Menuju konten utama

Mengapa Bazis DKI Dianggap Ilegal?

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menilai Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (Bazis) Provinsi DKI Jakarta ilegal karena tidak sesuai dengan Undang-undang.

Mengapa Bazis DKI Dianggap Ilegal?
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan pidato pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) ke VIII Forum Zakat di Mataram, NTB, Kamis (1/2/2018). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

tirto.id - Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (Bazis) Provinsi DKI Jakarta masih dianggap ilegal oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).

"DKI lembaganya masih Bazis. Itu melanggar Undang-undang. Masyarakat seharusnya tidak menyalurkan zakat di lembaga yang seperti itu," kata Ketua Baznas Bambang Sudibyo pada Rakernas Baznas 2018 di Sanur, Bali, dikutip dari Antara.

Menurutnya Bazis DKI masih resisten terhadap Baznas. Ia juga bilang bahwa Bazis DKI enggan bertransformasi jadi Baznas daerah seperti amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat .

Sandiaga Uno, Wakil Gubernur DKI, mengaku baru mendengar kabar itu dan kaget karenanya.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Bazis DKI Zahrul Wildan mengatakan ada latar belakang sejarah yang membuat lembaganya bersikukuh tak mau menginduk pada Baznas dan menyangkal disebut ilegal.

Salah satu alasannya adalah karena Bazis DKI telah berdiri jauh sebelum pengelolaan zakat diatur lewat UU 23/2011 yang menjadi landasan hukum berdirinya Baznas. Jika bergabung kepada Baznas, ia khawatir, "ada nilai sejarah yang cukup panjang yang bisa terlupakan."

Orang yang berinisiatif mendirikan Bazis DKI tahun 1968, kata Wildan, di antaranya Buya Hamka dan Abdullah Syafei. Saat itu Hamka menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia. Sementara Syafei -- lebih dikenal sebagai Kiai Diloh -- merupakan pendiri dan pengasuh Perguruan As-Syafi'iyah.

Pada 31 Oktober di tahun yang sama, Presiden ke-2 Indonesia Soeharto mengeluarkan surat perintah presiden dan menyerukan pelaksanaan zakat untuk pembangunan nasional. Surat tersebut direspons oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI pada saat itu, melalui penerbitan Surat Keputusan No. Cb14/818/68.

SK Ali Sadikin itu yang jadi pijakan bagi Bazis DKI untuk beroperasi. Keputusan ini pula yang membuat mereka tidak terima dianggap ilegal.

Selain itu, Wildan juga bersikukuh lembaganya tidak melanggar ketentuan Undang-undang tentang pengelolaan zakat. Ia menyitir pasal 43 beleid tersebut yang berbunyi: "Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Badan Amil Zakat Daerah kabupaten/kota yang telah ada sebelum aturan berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai Baznas provinsi."

Untuk mempertegas status ini, Bazis DKI kemudian menyelenggarakan diskusi grup terfokus pada Rabu (18/4) kemarin. Beberapa tokoh yang hadir di antaranya Ridwan Saidi, CEO Lazis NU Care/Lazis NU KH. Syamsul Huda hingga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana dan Muhammad Taufik.

Hasilnya, menurut Humas Bazis DKI JakartaErwanto, "Mereka sepakat, bicara soal kelembagaan, Bazis Jakarta ini legal dan sah. Bahkan Pak Taufik bilang, kalau perlu nanti dibuatkan Perda-nya." Namun perlu dicatat bahwa FGD ini bukan forum pengambil keputusan. FGD hanya berfungsi untuk memperjelas situasi.

Landasan Hukum Baznas Lebih Kuat

Dikuatkan dengan kesimpulan FGD, Erwanto bilang Bazis DKI bakal tetap terus beroperasi meski Kepala Baznas Bambang Sudibyo mengimbau masyarakat untuk tak mengirimkan infak dan sedekah lewat mereka.

"Saya pikir masyarakat juga sudah percaya kalau hasil sedekah dan infak mereka dikelola secara transparan dan bertanggung jawab," imbuhnya.

Pengumpulan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) lembaga itu mencatatkan peningkatan dalam lima tahun terakhir. Pada 2017, Bazis mencatat penerimaan ZIS tertinggi, yakni sebesar Rp 192,1 miliar.

Sementara sejak 2013 hingga 2016, berturut-turut Rp 97,9 miliar, Rp 113,7 miliar, Rp 134,3 miliar dan Rp 154 miliar.

Berdasarkan data terbaru yang dapat diakses di situsweb bazisjakarta.id, lembaga itu telah mengumpulkan Rp2,5 miliar zakat dari 153 muzaki (sebutan bagi orang yang memberikan zakat) di Jakarta. Sementara infak telah terkumpul sekitar Rp217 juta dari 169 munfiq (orang yang memberi infaq).

Pengamat dan praktisi Hukum Asep Warlan Yusuf mengatakan karena Bazis DKI didirikan lewat SK Gubernur maka kemungkinan besar dana yang mereka kumpulkan disalurkan dengan benar. Namun demikian, ia menganggap bahwa Bazis tetap harus bergabung dengan Baznas agar pengelolaan zakat di Indonesia bisa terkoordinasi dengan baik.

Infografik current issue bazis DKI jakarta

Di samping itu, ia menegaskan, "perintah Undang-undang harus dijalankan di atas SK Gubernur. Sehingga dia tetap harus bergabung."

Kepala Baznas Bambang Sudibyo bersikeras bahwa Bazis DKI Jakarta ilegal. Sebabnya, kata dia, landasan yang dipakai oleh Bazis DKI hanya SK Gubernur yang lebih rendah dari undang-undang berdasarkan hierarki sistem hukum di Indonesia.

Bambang bilang kalau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, semua lembaga pengelola zakat diwajibkan bergabung dengan Baznas.

"Di PP 14/2014, kan, diberi waktu sampai 25 November 2016. Mereka diberi waktu untuk menyesuaikan," ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (19/4/2018).

Substansi Bambang benar, tapi landasan hukum yang ia pakai keliru. Aturan mengenai penyesuaian bukan di PP, tapi di UU 23/2011 Pasal 43 ayat (4). Di sana disebutkan bahwa "Lembaga Amil Zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan." Dan UU 23/2011 diundangkan pada 25 November 2011.

Ada ketentuan pidana jika Bazis DKI menolak bergabung dengan Baznas. Sanksi yang tertera di Pasal 41 UU itu berbunyi: "...pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta."

Baca juga artikel terkait ZAKAT atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino