tirto.id - Anggaran Pendapatan Belanda Daerah (APBD) DKI Jakarta ternyata tidak cuma dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan Ibu Kota. Duit yang berasal dari pajak para warga, pendapatan Badan Usaha Daerah, dan dana perimbangan pusat-daerah ini juga disumbangkan Pemprov DKI ke pemerintah daerah tetangga.
Alokasi anggaran untuk daerah lain ini mengemuka ketika beberapa hari yang lalu Pemerintah Provinsi DKI dan Pemerintah Kota Bekasi bersitegang mengenai Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.
Pejabat Pemkot Bekasi protes karena dana hibah yang mereka ajukan tidak disetujui. Sementara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan masalah itu muncul karena proposal pengajuan bantuan terlambat dikirim.
Kepala Biro Tata Pemerintahan DKI Jakarta Premi Lasari menyebutkan dana hibah—dalam APBD disebut dana kemitraan—dialokasikan karena DKI juga butuh kontribusi daerah penyangga. Di tengah banyaknya masalah yang dihadapi di Ibu Kota Jakarta, Premi mengaku, DKI jelas tidak bisa menyelesaikannya sendiri.
"[Daerah penyangga] harus mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah DKI Jakarta, di antaranya seperti pengendalian banjir, pengelolaan sampah, ketahanan pangan, transportasi, dan kemacetan," kata Premi di Balai Kota DKI Jakarta Senin (22/10/2018) lalu.
Ketua Fraksi Nasdem DKI Jakarta Bestari Barus mengatakan hal serupa. Bestari menilai dana hibah wajar diberikan karena DKI dan sejumlah daerah penyangga saling tergantung satu sama lain.
"Wajar-wajar saja. Yang penting komunikasinya," ucap Bestari kepada reporter Tirto.
Bagi pemerintah daerah yang hendak meminta bantuan, pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengajukan proposal. Proposal akan dibahas tim koordinasi bantuan keuangan. Dari situ barulah permohonan diteruskan ke Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan kemudian DPRD DKI Jakarta. Pembahasannya akan berlanjut ke Banggar untuk kemudian diputuskan di Rapat Paripurna.
Besaran bantuan tak melulu sama dengan yang diajukan. Besaran dana kemitraan disesuaikan dengan kemampuan keuangan Jakarta.
Mekanisme ini adalah hal lumrah dan ada dasar hukumnya: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (PDF). Pada Pasal 3 disebutkan kalau bantuan—atau yang disebut "hibah" dalam peraturan ini—bisa berbentuk uang, barang, atau jasa.
Setelah dana bantuan diterima, pemerintah daerah penerima hibah harus melakukan setidaknya beberapa hal: dari mulai laporan penggunaan hingga bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah. Semuanya harus diberikan paling lambat tanggal 10 Januari tahun anggaran berikutnya (Pasal 19 ayat 3).
Jadi, kota/daerah mana yang dapat bantuan dari DKI? Berapa besarannya?
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) DKI Jakarta 2014-2018 yang dihimpun tim riset Tirto, beberapa daerah yang pernah dan masih menerima dana hibah adalah: Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Cianjur.
Dari 2014 hingga 2018, Kota Bekasi memperoleh dana hibah paling besar di antara daerah lain. Pada 2014, realisasi belanja (uang yang terserap) bantuan keuangan dari DKI Jakarta jumlahnya mencapai Rp3 miliar. Angka ini memang lebih kecil dari bantuan yang diberikan untuk Kota Bogor yang mencapai Rp6,80 miliar.
Kemudian pada 2015, Kota Bekasi tidak mendapat anggaran yang dihibahkan, namun dana kembali cair dan terealisasikan sebanyak Rp183,98 miliar pada 2016. Dana hibah terbesar cair pada tahun lalu, jumlahnya realisasinya mencapai Rp316,53 miliar. Sementara tahun ini lebih sedikit, Rp138,55 miliar.
Sebagai catatan, dana tersebut belum termasuk dana kompensasi atau "uang bau" yang diberikan Pemprov DKI karena menjadikan Bantargebang sebagai tempat pembuangan sampah dari Ibu Kota. Tahun lalu jumlahnya mencapai Rp134,4 miliar.
Untuk Kabupaten Bogor, DKI Jakarta sempat memberikan bantuan keuangan pada 2015-2018. Realisasinya masing-masing Rp66,48 miliar, Rp2,9 miliar, Rp 5,63 miliar, dan terakhir pada tahun ini mencapai Rp13,3 miliar. Sementara Kota Bogor lebih sedikit, hanya Rp6,8 miliar pada 2014, Rp4,5 miliar pada 2015, dan Rp10 miliar tahun ini.
Kota Tangerang juga pernah mengirim proposal bantuan dan disetujui. Tahun ini realisasi belanja yang duitnya berasal dari Jakarta mencapai Rp10 miliar.
Sementara Kabupaten Cianjur mendapat bantuan Rp8,11 miliar, paling besar sejak 2014. Tahun 2014 yang berhasil dibelanjakan mencapai Rp3 miliar, sementara 2016 Rp6,45 miliar.
Bagaimana dengan Depok? Sejak tahun lalu mereka menerima dana yang realisasinya masing-masing Rp3 miliar (2017) dan Rp25,59 miliar (2018). Ini kontras dengan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2015 misalnya, Nur Mahmudi Ismail yang kala itu masih jadi Wali Kota Depok dilaporkan menolak menandatangani proposal pengajuan dana ke DKI, yang kala itu gubernurnya masih Basuki Tjahaja Purnama. Tak ada pula dana pada 2014 atau 2016 (Nur Mahmudi tak lagi jadi Wali Kota Depok per Januari 2016).
"Saya enggak tahulah. Saya enggak mengerti pikiran beliau [Nur Mahmudi]," kata Ahok mengomentari sikap Nur Mahmudi pada 8 April 2015, mengutip Depokpos.
Uang ini dipakai untuk banyak kebutuhan. Pemkot Bekasi misalnya, memutuskan menggunakan uang untuk pembangunan sejumlah infrastruktur. Proyek yang sebagian pendanannya berasal dari APBD DKI di antaranya pelebaran jalan Jatiwaringin Raya, pembangunan Flyover Cipendawa, dan pembangunan Flyover Rawa Panjang.
Pun dengan Tangerang. Kota Tangerang pada 2016 lalu memutuskan menggunakan uang dari DKI untuk beberapa proyek infrastruktur. Sementara Kabupaten Tangerang pada 2015 memilih untuk membelanjakannya dalam bentuk barang fisik seperti ekskavator dan truk sampah.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino