tirto.id - Obsesi manusia untuk terbang terbentang sejak dahulu kala dan terekam dalam lagu, cerita rakyat, dongeng, hingga mitologi. Mitologi jadul bangsa Samara contohnya. Dalam kisah itu, Vuma, manusia Samara yang sakti nan perkasa, dikisahkan bisa terbang seperti burung. “Dia mengikat pinggangnya, dia terbang, ‘vauu pii’,” dengan mengepakkan sayap seperti yang dimiliki beo, demikian menurut mitologi itu.
Orang Guiana pun punya cerita serupa. Penduduk asli Amerika Selatan itu percaya sesepuh Afrika hanya perlu menempatkan diri mereka ke labu kosong (gobi), menutupnya, dan membuat mereka terbang kembali ke kampung halamannya di Afrika.
Lalu lahirlah Leonardo da Vinci yang membuat obsesi manusia untuk terbang kian saintifik. Pada abad ke-15, da Vinci merancang “ornithopter,” sebuah mesin terbang yang menurut penuturannya terinspirasi dari kelelawar, burung, dan layang-layang. Pada abad ke-19, kemunculan balon terbang raksasa Zeppelin membuat obsesi manusia itu, menjadi nyata.
Dalam sebuah tulisan di The Atlantic, kini manusia bisa “terbang” berkat jasa Wright bersaudara, Donald Douglas Sr., James H. "Dutch" Kindelberger, James S. McDonnell, dan William E. Boeing.
Nama terakhir, yang merasakan terbang untuk pertama kalinya pada 1914, adalah pendiri Boeing, perusahaan produsen pesawat komersial.
William Edward Boeing, anak dari ibu keturunan Austria dan ayah keturunan Jerman, lahir pada 1 Oktober 1881. Di usianya yang ke-8, Boeing kehilangan sosok ayah. Sang bunda mengirim Boeing kecil ke sebuah sekolah berasrama di Swiss, yang menurut Alain Pelletier dalam bukunya berjudul Boeing: The Complete Story, sangat ketat dan memiliki kurikulum serius. Sekembalinya dari Swiss, Boeing berkuliah di Sheffield Scientific School, Yale University. Setelah lulus, Boeing muda bekerja di industri perkayuan.
Masih menurut Pelletier, selepas mengumpulkan cukup uang, Boeing mencari kerja di “sesuatu yang besar.” Pada Januari 1910, pencarian itu dimulai kala ia menyaksikan American Air Show, pertunjukan pesawat yang diadakan di Los Angeles, Amerika Serikat. Di American Air Show, Boeing muda berkenalan dengan seorang pilot bernama Louis Paulham. Lantas, hampir empat tahun berselang, tepatnya pada 4 Juli 1914, Paulham mengajak Boeing muda terbang untuk pertama kalinya.
Selepas melakukan penerbangan perdana itu, Boeing mengatakan: “Pesawat ini tak bagus-bagus amat. Kupikir, kita bisa membuat yang jauh lebih hebat.” Dalam bukunya, Pelletier lantas mengatakan bahwa di titik itulah “perjalanan luar biasa Boeing dimulai.”
Dipercaya Kantor Pos
Pada 15 Juli 1916, tepat 102 tahun yang lalu, Boeing mendirikan Pacific Aero Products Co, yang kelak berganti nama menjadi Boeing Airplane Co. Berlokasi di galangan kapal di Seattle yang dibeli Boeing pada 10 Maret 1910 dari penguasa Amerika bernama Ed Heath, Boeing menciptakan pesawat pertamanya: Model C.
Dalam laman resmi Boeing, Model C yang diperkenalkan pada 1917 itu disebut-sebut sebagai pesawat yang seluruhnya dirancang oleh Boeing “yang pertama sukses secara finansial”. Secara keseluruhan, Boeing menciptakan 56 unit Model C, yang 51 di antaranya, dibeli Angkatan Laut Amerika Serikat. Pasukan tempur itu menggunakan Boeing Model C untuk bertempur di Perang Dunia I.
Pada 1919, Boeing mengembangkan sayapnya. Selepas menciptakan pesawat bagi dunia militer, mereka membikin B-1, pesawat komersial pertama dan digunakan untuk membawa surat-surat pos dari Seattle ke Kanada. Kemudian pada 1927, Boeing mengembangkan lebih jauh pesawat pos itu. Mereka menciptakan Model 40A yang benar-benar “dirancang bagi pengiriman surat.” Atas rancangan khusus inilah Kantor Pos Amerika Serikat memberikan kontrak eksklusif kepada Boeing untuk mengirim surat dari San Francisco ke Chicago.
Pada 1931, gabungan Boeing Air Transport (anak usaha Boeing), National Air Transport, Varney Airline, dan Pacific Air Transport bergabung untuk membentuk maskapai bernama United Airlines. Praktis, di dunia maskapai, United Airlines hanya bersaing dengan American Airlines. Sayangnya, persaingan kedua maskapai tersebut terasa hambar. Terutama karena pesawat yang mendukung kedua maskapai bersaing biasa-biasa saja. Dari ujung ke ujung Amerika Serikat, kedua maskapai sama-sama butuh waktu lebih dari 24 jam.
Presiden American Airlines C. R. Smith lantas membuat keputusan revolusioner. Ia meminta Douglas menciptakan pesawat yang mampu membawa para penumpang bepergian dari ujung ke ujung Amerika Serikat dalam tempo semalam. Pada 1936, lahirlah Douglas DC-3, pesawat yang dipesan Smith. Bermesin fixed-wing propeller driven, DC-3 sanggup menempuh jarak hingga 2.300 kilometer dan berkecepatan hingga 333 kilometer per jam. CNNmenyebutkan bahwa DC-3 adalah “ikon" dan "sukses merevolusi industri perjalanan udara, meskipun hanya sanggup mengangkut 21 penumpang".
Boeng tak tinggal diam menyaksikan kelahiran DC-3. Mereka harus merilis pesawat yang lebih cepat dan mampu menampung lebih banyak memuat penumpang. Pesawat bermesin jet adalah jawabannya.
Pada 1947, Boeing sesungguhnya telah memiliki pesawat bermesin jet, yaitu B-47 Bomber. Dengan kecepatan hingga 945 kilometer per jam dan mampu menjelajah hingga 6.437 kilometer, pesawat ini sudah cukup mampu mengalahkan DC-3. Sayangnya, B-47 Bomber adalah pesawat militer. Boeing harus memodifikasi atau merancang ulang pesawat bermesin jet agar memenuhi standar pesawat komersial.
Tujuh tahun berselang, tepatnya pada 1954, lahirlah 707, pesawat komersial bermesin jet pertama produksi Boeing. Meski sukses, Boeing sejatinya terlambat. Pada awal dekade 1950an, De Havilland, perusahaan pembuat pesawat asal Inggris merilis De Havilland Comet, pesawat komersial bermesin jet pertama. Namun kecelakaan yang menimpa de Havilland Comet pada 1954 membuat 707 punya nasib mujur.
Dalam tulisannya di Wired, Jason Paur mengatakan bahwa 707 mempopulerkan perjalanan dengan jet.
Boeing 707 melakukan terbang perdana pada 20 Desember 1957. Pesawat seberat 112,5 ribu kilogram itu mampu mengangkut 181 penumpang dengan daya jelajah sejauh 4.800 kilometer. 707 sukses merevolusi dunia kedirgantaraan komersial setelah merilis DC-3.
Sayangnya, meskipun sukses, Boeing 707 punya cela. Mengutip The Telegraph, 707 merupakan pesawat komersial yang paling sering kecelakaan. Dari 1956 hingga 2016, angka rata-rata kecelakaan 707 sebesar 4,28 di tiap 1.000 kecelakaan. Paling besar dibandingkan DC-8 (pesawat sejenis dari Douglas) dengan rata-rata sebesar 4, dan Airbus A310 dengan rata-rata sebesar 1,85.
737: Produk Paling Sukses Boeing
Sebagaimana dicatat The New York Times pada 17 Juli 1964, Boeing tengah menyiapkan pesawat yang ditujukan untuk penerbangan jarak pendek. Rencananya, pesawat itu akan berukuran setengah dari 727 dan didesain sebagai pesawat jarak menengah yang mampu mengangkut 191 penumpang dengan dua mesin jet. Konon, pesawat itu akan berbentuk mirip Douglas DC-9 dan British Aircraft Corporation BAC-111. Proyek Boeing ini dikepalai teknisi senior bernama John E. Steiner.
Pada 1965, Boeing akhirnya merilis pesawat berjuluk “Baby Boeing” yang bernama 737. Tepat pada 9 April 1967, 737 melakukan penerbangan perdana.
Oliver Smith, dalam tulisannya di The Telegraph mengatakan bahwa 737 merupakan yang produk Boeing paling laris. Hingga Maret 2018, lebih dari 10 ribu unit 737 terjual ke seluruh dunia. Ia sukses mengalahkan 727 (terjual 1.832 unit), dan si jumbo jet 747 (terjual 1.543 unit). Tapi meskipun sukses, 737 awalnya dianggap gagal. Pada awal tahun-tahun kelahirannya, hanya Lufthansa yang memborong pesawat ini. Tercatat, maskapai asal Jerman itu membeli 30 unit 737.
Smith bahkan mengatakan bahwa Boeing berencana menutup 737 dan melempar produksi pesawat itu ke pabrik asal Jepang. Namun, Angkatan Udara Amerika Serikat menyelamatkan pesawat ini. Mereka memesan 19 unit 737 untuk kebutuhan militer. Boeing pun bergairah kembali untuk memproduksi Baby Boeing.
Titik balik 737 sebagai yang paling laku terjadi pada dekade 1980-an. Kala itu, Boeing merilis varian baru, 737-300. Dengan bahan bakar yang lebih irit, tingkat kebisingan yang mampu diredam, dan kapasitas penumpang yang bertambah (hingga 149 penumpang), 737 menemukan hidupnya kembali. Pada 1985, 252 unit 737 dijual Boeing. Perlahan, 737 jadi produk yang paling menguntungkan, khususnya bagi maskapai yang memiliki rute-rute penerbangan berjarak pendek yang dapat ditempuh dalam kurang lebih 2 jam perjalanan.
Pada 2016, Boeing dinyatakan sebagai perusahaan pembuat pesawat berpendapatan $65 miliar—atau, yang terbesar di seluruh dunia.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf