Menuju konten utama

Menebak di Balik Strategi Microsoft Membeli GitHub 

Microsoft membeli GitHub seharga $7,5 miliar, sebagai transaksi terbesar ketiga dari aksi akuisisi oleh Microsoft. Padahal GitHub berbasis bisnis open source yang berlawanan dari bisnis inti Microsoft.

Menebak di Balik Strategi Microsoft Membeli GitHub 
Ilustrasi kegiatan coding. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Lebih besar daripada Nokia dan Minecraft, lebih kecil dibandingkan LinkedIn dan Skype,” kata Todd Bishop, Jurnalis teknologi GeekWire mengomentari pembelian GitHub oleh Microsoft senilai $7,5 miliar. Nilai pembelian dalam bentuk saham Microsoft, yang dihargai $100 per lembar.

Pada 4 Juni 2018, Microsoft resmi mengakuisisi Github, layanan hosting repositori Git berbasis web, tempat yang menampung 27 juta orang di seluruh dunia untuk menyimpan dan membagikan kode pemrograman yang mereka buat dan dikolaborasikan.

GitHub menjadi perusahaan nomor ketiga termahal yang dibeli Microsoft. Di urutan pertama ialah LinkedIn, media sosial khusus profesional, yang dibeli seharga $26,2 miliar. Setelahnya ada Skype, layanan komunikasi Voice over Internet Protocol (VoIP), yang diboyong senilai $8,5 miliar.

Satya Nadella, Chief Executive Officer Microsoft, sebagaimana termuat dalam laman resmi perusahaan, mengatakan Microsoft “merupakan perusahaan developer-first, yang dengan dibelinya Github, kami memperkuat komitmen pada kebebasan pengembang, keterbukaan, dan inovasi.”

Pasca akuisisi GitHub, Microsoft menempatkan sosok Nat Friedman, yang sebelumnya menjabat Corporate Vice President Microsoft, menjadi Chief Executive Officer GitHub. Sementara itu, Chris Wanstrath, petinggi lama GitHub, dimutasi menjadi Technical Fellow Microsoft.

Mengapa Microsoft rela menggelontorkan uang cukup banyak membeli GitHub?

Paul Ford, dalam tulisannya di Bloomberg, mengatakan bahwa GitHub kini merupakan tombol “undo” bagi Microsoft.

Git

Di awal kemunculan Linux pada 1991, Linus Torvalds, sang pencipta, berjuang sendirian mengelola ciptaannya. Robert McMillan, dalam tulisannya di Wired, mengatakan Linux kala itu disimpan pada server milik University of Helsinki, dan karena berkonsep open source, tiap orang di seluruh dunia bisa menengok source code Linux. Jika ada orang yang menemukan bug atau celah di source code Linux, mereka mengirim email pada Torvalds. Layanan ini kian populer, email penemuan bug yang terkirim makin menggunung, ini membuat Torvalds lelah.

Di tiap email penemuan bug yang diterimanya, ia harus sendirian memperbaiki Linux. Tidak ada sistem yang memungkinkan tiap orang di seluruh dunia langsung menerapkan temuan mereka pada Linux. Ini yang kemudian menginspirasi Torvalds menciptakan “Git,” teknologi sistem pengontrol versi pada proyek penciptaan atau pengembangan perangkat lunak atau aplikasi.

McMillan, dalam tulisannya itu, mengatakan bahwa Git, secara praktikal, “merupakan alat yang dibuat Torvalds untuk memudahkan orang-orang menciptakan alternatif proyek Linux buatannya.” Dalam bahasa teknis, Git merupakan “fork” alias replika. Orang-orang mereplikasi Linux, menemukan bug di dalamnya, dan langsung menerapkan temuan mereka pada versi replika Linux itu, daripada mengirimkan email pada Torvalds.

Melalui Git, para programer di seluruh dunia bisa melakukan perubahan pada file source code mereka, dengan tetap menyimpan file lama. Jika file baru dianggap baik, mereka dapat menjadikan file itu sebagai source code utama. Jika ternyata file baru ada masalah, Git memungkinkan programer kembali ke file lama. Git bagaikan tombol spesial, tombol “undo,” yang memungkinkan siapapun kembali ke posisi awal.

Sayangnya, Ford mengatakan “Git bukanlah teknologi bagi seorang pemula.” Dan “tidak semua orang sepintar Linus Torvalds,” kata McMillan.

Ini karena Git menggunakan command line daripada graphical user interface (GUI) untuk beroperasi. Daripada mengklik ‘logo folder’ untuk menuju direktori sebagaimana umum dilakukan pengguna Windows, pengguna Git, untuk melakukan aksi yang sama, harus mengetik “git init.”

Kesukaran ini lenyap begitu GitHub lahir, yang didirikan Chris Wanstrath, PJ Hyett, dan Tom Preston-Werner pada 29 Februari 2008. Layanan hosting repositori yang tepat di jantungnya, termuat teknologi Git. GitHub menerapkan konsep GUI pada teknologi Git dan menghadirkan teknologi itu di dunia web. Yang memungkinkan pemula di dunia pemrograman dapat dengan mudah menggunakan teknologi Git. Di awal kemunculan layanan ini, moto mereka ialah: “Git hosting: No longer a pain in the ass.”

McMillam mengatakan GitHub memiliki satu misi: mendemokrasikan pemrograman komputer. Caranya? Membuat tiap orang dapat dengan mudah mengunggah koding (istilah slang untuk source code/ kode pemrograman) aplikasi buatan mereka ke internet, menyebarkannya, dan lalu dengan mudah pula mendapatkan komentar dari orang-orang di seluruh dunia, dengan tetap mempertahankan koding versi mula-mula.

“Tiap orang dapat berkomentar pada koding yang diunggah dan menambahkan sesuatu untuk menciptakannya lebih baik,” tegas McMillan dalam tulisannya.

Tom Preston-Werner, Chief Technology Officer GitHub, mengungkapkan kelahiran layanan buatannya sukses “mengubah bagaimana orang-orang mengembangkan aplikasi.”

Yang menarik, meskipun menawarkan versi premium berbayar, GitHub adalah layanan gratis. Geofffrey Grosenbach, pendiri startup bernama PeepCode, bahkan terheran-heran dengan kebijakan ini. GitHub, sebut Grosenbach, merupakan “tempat perusahaannya menyimpan source code.”

“Saya merasa kurang enak tidak membayar kalian, teman-teman. Bisakah saya mengirimi kalian cek?” terang Grosenbach menyebut betapa berpengaruhnya GitHub bagi perusahaannya.

Kebijakan ini tidak mengherankan. Linux dan Git, dua teknologi yang menginisiasi kelahiran GitHub mengembangkan semangat open source alias sumber terbuka.

David Brethauer dalam paper berjudul “Open Source Software: A History” mengungkapkan open source merepresentasikan perbedaan model distribusi suatu perangkat lunak atau aplikasi. Perangkat lunak berbayar umumnya menutup rapat kode-kode pemrograman yang menyusun perangkat lunaknya atau close source. Sedangkan open source, membuka lebar-lebar kode-kode pemrograman yang menyusun perangkat lunaknya.

GitHub mengekor semangat ini, dengan lebih dari 2 juta source code yang terdapat di GitHub, bersama dengan kemampuan kolaborasi yang dimilikinya. GitHub bisa disebut sebagai gudangnya open source. Konsep yang bertahun-tahun secara resmi dibenci Microsoft.

Infografik GitHub

Tombol “Undo”

Steve Ballmer, mantan Chief Executive Officer Microsoft, suatu ketika pernah berkata “Linux merupakan kanker.” Dengan tegas, ia menerangkan bahwa pada sistem operasi berlogo Pinguin itu dapat merusak kekayaan intelektual jika Linux menyentuhnya.

Sebagai pemimpin perusahaan yang berjualan lisensi perangkat lunak, ucapan Ballmer memang cukup beralasan. Selain bertugas menjual sistem operasi berharga sekitar Rp2,2 jutaan, Ballmer mesti melawan berbagai macam distro Linux, semisal Ubuntu, yang dibagikan secara cuma-cuma, sehingga Ballmer pantas berang.

Parahnya lagi, label harga bukanlah segalanya karena sistem operasi berbasis open source justru punya sisi positif. Selama empat tahun penelitian, sebuah tim yang berasal dari Stanford University berkesimpulan bahwa Linux, dibandingkan dengan Windows dan MacOS, memiliki bug atau celah keamanan lebih sedikit. Dari 5,7 juta baris kode yang menyusun Linux, hanya terdapat 985 bug. Sementara Windows, dengan sekitar 40 juta baris kode pemrograman, memiliki bug “yang sangat sering ditemukan.”

Perangkat lunak berbayar seperti Windows dan MacOS rata-rata memiliki 20 hingga 30 bug di tiap 1.000 baris kode pemrograman. Ini setara dengan 114.000 hingga 171.000 bug di dalam 5,7 juta baris kode pemrograman.

Mengapa Linux memiliki bug lebih sedikit? Open source dan kolaborasi adalah jawabannya. Memanfaatkan teknologi seperti Git, tiap orang bisa menyumbang perbaikan pada Linux, sesuatu yang tidak bisa dilakukan pada Windows atau MacOS.

Microsoft kini paham tentang kekuatan itu, kekuatan open source dan kolaborasi. Dua kekuatan yang dimiliki GitHub, yang digunakan oleh Microsoft sebagai tombol “undo,” kembali pada posisi sebelum para petinggi mereka berkomentar negatif tentang dunia open source.

Baca juga artikel terkait MICROSOFT atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra