semester I 2024. Jumlah penumpang ini naik 42,41 persen dibanding semester I 2023 (2,9 juta penumpang).
Menariknya, jika melihat pertumbuhan, rute internasional Garuda Indonesia mencatatkan kenaikan jumlah penumpang yang lebih signifikan. Dari jumlah penumpang sekitar 730 ribu pada semester I 2023, jumlahnya naik menjadi 1,14 juta penumpang pada semester I 2024, naik 56,16 persen.
Hal ini bisa menjadi indikasi makin menariknya rute internasional, setidaknya yang ditawarkan Garuda Indonesia.
Sedangkan berdasar laporan keuangan semester I, Garuda Indonesia Group, disebut mengumpulkan pendapatan sebesar 1,62 miliar dolar AS atau Rp25 triliun. Angka ini naik sekitar 16 persen dibanding periode yang sama tahun 2023, sebesar 1,40 miliar dolar AS. Namun, secara keseluruhan Garuda Indonesia masih mengalami rugi. Besar rugi periode berjalan sampai dengan 30 Juni 2024 sebesar 100,35 juta dolar AS atau Rp1,5 triliun. Nilai kerugian ini naik sekitar 31 persen dibanding semester I tahun 2023, yang sebesar 76,38 juta dolar AS.
Sementara itu, maskapai lain, Air Asia, dalam tiga bulan pertama tahun 2024, mengangkut sekitar 1,6 juta penumpang, naik 33 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023, saat mereka mengangkut sekitar 1,2 juta penumpang.
Dalam laporan tahunan terakhir mereka, pada tahun 2023, disebutkan Air Asia Indonesia mencatatkan 6,18 juta penumpang pada tahun tersebut. Angka ini naik 90,27 persen dibanding sepanjang tahun 2022 (3,24 juta penumpang).
“Pulih dari pandemi COVID-19, seluruh industri penerbangan Tanah Air pun mulai menggeliat bangkit dari keterpurukan. Begitu juga PT AirAsia Indonesia Tbk. (AAID/CMPP), yang mencatatkan peningkatan kinerja keuangan yang signifikan sepanjang tahun 2023 dan membuktikan mengalami pertumbuhan jika dibandingkan tahun 2022,” tutur Direktur Utama Indonesia AirAsia, Veranita Yosephine Sinaga, dalam keterangan di situs resmi mereka.
Secara pendapatan, pada tahun 2023, Air Asia Indonesia meraup Rp6,62 triliun, naik 75,24 persen yoy.
Sementara berdasar laporan keuangan semester I tahun 2024, pendapatan usaha Air Asia tercatat sebesar Rp3,78 triliun, naik sebesar 24 persen dibanding periode yang sama tahun 2023, sebesar Rp3,048 triliun. Sementara rugi periode berjalan Air Asia mencapai Rp1,29 triliun pada semester I 2024, naik signifikan dari rugi di periode yang sama tahun 2023 sebesar Rp172,8 miliar.
Bagaimana Andil Sektor Transportasi dalam Inflasi?
Indonesia telah mengalami deflasi beruntun dalam 5 bulan terakhir. BPS melaporkan, pada September 2024, angka deflasi Tanah Air mencapai 0,12 persen secara bulanan atau month-to-month (mtm). Angka deflasi itu makin dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03 persen.
Kondisi ini diketahui telah terjadi sejak Mei 2024 yang mencatat deflasi sebesar 0,03 persen, lalu berlanjut pada Juni 2024 sebesar 0,08 persen, dan Juli 2024 sebesar 0,18 persen.
Kelompok transportasi. termasuk biaya angkutan udara, memiliki andil sebesar 0,02 persen di deflasi September 2024. Tingkat deflasi kelompok ini yakni sebesar 0,16 persen. Hal itu dipengaruhi oleh penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi pada awal September.
“Penurunan harga bensin menyumbang deflasi dengan andil sebesar 0,04 persen. Tingkat deflasi bensin pada September 2024 merupakan tingkat deflasi terdalam sejak Desember 2023,” tulis BPS dalam laporannya.
Setelah sebelumnya inflasi, komoditas bensin dan solar mengalami deflasi pada September 2024, dengan tingkat deflasi masing-masing sebesar 0,72 persen dan 0,74 persen.
Dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, sektor transportasi memberikan andil paling besar kedua terhadap inflasi. Namun begitu, pada September 2023, Indonesia tercatat mengalami inflasi sebesar 0,19 persen mtm, di mana komponen transportasi turut menyumbang sebesar 0,04 persen dengan besaran inflasi sebesar 0,29 persen.
Sebagai langkah dalam menyesuaikan harga penerbangan domestik, Alvin menyampaikan, pemerintah sebaiknya tidak melanjutkan pola membangun bandara yang berujung mangkrak.
“Kalaupun ada anggaran, tingkatkan infrastruktur bandara yang ada dulu yang produktif. Supaya kapasitasnya misalnya bisa didarati jet kecil setara ARJ21, ARJ85 seperti yang dipakai Pak Jokowi kemarin ke IKN. Jet yang penumpangnya di bawah seratus orang,” katanya kepada Tirto, Rabu (2/10/2024),
Kemudian soal investasi di infrastruktur, sebaiknya jam operasi bandara-bandara di Indonesia Timur bisa lebih panjang, alias tidak tutup pukul lima. Dengan jam operasi lebih panjang, menurut Alvin, maka akan lebih banyak pelayanan penerbangan yang bisa dilayani.
Hal itu disebut Alvin bakal meningkatkan produktivitas pesawat, produktivitas awak, dan sebagainya.
“Saya kira itu akan lebih bermanfaat daripada berlomba-lomba membangun lebih banyak bandara lagi. Dari sana nanti itu efeknya akan, multipliereffect-nya luar biasa karena akan lebih banyak rute yang bisa dilayani, akan lebih banyak frekuensi penerbangan, jadwal, dan sebagainya. Kalau penumpang itu nanti jumlahnya naik, otomatis biaya angkut per penumpang per kilometernya akan turun,” katanya.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty