Menuju konten utama

Mengapa Aset First Travel Diserahkan kepada Negara Bukan Jemaah?

Ada risiko yang akan ditimbulkan ketika aset First Travel diserahkan kepada negara. Salah satunya adalah hilangnya aset.

Mengapa Aset First Travel Diserahkan kepada Negara Bukan Jemaah?
Terdakwa Direktur Utama First Travel Andika Surachman Direktur Anniesa Hasibuan dan Direktur Keuangan Siti Nuraida Hasibuan menjalani sidang kasus dugaan penipuan dan pencucian uang biro perjalanan umrah First Travel dengan agenda pembacaan amar putusan di Pengadilan Negeri Kota Depok, Rabu (30/5/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok menyerahkan barang sitaan biro perjalanan haji dan umrah First Travel ke negara dinilai tidak tepat. “Lebih tepat kalau hakim putuskan dikembalikan kepada korban,” kata ahli hukum pidana Universitas Indonesia Gandjar L. Bonaparta kepada Tirto, Sabtu (2/6).

Jumlah kerugian masing-masing calon jamaah First Travel memang berbeda-beda. Untuk itu teknis pembagian dan penentuan nilai besaran sebaiknya dimusyawarahkan oleh para korban. “Bentuk sendiri panitia penyelesaian,” ujar Ganjar

Hal senada disampaikan ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya barang bukti dalam perkara pidana seharusnya dikembalikan kepada pihak yang berhak. Dalam kasus First Travel, kata Fickar, pihak yang berhak menerima barang sitaan ialah para korban. Fickar mengatakan barang sitaan atau barang bukti hanya bisa dikembalikan ke negara apabila kejahatan yang terjadi merugikan negara.

“Tetapi jika barang barang itu milik masyarakat atau ada pemiliknya, maka putusan pengadilan akan memutuskan menyerahkan pada pihak yang berhak,” kata Fickar. "Jika barang bukti jelas merupakan milik masyarakat, maka menjadi tidak logis dan melawan hukum jika diserahkan atau dirampas untuk negara.”

Fickar menilai berrisiko ketika aset First Travel diserahkan kepada negara. Salah satunya hilangnya aset-aset tersebut. Oleh sebab itu, Fickar menilai perlu gugatan perdata untuk menjaga aset tersebut.

“Kalau sudah diproses hukum pidana, seringkali barang bukti berkurang. Masyarakat korban sulit mengontrolnya. Mekanisme perdata melalui kepailitan itu satu upaya proteksi perdata bagi masyarakat korban,” kata Fickar.

Fickar menambahkan, semua aset First Travel yang disita harus berada di rumah penyimpanan barang sitaan (Rupbasan). Semua barang merupakan tanggung jawab penuntut umum. “Ada Rupbasan (Rumah Penyimpanan Barang Sitaan). [barang aset First Travel] tanggung jawab penuntut umum sekaligus eksekutor,” ujar Fickar.

Tidak Tahu Jumlah Aset

Hingga saat ini pihak korban dan penasihat hukum First Travel mengaku belum tahu jumlah pasti aset yang disita jaksa. Penasihat hukum korban First Travel yang tergabung dalam PPAK FT Lutfi Yazid menerangkan pihak korban telah menanyakan jumlah aset milik bos First Travel ke polisi. Namun mereka tidak mendapat kejelasan total aset. Hal itu menjadi landasan PPAK FT membuat permohonan dalam persidangan untuk segera melelang aset sekaligus mencari aset lain.

“Mereka merasa kurang ada transparansi dan kemudian mereka merasa kok hanya dapat janji-janji,” kata Yazid kepada Tirto.

Yazid mencontohkan bagaimana para korban sudah berkali-kali meminta daftar barang bukti ke Bareskrim Mabes Polri. Namun, pihak Mabes Polri tidak pernah memberikan daftar aset kepada korban yang tergabung dalam PPAK FT. Dalam pandangan Yazid, tindakan pihak Bareskrim telah melanggar UU Perlindungan Saksi dan Korban yang mempunyai hak untuk mengetahui semua aset First Travel.

"Berarti hak mereka dikebiri dong. Jadi gak bisa seperti itu. Makanya mereka menolak," kata Yazid.

Selain itu, Yazid mengaku korban yang bergabung dengan PPAK FT kaget dengan aset yang disita polisi. Ia bercerita, para korban yang tergabung dalam PPAK FT berperan aktif membuka daftar aset FT. Namun informasi yang disampaikan polisi terasa ganjil. "Kok yang ada mobil luxio. Kok hanya sepasang? dulu banyak," contoh Yazid.

Pihak PPAK FT pun memutuskan untuk tidak menerima eksekusi karena khawatir dengan proses pembagian aset. Yazid menerangkan, sekretariat PPAK FT berada di gang. Ia khawatir, puluhan ribu jemaah justru terlunta-lunta meminta uang mereka kembali. Selain itu, para korban tidak mempunyai kemampuan mengelola aset. Oleh sebab itu, Yazid berpandangan, jaksa sebagai perwakilan negara layak sebagai pengelola aset.

Yazid tidak mau menyebut pihak yang berperan meruwetkan pengembalian aset kepada calon jemaah. Ia berharap, putusan hakim PN Depok menjadi pintu untuk pendistribusian aset di masa depan. "Mudah-mudahan dengan dirampas oleh negara jadi pintu masuk [cara pendistribusian aset...Kami minta fatwa ke MA," kata Yazid.

Pihak penasihat hukum First Travel Wirananda pun belum bisa berbicara tentang jumlah aset. Ia beralasan, pihak pengadilan belum memberikan salinan putusan sehingga belum memeriksa kebenaran aset tersebut. "Kami belum menerima salinan daftar aset yang dimiliki kamu belum bisa ambil kesimpulan mas," kata Wirananda kepada Tirto.

Wirananda mengatakan sudah berusaha mencari detail aset yang disita. Mereka pernah mengajukan permohonan daftar aset pada saat persidangan. "Saat awal sidang , kami ngotot minta diberikan daftar asset FT, Namun hakim tidak mengizinkan," kata Wirananda.

Wirananda mengakui adanya dugaan pihak tertentu yang ingin memanfaatkan aset First Travel. Namun, ia tidak merinci siapa pihak yang memanfaatkan aset. "Mungkin sebuah institusi," sebut Wirananda.

Pengacara tak mempersoalkan putusan hakim serahkan aset First Travel ke negara asalkan nanti dikembalikan kepada calon jemaah. Hal itu sesuai dengan pandangan kliennya, Andika Surrachman yang berkomitmen agar seluruh aset yang ada diberikan kepada calon jemaah.

Utuh dan Disimpan Baik

Jaksa penuntut umum (JPU) perkara FT Heri Jerman menegaskan, semua bukti perkara First Travel tetap utuh dan disimpan dengan baik. Pihak JPU memastikan kejaksaan tidak akan menggelapkan bukti. "Gak mungkin JPU main-main dalam mengelola barang bukti. semuanya masih tersimpan dengan Baik dan "semuanya" sesuai dengan apa yang disita dari Penyidik," kata Heri kepada Tirto, jumat.

Hal senada juga diungkapkan penasihat hukum korban First Travel di luar PPAK FT Riesqi Rahmadiansyah. Riesqi bercerita, dirinya telah mendapat daftar barang sitaan jaksa dan melakukan komunikasi intens dengan Andika untuk mencari aset First Travel. Berdasarkan dokumen yang diperolehnya serta pencocokan di lapangan, Riesqi melihat aset First Travel masih tetap ada dan utuh.

"Mungkin karena jaksa terlalu lelah membaca 810 dokumen tersebut. Saya kemarin selama empat jam melakukan kroscek terhadap aset-aset besar seperti gedung, rumah venesia, atau yang paling ini restoran di london ternyata memang tiga aset ini ada dalam bukti penyitaan," kata Riesqi kepada Tirto.

Riesqi mengaku menyayangkan putusan hakim yang menyerahkan barang sitaan kepada negara. Menurut pria yang pernah aktif di LBH Jakarta ini, negara seharusnya tidak terlibat dalam perkara dana calon jemaah FT. Ia mengacu kepada undang-undang ham 39 tahun 1999, yang menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh dipidana karena tidak bisa melakukan suatu prestasi. Oleh sebab itu, Firs Travel tidak bisa dipidana karena permasalahan lebih mengarah pada hukum perdata. "Tapi kadung sudah dibawa ke tindak pidana, minimal hakim melihat putusannya adalah mengembalikan aset atau jangan disebut dalam aset itu adalah dikembalikan untuk negara tapi ditahan negara untuk kepentingan korban," kata Riesqi.

"Jadi sebenarnya kalau aset disebut ilang tidak. Aset itu ada disita. Ada bukti penyitaannya. Cuma kekhawatiran kami ada pihak-pihak yang sengaja mengecil-ngecilkan jumlah aset agar seakan-akan itu jemaah sudah tidak punya harapan jika diberangkatkan dengan aset First Travel," kata Riesqi.

Baca juga artikel terkait KASUS FIRST TRAVEL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Muhammad Akbar Wijaya