tirto.id - Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita akan bertemu dengan Duta Besar United States Trade Representatives (USTR) untuk membicarakan soal evaluasi Generalized System of Preference (GSP) AS kepada beberapa komoditas barang Indonesia.
Kementerian Perdagangan akan mengikut sertakan KADIN, asosiasi, para pelaku usaha, dan para pemangku kepentingan dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan tersebut menjadi salah satu agenda dalam kunjungan kerjanya ke AS 21-28 Juli 2018 mendatang. "Kami lagi bicarakan tanggalnya (pertemuan dengan USTR), tapi Minggu depan di atas tanggal 21 Juli," kata Enggar di Kementerian Perdagangan Jakarta pada Jumat (13/7/2018) malam.
Pertemuan tersebut, dikatakannya, merupakan undangan Duta Besar United States Trade Representatives (USTR) untuk membahas review AS terhadap negara-negara penerima Generalized System Preferences (GSP). Undangan ini merupakan hasil dari lobi secara tertulis yang dilakukan Pemerintah Indonesia.
Ada 3547 tariff lines GSP yang dievaluasi. GSP merupakan kebijakan perdagangan sepihak (unilateral) yang umumnya dimiliki oleh negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang. Negara yang memiliki program GSP memiliki diskresi untuk menentukan negara mana dan produk apa yang akan memperoleh manfaat GSP dari negaranya.
"Review GSP itu kewenangan sepenuhnya AS, untuk dikenakan ke negara apa, dengan produk apa. Dalam pertemuan terkait GSP enggak akan tawar-menawar. Saya minta ini-itu, saya kasih ini-itu, enggak gitu prosesnya," jelas Enggar.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan mengatakan sementara ini ekspor Indonesia yang mendapat fasilitas GSP kurang lebih 10 persen dari 21 miliar dolar AS, total ekspor Indonesia ke AS, yaitu kurang lebih 1,9 miliar dolar AS.
"Ada beberapa komoditas yang mendapatkan GSP, tapi tekstil enggak termasuk, karena dia sudah melebihi threshold tertentu," ujar Oke.
Oke menerangkan dalam pertemuan tersebut akan terjadi negosiasi, tapi bukan dalam bentuk tawar-menawar. Ada pembahasan mengenai eligibilitas Indonesia untuk mendapatkan fasilitas GSP.
"Begitu eligible baru kita negosiasi mengenai komoditi. Begitu dinyatakan tidak eligible semuanya, repot," ucapnya.
Mengkaji eligibilitas suatu negara ada kriterianya, seperti tenaga kerja, market akses, hambatan terhadap investasi di negara yang diberi GSP.
"Kami [Pemerintah Indonesia dengan AS] harus duduk dulu, misal market akses yang mana yang dimaksud. Misalnya kalau dari sisi regulasi, atau mereka mau apa? Kok produk apelnya enggak bisa masuk. Kenapa masalahnya itu? Jadi, kami [Pemerintah Indonesia] perlu duduk di sana dan bentuk klarifikasi yang jelas," ungkapnya.
Upaya lobi-lobi pemerintah ini melalui Kementerian Perdagangan terhadap pemerintah AS demi mencapai pertumbuhan ekspor 11 persen. Di lain sisi, untuk mempertahankan komoditas ekspor Indonesia tetap kompetitif di tengah ketidakpastian global karena sentimen proteksionisme AS yang dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi berbagai negara di dunia.
Hal itu menjadi tantangan Enggar dan jajarannya untuk mempertahankan kinerja ekspor terus berjalan.
"Kita harus mampu meningkatkan baik kualitas maupun harga produk kita lebih kompetitif. Kita harus meyakinkan masyarakat kita untuk gunakan produk dalam negeri, karena kita tidak bisa menahan barang masuk [impor]," pungkasnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri