tirto.id - Pada September, pemberitaan tentang logo cap kaki tiga ramai kembali. Direktur Merek dan Indikasi Geografis Fathlurachman mengatakan pihaknya telah menghapus merek dan logo cap kaki tiga milik Wen Ken Drug. Penghapusan ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tahun lalu yang memenangkan gugatan seorang warga negara Inggris, Russel Vince.
Gugatan itu dilayangkan Vince lantara logo yang dipakai merek cap kaki tiga sama dengan logo salah satu negara bagian di Inggris, Isle of Man. Pengadilan Indonesia kemudian memenangkan gugatan itu dan sudah incracht hingga ke Mahkamah Agung.
Kasus gugatan merek sebelumnya juga terjadi antara Jack Wolfskin Ausrustung Fur Draussen GMBH & Co KGaA yang melayangkan gugatan pembatalan merek di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Merek yang diajukan untuk dibatalkan adalah merek yang sama milik pengusaha lokal, Alexander Wisata.
Dari segi bunyi, huruf dan warna yang digunakan, merek Jack Wolfskin milik Alexander tampak sama dengan merek milik perusahaan asal Jerman itu. Logo tapak kaki serigala yang menjadi ciri khas pun ikut dicatut. Alexander memakai merek Jack Wolfskin pada produk tas yang diproduksinya.
Merek yang sangat jelas mendompleng itu didaftarkan Alexander pada tahun 2002 untuk kelas 18 dan 25. Kemudian, pada 2007, merek Jack Wolfskin milik perusahaan Jerman juga terdaftar pada kelas yang sama. Tahun 2011, Alexander memperpanjang kepemilikan mereknya, dan proses perpanjangan lancar-lancar saja.
Padahal, jika petugas yang memproses pendaftaran merek mau lebih teliti sedikit saja, sangat gampang menemukan fakta bahwa merek Jack Wolfskin milik Jack Wolfskin Ausrustung Fur Draussen GMBH & Co KGaA adalah merek terkenal. Sehingga, tidak akan terjadi kepemilikan ganda atas satu merek yang sama.
Setelah melewati proses persidangan, Alexander Wisata kalah. Majelis hakim memerintahkan Ditjen KI untuk menghapus merek miliknya dari daftar umum merek. Majelis menilai pendaftaran merek oleh Alexander dilakukan dengan iktikad tidak baik. Sebagai pengusaha, ia memanfaatkan keterkenalan merek Jack Wolfskin agar produknya laku. Ini tentu membuat konsumen menyangka bahwa tas yang diproduksinya memiliki afiliasi dengan Jack Wolfskin, perusahaan asal Jerman.
Masih di tahun yang sama, Sephora—peritel kosmetik asal Perancis—menggugat perancang busana lokal bernama Yuana Tanaya. Yuana mendaftarkan merek Sephora Batik untuk produk batik rancangannya. Meskipun merek itu digunakan untuk produk yang berbeda, pihak Sephora merasa dirugikan sebab namanya dicatut, seolah Sephora Batik adalah afiliasi-nya.
Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian mengabulkan gugatan dan memerintahkan Ditjen KI membatalkan pendaftaran merek Sephora Batik milik Yuana. Dengan begitu, merek Sephora Batik milik Yuana tak boleh lagi digunakan.
Yuana dianggap memiliki iktikad tidak baik dalam pendaftaran merek Sephora Batik sebab ada kesamaan bunyi dan bentuk dengan merek Sephora. Padahal, merek Sephora telah terlebih dahulu terdaftar di berbagai negara. Gerai-gerai Sephora telah beroperasi di 29 negara. Hingga kini, jumlah gerai kecantikan milik LVMH Hennessy Louis Vuitton ini mencapai 1.900 unit. Sejak 1999, Sephora sudah membuka jalur pembelian lewat internet.
Masih di 2015, produsen elektronik asal Cina bernama Skyworth juga menggugat Linawaty Hardjono, pemilik merek Skyworth yang terdaftar di Ditjen KI. Sama seperti Jack Wolfskin dan Sephora, gugatan tersebut dikabulkan. Perusahaan dari Negeri Tiongkok itu mendapat hak penuh penggunaan merek Skyworth di Indonesia.
Ini juga tidak akan terjadi jika saat Linawaty mendaftarkan merek Skyworth, pihak Ditjen KI lebih teliti. Pasalnya, Skyworth adalah merek terkenal yang sudah didaftarkan di beberapa negara seperti Australia, Hong Kong, Thailand, dan Afrika Selatan. Pendaftaran itu dilakukan jauh sebelum adanya pendaftaran merek yang sama di Indonesia.
Tiga perkara tersebut hanya sebagian kecil dari begitu banyaknya sengketa merek yang disebabkan ketidaktelitian lembaga bernama Ditjen KI. Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pendaftaran perkara sengketa merek selalu ramai tiap tahunnya.
Tahun ini saja, sudah terdaftar 52 perkara sepanjang Januari hingga Mei. Tahun lalu, jumlah perkara merek yang terdaftar menyentuh angka 80. Hampir seluruh perkara itu menyeret Ditjen KI sebagai turut tergugat. Karena bagaimanapun juga, lembaga itu yang meloloskan pendaftaran merek.
Memang, tidak semua perkara sengketa merek adalah akibat dari kelalaian Ditjen KI, sebagian perkara memang datang dari para pemilik merek itu sendiri. Namun, fakta bahwa cukup banyak perkara yang seharusnya tidak perlu ada jika Ditjen KI lebih teliti tidak bisa dipungkiri.
Begini, jika diperhatikan, majelis hakim selalu menggunakan dalil yang serupa ketika mengabulkan permohonan pembatalan suatu merek. Dalil paling penting adalah adanya persamaan pada pokoknya dengan merek lain yang sudah terdaftar, atau merek lain yang terkenal. Ini seperti yang termaktub dalam Undang-undang Merek.
Poin ini juga yang seharusnya digunakan Ditjen KI sebelum memutuskan menerima pendaftaran suatu merek. Tetapi nyatanya, merek-merek yang jelas mendompleng merek terkenal itu lolos. Apakah begitu susah bagi Ditjen KI untuk mencari tahu suatu merek yang didaftarkan memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang terkenal? Padahal untuk membuktikan itu, bisa dengan mengetikkannya saja di mesin pencari. Andai saja Ditjen KI mau lebih teliti...
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti