Menuju konten utama

Mencari Restoran Fine Dining  Terbaik di Indonesia

Restoran dengan bintang Michelin memang memberikan tantangan kualitas. Di Indonesia, restoran dengan bintang Michelin ini belum bisa ditemui. Namun, untuk urusan rasa, restoran-restoran di Indonesia rasanya tidak terkalahkan.

Mencari Restoran Fine Dining  Terbaik di Indonesia
Suasana Restoran TimHOWan, Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Di sebuah kota metropolitan, kehadiran tempat makan adalah hal mutlak. Di sebuah kota metropolitan seperti Jakarta, dengan penduduk nyaris mencapai 12 juta, dengan sekitar 2,5 juta orang kelas menengah berpendapatan Rp240 juta per tahun, tempat makan saja tidak cukup. Harus ada tempat makan yang baik.

Seperti apakah tempat makan yang baik itu? Carol Wilson, seorang penulis makanan punya pendapat.

"Yang pasti adalah faktor makanannya. Tapi di zaman sekarang, restoran yang baik itu membuat kita ingin pergi ke sana. Baik untuk makan siang cepat, makan malam bersama kawan, atau bersantap untuk momen spesial," tulisnya dalam artikel berjudul What Makes a Good Restaurant?

Perihal boga memang tak sekadar apa yang masuk ke mulut dan perut. Terutama bagi kelas menengah atas, para food connoisseur yang rewel dan menaruh perhatian pada detail. Pertimbangan utama memilih restoran tidak hanya bergantung pada rasa. Tapi perihal teknis: atmosfer restoran, pelayanan, pilihan menu, hingga pengalaman yang didapat.

Dengan semakin banyaknya kelas menengah di Indonesia, restoran fine dining pun bermunculan. Mereka berlomba menghadirkan perpaduan terbaik antara rasa masakan, teknik masak, detail kecil yang menyeluruh, dan juga atmosfer restoran.

Petualang Rasa Seharga Jutaan Rupiah

Ada ratusan restoran fine dining di Indonesia. Sebagian memang berada di kota besar. Jakarta, Denpasar, Surabaya, atau Bandung. Bisa dibilang Jakarta adalah pusatnya. Tinggal pilih sesuai selera. Gagrak western, Jepang, Timur Tengah, atau Amerika Latin.

Kalau membuka aplikasi pencari restoran Zomato, paling tidak ada sekitar 76 restoran dengan kategori fine dining di Jakarta. Sebagaimana restoran mewah, harganya bisa menembus langit. Di Zomato, salah satu restoran paling mahal dalam daftar adalah Rustique Steakhouse.

Restoran yang terletak di kawasan Senayan ini menyajikan steak impor berkualitas premium. Harga 300 gram steak sirloin Omi --jenis sapi hitam Jepang dari Prefektur Shiga-- kualitas A5 alias terbaik adalah Rp2,5 juta. Menu lain adalah steak rib eye Blackmore Wagyu dari Australia. Harga untuk 300 gram steak ini adalah Rp1,88 juta.

Nama yang lain adalah Amuz. Restoran yang terletak di gedung The Energy Building, Jakarta Pusat, ini menghadirkan beberapa menu yang dipadankan dengan wine. Mereka punya event Regional Wine Dinner secara berkala. Untuk pekan kedua di bulan September, restoran yang dikomandani oleh chef Gilles Marx ini menghadirkan 5 menu yang dipadukan dengan wine dan dibanderol Rp2,35 juta per orang.

Di Bali, penggemar fine dining memacak Mozaic sebagai salah satu restoran terbaik. Komandan dapurnya adalah Chris Salans, jebolan sekolah masak terkenal Le Cordon Bleu dan pernah magang di restoran Michelin Prancis, L’Oustau de Baumaniere dan Lucas Carton.

Salans dianggap berhasil mengawinkan seni gastronomi dengan bahan-bahan lokal. Karena itu hidangannya bisa menjadi global sekaligus lokal. Penggunaan bahan dan bumbu lokal seperti minyak kelapa --khas negara kepulauan--, asam, jeruk Bali, hingga keluak menjadi ciri khas Salans. Media Inggris, The Guardian, memuji masakan Salans dengan sebutan "...stunning."

"Kalau restoran ini ada di Eropa atau Amerika, pasti sudah diganjar bintang Michelin," tulis The Guardian.

Secara garis besar, ada empat model menu yang bisa dipilih di Mozaic. Pertama adalah Grand Menu yang terdiri dari 6 hidangan. Ada juga yang 8 hidangan. Model ketiga adalah Suprize Menu. Terakhir adalah menu vegetarian dengan 6 hidangan.

Dalam contoh menu yang dikeluarkan, pengunjung akan dijamu amuse bouche (hidangan kecil sekali gigit yang diberikan gratis sebelum menu utama keluar) di awal. Setelah itu barulah aktor utamanya muncul. Ada tema-tema yang diambil dari bahan utama masakan. Misalkan untuk tema Jeruk Bali, yang akan dihidangkan adalah babi guling ala Kintamani dengan puree jeruk Bali, kailan, jamur tiram, dan sari jeruk. Atau untuk tema Nangka, yang keluar adalah sekerat daging pinggang domba Australia yang disajikan bersama puree nangka muda, tumis bok choy, dan saus demi-glace yang direndam bersama rempah dan cardamom.

Harganya memang bikin meringis. Jika pergi ke sana sendiri dan memesan menu pair 8 hidangan dan wine premium, paling tidak harus mengeluarkan Rp2,2 juta. Kalau pergi berdua, ya harus sedia Rp5 juta. Namun bagi para konsumen kelas atas, harga itu dianggap sepadan dengan pengalaman dan petualangan rasa yang didapat.

Tapi ada juga restoran kualitas internasional yang memasang harga murah. Tim Ho Wan adalah salah satunya. Restoran asal Hong Kong ini mendapatkan satu bintang Michelin pada 2010. Pada 2013, perusahaan asal Singapura, Hersing Corporation, membeli merek ini dan melebarkan sayapnya. Gerai internasional pertamanya ada di Singapura. Kemudian menyebar ke Australia, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan tentu saja Indonesia.

Sejak awal dibuka, konsepnya menabrak pakem restoran Michelin yang biasanya elite dan pretensius. Sejak awal, chef Mak Kwai-pui sebagai pendiri, secara sadar memposisikan kedainya dengan sebagai kedai dim sum tradisional yang pengunjungnya bisa bersantap dengan santai bersama keluarga. Gerai pertama Tim Ho Wan hanya berupa kedai kecil yang berkapasitas 20 orang. Setelah jadi merek internasional, tentu ada banyak perubahan. Di Indonesia ada dua gerai Tim Ho Wan, yakni di Pantai Indah Kapuk dan di mall Grand Indonesia. Meski berada di tempat yang bisa dibilang mewah, mereka masih berani memasang harga murah.

Menu andalan restoran dim sum ini disebut sebagai 4 Heavenly Kings. Terdiri dari bakpao babi panggang dengan saus BBQ, kue lobak goreng, bolu kukus, dan cheong fun isi babi BBQ. Menu lainnya terdiri dari aneka dim sum, dan tentu saja yang khas Indonesia: nasi goreng. Harga menunya memang murah, semua di bawah Rp50 ribu per porsi. Pantas saja kalau Tim Ho Wan berani mendaku diri sebagai restoran Michelin termurah di dunia.

"Semua makanan di sini freshly made. Hanya beberapa bahan yang impor. Seperti tepung untuk bikin bakpao atau kue lobak. Kami bikin sendiri. Tepungnya khusus," kata Sergio Ticoalu, Manajer Pemasaran Tim Ho Wan.

Menurut Sergio, menjadi restoran dengan bintang Michelin punya keunggulan, sekaligus memberikan tantangan. Bintang Michelin berarti restoran ini menyajikan makanan bermutu baik dengan bahan yang segar. Tantangannya: mempertahankan kualitas. Segala detail harus diperhatikan. Mulai kebersihan hingga rasa. Soal halal dan haram pun juga diperhatikan. Piring, tempat masak, sumpit, dan sendok dipisah antara masakan yang menggunakan bahan babi dan yang non babi. Untuk menjamin rasa yang sama dari tempat asal, seorang head chef didatangkan langsung dari Hong Kong.

Di antara semua menu, bakpau panggangnya memang yang paling juara. Potongan dagingnya royal. Bakpaunya dipanggang, bukan dikukus. Menghasilkan tekstur krispi dan rasa manis yang menyembul. Saus BBQ-nya khas Hong Kong: paduan rasa manis dan gurih. Ketika bakpau digigit, akan ada sensasi kegaringan permukaan atas bakpau dan semburan saus yang kemudian leleh di dinding tenggorokan. Wajar kalau bakpau Tim Ho Wan jadi menu yang paling laris.

"Setiap hari paling tidak ada 500 porsi terjual. Berarti 1.500 bakpau," kata Sergio tersenyum.

Apakah Michelin Penting?

Industri restoran fine dining punya berbagai cara untuk menentukan mana tempat makan yang terbaik. Salah satu yang paling populer dan kerap dijadikan rujukan adalah Michelin. Maklum, institusi ini sudah berdiri sejak 1900.

Meski bintang Michelin banyak dipakai untuk mengukur prestis sebuah restoran, tak kalah banyak yang mencibir dan tak acuh pada bintang ini. Chef terkenal Anthony Bourdain pernah bilang, "...yang heboh soal Michelin kan para juru masak restoran Perancis yang pretensius itu. Yang lainnya sih masa bodoh."

Di Indonesia, yang tentu jauh dari negara Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant ini, ketidakacuhan tersebut juga ada. Apalagi kultur kuliner kita amat jauh berbeda dengan kultur kuliner Eropa. Jika di Eropa, penampilannya kerap lebih mencolok ketimbang rasa; masakan Indonesia lebih menonjolkan rasa ketimbang penampilan. Banyak makanan Indonesia yang rasanya berada di langit lapis tujuh tapi cuek terhadap penampilan. Sebut saja rawon yang hitam, rendang yang cokelat pekat dan tampak tak menarik, hingga rujak cingur yang bagi masyarakat Eropa dianggap makanan ekstrem.

Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Jawa Timur, Tjahjo Haryono, juga mengakui hal yang sama. Di kawasan Asia, hanya Jepang, Hong Kong, atau Singapura yang menyambut penghargaan Michelin dengan bergairah.

"Kalau di Indonesia, yang khas dari daerah tersebut yang lebih menjadi referensi. Misalkan ke Purwokerto, orang akan mencari mendoan yang khas daerah itu. Jadi tidak perlu Michelin," kata Tjahjo

Penilaian dan pemberian bintang Michelin juga masih mengundang kontroversi. Kritik yang dilayangkan pada institusi ini antara lain terkait bias daerah, juga adanya anak emas. Beberapa restoran yang menjadi anak emas Michelin biasanya akan susah tergoyahkan.

Tidak hanya Indonesia yang seperti menjadi "anak tiri" Michelin. Negara adidaya kuliner seperti Italia ataupun India pun mengalami nasib yang serupa hanya karena dianggap tidak sesuai standar kelayakan Michelin. Italia pada 2012 hanya punya total 295 restoran Michelin. Terdiri dari 250 restoran satu bintang, 38 dua bintang, dan 7 restoran tiga bintang. Bandingkan dengan Prancis yang punya 594 restoran Michelin, terdiri dari 485 resto satu bintang, 83 resto dua bintang, dan 26 restoran tiga bintang.

Atau India. Negara dengan kultur kuliner agung sejak ribuan tahun lalu ini hanya punya 5 restoran Michelin. Itupun 2 restoran menyajikan makanan Jepang, 1 menyajikan dim sum, dan 1 lainnya menghadirkan masakan Mediterania. Hanya satu restoran yang menyajikan makanan India. Bandingkan dengan restoran Michelin di Britania Raya yang berjumlah 169. Padahal warisan kuliner terbaik Inggris selama 2.000 tahun, menyitir kalimat dari film Today's Special, hanyalah fish and chips. Dengan kata lain: sepele.

"Penghargaan Michelin itu enggak bisa dimasukkan ke konteks Indonesia. Kriterianya beda. Kecuali memakai pola yang dipakai di Singapura. Asal masakan enak, servis enggak penting. Jadi makanan kaki lima, makanan di pasar juga dikasih Michelin," kata pengamat kuliner William Wongso.

Para juru masak terbaik di Indonesia memang sebaiknya tak perlu patah hati karena diabaikan oleh Michelin. Sebab ada banyak sekali penghargaan lain untuk restoran-restoran terbaik. Restoran seperti Locavore, Sarong, Mozaic (Bali), atau Baan Aarya (Bintan) beberapa kali masuk dalam daftar restoran terbaik di Asia.

Pada akhirnya, di Indonesia, restoran fine dining dan penghargaan Michelin masih harus menapak di jalan yang berbeda. Setidaknya untuk sekarang.

Baca juga artikel terkait RESTORAN FINE DINING atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Indepth
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti