tirto.id - Seorang pemuda bernama Linus Benedict Torvalds mengirim sebuah pesan pada grup “com.os.minix” pada 25 Agustus 1991. Nama "com.os.minix" merujuk pada sebuah jaringan Usenet atau jaringan diskusi melalui komputer yang dikembangkan Tom Truscott dan Jim Ellis pada 1979, yang populer pada 1980-an.
Torvalds dalam dalam pesannya menyatakan bahwa ia tengah mengerjakan sistem operasi untuk komputer 386 (486), komputer berprosesor garapan Intel dengan arsitektur 32 bit. Sebagai anak muda yang tak dikenal di jagat teknologi saat itu, Torvalds tetap percaya diri dan menegaskan apa yang dikerjakannya adalah “hobi semata dan diyakini tak akan menjadi besar serta profesional.”
Akhirnya upayanya membuahkan hasil, Linux sebuah sistem operasi yang dibuatnya pada 1991 menjadi penopang dunia teknologi hingga hari ini. Dalam sebuah laporannya Wired, mengatakan bahwa Linux “berjalan di setiap ponsel dan tablet Android di seluruh dunia. Dan ketika orang menggunakan iPhone atau Mac atau mesin berbasis Windows, Linux bekerja di belakang layar, menopang internet, menyajikan hampir setiap laman situsweb yang dikunjungi orang dan memberi tenaga hampir di setiap aplikasi (smartphone). Facebook, Google, Pinterest, Wikipedia, semua menjalankan Linux.”
Robert McMilllan, dalam tulisannya di Wired, mengatakan bahwa kunci sukses Linux menjadi pondasi dunia teknologi, tercipta atas tiga kondisi. Pertama, Linux lahir di masa awal kejayaan Intel sebagai pencipta prosesor. Intel, yang kemudian menjadi mesin penopang Windows, merupakan prosesor utama yang digunakan hampir segala komputer di dunia. Ini membuat Linux, sebagai sistem operasi yang mampu berkembang seiring perkembangan Intel.
Kedua, kesuksesan Linux terkait dengan sebuah teknologi bernama GNU General Public License. Keberadaan GNU bisa ditarik jauh ke belakang. Pada dekade 1970-an dan 1980-an, berkembang Unix sebagai sistem operasi yang jadi pondasi utama komputer sebelum kelahiran Linux. Unix diperkenalkan oleh AT&T Bell Labs pada 1969. Sayangnya Unix bukanlah produk rakyat jelata. Selain memerlukan sistem komputer yang cukup canggih, Unix bukanlah produk gratisan.
Pada 1984, seorang bernama Richard Stalllman, mencoba menciptakan alternatif Unix bernama GNU, singkatan dari “GNU’s not Unix”. Sayangnya apa yang diciptakan Stallman bukanlah benar-benar sebuah sistem operasi utuh. Stallman gagal menciptakan kernel, inti sistem operasi yang menjadi jembatan antara perangkat keras dan sistem.
Namun, dengan hadirnya Linux yang diciptakan Torvalds, telah mengisi kelemahan apa yang diciptakan Stalllman. Kolaborasi GNU Linux, merupakan kolaborasi gratisan yang kemudian menggerogoti kemapanan Unix, yang mahal dan perlu tenaga berlebih.
Ketiga, pondasi yang membikin Linux sukses tak lain ialah sang penciptanya sendiri, Linus Torvalds. Torvalds punya latar hidup berlebihan secara materi. Ia tinggal di sebuah rumah mewah seluas 6.000 meter persegi di dekat Danau Oswego, Oregon, Amerika Serikat.
Di rumah mewah yang dicat warna kuning itu, Torvalds hidup bersama anak istri, serta beberapa hewan peliharaan kesayangannya. Rumah itu, ia beli atas hasil keuntungan saham bernilai $1 juta, pemberian dari Red Hat Entreprise, perusahaan pembuat varian Linux. Red Hat tak keberatan memberi sebagian kecil keuntungannya kepada Torvalds. Dalam laporan Wired, Red Hat memiliki pendapatan hingga $1 miliar pada 2012 lalu.
Torvalds, bukan orang Amerika, ia merupakan perantauan asal Eropa. Kesuksesannya di AS, tak bisa terpisahkan dari kegigihan yang ia lakukan di negeri asalnya, Finlandia.
Ia lahir dan tumbuh berkembang di Helsinki, Finlandia. Ia merupakan anak dari Nils Torvalds dan Anna Torvalds. Dua tokoh yang lekat dengan dunia jurnalistik. Ayahnya, Nils, merupakan seorang wartawan radio. Sementara ibunya, Anna, merupakan penerjemah bagi koran di Helsinki.
Bagi ayahnya, pemberian nama Linus Torvalds merupakan hasil kekaguman pada sosok ilmuwan kimia bernama Linus Pauling. Dalam otobiografinya berjudul “Just For Fun” Torvalds malah mengaku bahwa nama itu merujuk pada karakter kartun Peanut yang populer di Finlandia.
