tirto.id - "Langit Indonesia pertama kali memperoleh perhatian Barat melalui karya yang diterbitkan Frederick de Houtman, adik Cornelis de Houtman, pada 1603 silam," tutur Lewis Pyenson dalam Empire of Reason (1988).
Sebagai astronom amatiran, Frederick de Houtman mencatat 303 rasi bintang di belahan langit selatan, 12 di antaranya merupakan temuan baru. Sayangnya, karena berstatus sebagai petinggi VOC yang lantas menjadi Gubernur Ambon, kerjanya di bidang astronomi tak lama ia lakukan. Sepeninggalnya, langit Nusantara diabaikan Barat.
Setelah lebih dari 1,5 abad, langit Nusantara kembali memperoleh perhatian Barat. Kala itu, seorang pendeta yang memimpin Gereja Portugis di Batavia bernama Johan Mauritz Mohr melanjutkan tongkat estafet yang ditinggalkan Frederick de Houtman.
Meskipun hanya mengenyam pendidikan di bidang teologi dari University of Groningen, Mohr adalah anggota Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen, lembaga akademisi di bidang astronomi.
Memanfaatkan observatorium yang dibangun pada 1768 di Batavia melalui dana yang diperoleh dari istrinya, Mohr berhasil mengamati dua transit Venus melintasi matahari, lengkap dengan catatan saintifik yang dilaporkannya kepada lembaga astronomi itu.
Sayangnya, lagi-lagi, sepeninggal Mohr langit Nusantara tercampakkan. Tidak ada pengamatan saintifik di bidang astronomi selama tiga generasi setelah Mohr meninggal dunia.
Kembali merujuk paparan Lewis Pyenson, stereotipe buruk yang melekat pada dunia sains Belanda sebelum abad ke-19, serta masuknya etika akademik Jerman dalam dunia pendidikan Belanda sejak dekade keenam abad ke-19, membuat Belanda kemudian serius menggarap dunia sains, termasuk bidang astronomi.
Dan mereka bukan hanya serius menggarap sains di negerinya sendiri, tapi juga di Hindia Belanda. Usaha ini dilakukan melalui tangan Jean Abraham Chretien Oudemans.
Mengintip Langit Hindia Belanda
Oudemans lahir di Amsterdam pada tahun 1827. Ayahnya seorang akademisi yang menempati posisi mentereng di dunia pendidikan Belanda. Oudemans menimba ilmu di bidang Astronomi pada University of Leiden kala berusia 16 tahun.
Dibimbing Frederik Kaiser--"superstar" di bidang sains yang berhasil melakukan perhitungan okultasi bulan Pleiades saat berusia 14 tahun--Oudemans menyelesaikan pendidikannya pada 1852, setelah sukses mempertahankan studinya tentang penentuan Garis Lintang Leiden.
Karena sejak 1837 Kaiser ditunjuk sebagai Direktur kantor Observasi Astronomi Leiden setelah sukses melakukan perhitungan orbit Komet Halley, Oudemans yang baru lulus kuliah langsung direkrut Kaiser sebagai asistennya.
Tak lama kemudian, saat University of Utrecht mengembangkan bidang astronomi, Kaiser merekomendasikan Oudemans sebagai profesor di kampus tersebut.
Di Utrecht, selain bekerja sebagai profesor, Oudemans juga menjadi anak buah Gerard Moll, ilmuwan fisika polimatik anggota Royal Society of Edinburgh dan Brussels Academy yang dipekerjakan melakukan observasi astronomi.
Karena Oudemans menganggap laku akademik Moll ketinggalan zaman, maka pertengkaran kerap terjadi. Tahun 1848 ia keluar dari Utrecht untuk menjadi peneliti di Sonenborgh, institusi sains yang memiliki kantor observasi cuaca bernama Nederlandsch Meteorologisch Intituut arahan Christophorus Henricus Diedericus Buys Ballot.
Di kantor observasi cuaca ini tersedia peralatan mumpuni untuk melakukan pengamatan langit. Karena Oudemans tak paham soal cuaca, ia lantas membuat janji dengan Buy Ballot untuk meminjam peralatan observasi milik Nederlandsch Meteorologisch Intituut guna melakukan observasi astronomi.
Tahu bahwa Oudemans terobsesi dengan kerja pengamatan langit, Kaiser yang kian berpengaruh dalam lingkungan politik Belanda merekomendasikan Oudemans kepada Raja Willem III untuk memimpin kerja-kerja pengamatan langit di Hindia Belanda.
Rekomendasi ini berbarengan dengan permintaan Buy Ballot pada Oudemans untuk membangun Magnetisch en Meteorologisch Observatorium alias BMKG Hindia Belanda.
Oudemans memilih menerima rekomendasi Kaiser. Pada 1857, melalui dekrit yang dikeluarkan Raja Willem III, ia berangkat ke Hindia Belanda untuk mengisi jabatan sebagai kepala insinyur dinas geografis bergaji 7.200 gulden per tahun.
Meskipun dikirim untuk mengamati langit Nusantara, Oudemans tak pergi ke Hindia Belanda untuk melakukan kerja-kerja ala NASA--pengamatan bintang-bintang, planet-planet, atau pengetahuan langit lainnnya--melainkan untuk membuat peta terperinci Hindia Belanda dengan terlebih dahulu menentukan koordinat segitiga astronomi.
Sebagaimana dipaparkan Richard de Grijs dalam European Longitude Prizes (2019), tugas ini wajib dilakukan Oudemans karena saat itu tentu saja tidak ada GPS dan Google Maps yang dapat menuntut kapal-kapal Belanda datang dan pergi ke Hindia Belanda dengan akurat.
Terlebih, sejak 1616 Belanda wajib menggunakan jalur "Brouwer" atau rute yang mengharuskan pelaut melakukan transisi cepat ke posisi 40 derajat lintang selatan kala berada di Samudra Hindia untuk sampai ke Hindia Belanda.
Sebelum Oudemans pergi ke Nusantara untuk melakukan tugasnya, proses menentukan posisi akurat di hamparan laut dilakukan pelaut dengan terlebih dahulu melakukan kalkulasi garis khayal horizontal atau latitude (garis lintang) dan garis khayal vertikal atau longitude (garis bujur).
Sayangnya, tak seperti garis lintang yang memiliki garis utama/natural bernama khatulistiwa, garis bujur berbeda alias sukar ditentukan. Ini terjadi karena, pertama, garis bujur tak memiliki titik sentral alamiah sebagai patokan mutlak/tetap.
Ketika Ptolemy menggagas kelahiran garis bujur, 0 (nol) derajat garis ini berada di Fortunate Island (sekarang disebut Pulau Canary).
Di tangan Paus Alexander VI, titik sentral garis bujur dipindah ke Azure untuk kemudian berpindah ke Roma, Copenhagen, Jerusalem, St. Petersburg, Pisa, Paris, hingga Philadelphia, sebelum akhirnya mantap bertengger di London hingga hari ini.
Kedua, untuk menentukan koordinat garis bujur, hitung-hitungan rumit perlu dilakukan, yakni dengan membandingkan dua unit jam--satu unit disetel untuk tetap menampilkan waktu lokasi/tempat keberangkatan dan satunya lagi waktu lokal (waktu di lokasi tiba/tujuan).
Karena bumi berotasi pada sumbunya selama 24 jam serta bumi memiliki sudut sebesar 360 dejarat, tiap jam yang berbeda antara titik keberangkatan dan lokasi tujuan menandakan perbedaan lokasi di peta sebesar 15 derajat.
Di zaman Columbus hingga Oudemans, jam belum seakurat hari ini. Terombang-ambing di lautan, jam kadang terlalu cepat 10 menit atau terlalu lambat 10 menit. Juga, karena baterai belum ditemukan, penyetelan ulang jam harus dilakukan setiap hari yang tentu saja membingungkan.
Gabungan antara ketiadaan titik sentral alamiah dan jam yang tak akurat membuat garis bujur menjadi petaka bagi para petualang.
Oudemans dikirim ke Hindia Belanda untuk mengatasi kerumitan ini lewat pengamatan langit untuk menentukan posisi di bumi. Menurut A. Rasyid dalam "Star Patterns in Mandar Navigation" dalam buku Exploring the History of Southeast Asian Astronomy (2021), kerja ini hampir mirip dengan yang dilakukan orang Mandar di Sulawesi Barat.
Memanfaatkan konstelasi bintang, para pelaut tradisional Mandar tahu arah bumi. Misalnya dengan melihat "bittoeng sapo kepang" untuk melihat arah selatan, dan "bittoeng pambosei" untuk melihat arah utara.
Editor: Irfan Teguh Pribadi