Menuju konten utama

Mendagri Usul Kedewasaan Demokrasi Jadi Tolak Ukur Pilkada Langsung

Menurut Tito hanya daerah yang memiliki indeks kedewasaan demokrasi (Index Democratic Maturity) yang tinggi yang bisa melaksanakan Pilkada secara langsung.

Mendagri Usul Kedewasaan Demokrasi Jadi Tolak Ukur Pilkada Langsung
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat mengikuti rapat kerja dengan Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

tirto.id - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berharap adanya evaluasi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Ia pun mengusulkan sistem Pilkada secara langsung diterapkan secara asimetris, artinya tidak semua daerah bisa menyelenggarakan pilkada langsung.

Menurut Tito, hanya daerah yang memiliki indeks kedewasaan demokrasi (Index Democratic Maturity) yang tinggi yang bisa melaksanakan Pilkada secara langsung.

"Kalau asimetris berarti kita harus membuat indeks democratic maturity yaitu kedewasaan demokrasi tiap daerah," kata Tito di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (18/11/2019).

Tito menuturkan bila suatu daerah masyarakatnya dianggap lebih paham demokrasi dan tingkat kedewasaan politiknya lebih tinggi bisa memilih langsung kepala daerahnya. Umumnya, kata Tito masyarakat seperti ini tinggal di kota-kota besar.

"Di mana masyarakatnya kalau ada kepala daerah datang menjelaskan tentang kampanye program didengar, dimaknai diserap setelah itu bisa tahu plus minus dan bisa mengkritik," jelas Tito.

Sebaliknya, Pilkada langsung sebaiknya tak dilakukan di daerah dengan tingkat kedewasaan demokrasi yang rendah. Misalnya terlihat saat masyarakatnya tidak tertarik dengan program kerja yang ditawarkan calon pada saat kampanye.

"Itu mau berbusa-busa calon kepala daerah bicara tentang programnya enggak didengar, karena memang kemampuan intelektual literasi rendah. Enggak sampai [kemampuannya]," kata Tito.

Untuk daerah yang memiliki indeks kedewasaan demokrasi rendah, memang perlu disiapkan mekanisme lain, salah satunya adalah calon kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun, mekanisme seperti ini juga harus melihat dampak negatifnya juga, misalnya soal independensi.

"Kalau problem di DPRD bagaimana dengan independen tadi, mereka bisa terakomodasi solusinya seperti apa?," ucapnya.

Opsi lain menurut Tito, bisa nantinya kepala daerah di tingkat kota/kabupaten ditunjuk oleh gubernurnya. Ini seperti yang dijalankan pemerintah provinsi DKI Jakarta dimana gubernur memilih sendiri lima walikota dan satu bupati.

Konsep ini memang dianggap seperti kembali ke zaman Orde Baru. Namun, bila konsep ini nyatanya bagus untuk demokrasi kata Tito tak ada salahnya dilakukan di daerah lain.

"Kalau model bagus kenapa gak dipake di tempat lain yang memiliki kekhususan juga misalnya," ucap Tito.

Lebih lanjut, Tito mengatakan, sudah meminta biro pusat statistik (BPS) untuk membuat indeks kedewasaan demokrasi di tiap daerah, agar pihaknya dapat mengetahui daerah mana yang siap dan tidak siap menggelar pilkada langsung.

"Jangan kita kemudian memberikan single bullet jadi memberikan satu tombak saja yaitu digeneralisir Pilkada langsung semua, dampaknya ternyata kita lihat setelah 15 tahun ada dampak-dampak negatif," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait MENDAGRI atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Irwan Syambudi