Imbas ia tinggal di lingkungan yang telah baik, Torvalds muda memilih tak kemana-mana. Keputusan ini salah satunya dipengaruhi fakta bahwa Finlandia memberikan pendidikan yang sangat baik bagi setiap penduduknya. Pada 1988 Torvalds kemudian masuk University of Helsinki.
Hidup dari keluarga jurnalis tentu tak membikin Torvalds muda hidup dalam gemerlap uang. Sampai dirinya menjadi seorang mahasiswa, Torvalds diketahui tak memiliki komputer. Padahal, bakatnya pada dunia komputer, terutama pemrograman telah mencuat sebelum menjadi seorang mahasiswa.
Saat di kampus, Torvalds memiliki cukup uang untuk membeli komputer pertamanya. Ini terjadi manakala sistem pendidikan Finlandia tak menarik biaya sepeserpun bagi murid-muridnya. Finlandia juga menerapkan sistem pinjaman uang bagi siapa pun mahasiswa yang membutuhkan. Dari uang pinjaman mahasiswa, Torvalds akhirnya memiliki sebuah komputer. Memiliki komputer menjadi bukti cintanya pada dunia teknologi pemrograman.
Kecintaan Torvalds pada dunia pemrograman dibuktikan melalui berbagai kursus yang digelutinya. Pada 1990, ia mengambil kelas pemrograman C, bahasa pemrograman yang kelak dipergunakan untuk membangun Linux. Selain itu, ia pun mengambil kelas Unix, sistem operasi yang populer kala itu. Di kursus yang ia ambil, komputer yang dipergunakan untuk melakukan pembelajaran menjalankan sistem operasi bernama Ultrix sebagai varian Unix.
Selain mengikuti kelas khusus pemrograman, ia terpengaruh dengan buku, salah satunya yang berjudul Operating Systems: Design and Implementation karya Andrew Tanenbaum. Buku yang sangat berpengaruh terhadapnya, terutama dalam penciptaan Linux, karena isi buku itu menjelaskan secara rinci bagaimana membangun sebuah sistem operasi. Uniknya, buku itu pun menyertakan source code bernama Minix sebagai medium pembelajaran lebih lanjut.
Minix merupakan sistem operasi bikinan Tanenbaum dengan kurang dari 6.000 garis source code. Ia merupakan sistem operasi mirip-Unix, alias alternatif Unix. Minix dirancang untuk berjalan pada prosesor Intel. Jika melihat lebih dalam, Minix terlihat sangat identik dengan Linux, sistem operasi yang Torvalds ciptakan.
Dari hasil kursus serta ilmu dari buku itu, ditambah kekesalannya pada mahalnya harga komputer+Unix kala itu, membuat Torvalds pada akhirnya membikin sistem operasi. Sistem operasi, yang menurut pengakuannya hanya berlandaskan hobi.
Perlawanan Terhadap Bill Gates?
Di sepanjang hidupnya, Torvalds identik sebagai sosok antitesis dari Bill Gates, atau antara Windows dan Linux yang berlawanan. Sebagai cermin dari lisensi sistem operasi yang berbayar dan gratis. Ia bagaikan sosok pejuang yang mencoba mendongkel kemapanan Microsoft di bawah ketiak Bill Gates.
Ia juga menyuguhkan cara kerja yang berbeda, saat Microsoft yang menarik upeti dari Windows, sedangkan Linux tak menarik uang sepeser pun. Namun, dalam sebuah wawancara dengan The New York Times, Torvalds membantah rivalitas terhadap Microsoft atau Bill Gates.
“Masalahnya, setidaknya bagi saya pribadi, Microsoft hanya tidak relevan dengan apa yang saya lakukan. Itu mungkin terdengar aneh, karena mereka jelas merupakan pemain dominan di pasar di mana Linux berada, tapi masalahnya adalah: Saya tidak berada di pasar itu."
"Saya tertarik dengan Linux karena teknologinya, dan Linux tidak dimulai sebagai pemberontakan melawan kerajaan jahat Microsoft. Justru sebaliknya, sebenarnya: dari sudut teknologi, Microsoft benar-benar telah menjadi salah satu perusahaan yang paling tidak menarik. Jadi saya belum pernah melihatnya sebagai barang Linux versus Bill Gate."
"Saya tidak bisa melihat diri saya berada di posisi musuh bebuyutan, karena saya tidak cukup peduli. Untuk menjadi musuh bebuyutan, Anda harus secara aktif berusaha menghancurkan sesuatu, bukan? Sungguh, saya tidak keluar untuk menghancurkan Microsoft. Itu hanya akan menjadi efek samping yang sama sekali tidak disengaja,” jelas Torvald.
Dari jawaban itu, Torvalds memang terlihat berbeda. Bukan berbeda dalam pengertian Windows vs Linux dan sebagainya. Ia berbeda karena lebih memilih menjadi sosok belakang layar. Sikapnya terhadap Linux selama ini mencerminkan peran dari Linux yang tersembunyi dalam sebuah operas server hingga sistem operasi Android.
Ia bukanlah sosok di depan layar seperti Bill Gates. Karakter ini mencerminkan apa yang pernah diucapkannya, “saya merasa sangat aneh bila membicarakan teknologi empat mata. Kamu kan dapat hanya duduk dan kemudian melakukan coding.”
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra