tirto.id - Pembangunan pabrik baterai lithium milik PT QMB New Energy Materials di Morowali, Sulawesi Tengah, resmi dimulai pada Jumat (11/01/2019). Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang mengesahkan peletakan batu pertama proyek terebut menyatakan pentingnya keberadaan pabrik baterai untuk kebutuhan pengembangan industri kendaraan bertenaga listrik di Indonesia.
Menurut Airlangga, pemerintah menargetkan 20 persen dari produksi kendaraan Indonesia pada 2025 sudah bertenaga listrik. “Artinya, ketika produksi mencapai 2 juta unit per tahun, sebanyak 400 ribu itu kendaraan listrik,” katanya.
Berbagai upaya untuk mempercepat era mobil listrik di Indonesia sedang digiatkan oleh jajaran pemerintah. Selain membangun pabrik baterai sebagai nyawa utama kendaraan listrik, Kementerian Perindustrian mengusulkan pengurangan bea masuk mobil listrik ke Indonesia, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengusulkan revisi beberapa skema perpajakan yang dianggap memberatkan. Menteri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk melarang penjualan kendaraan mesin diesel dan bensin pada 2040.
Peraturan presiden (perpres) yang akan mengatur pengembangan industri mobil listrik di Indonesia masih dalam tahap penyelesaian dan segera diterbitkan. Perpres mobil listrik akan mengatur mengenai industri mobil listrik, biaya masuk, pajak, dan kapasitas yang harus dipenuhi.
Langkah yang diambil pemerintah dengan menggarap sektor kendaraan listrik sesuai dengan tren global kendaraan masa depan yang hemat energi dan ramah lingkungan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim pemanasan global di planet bumi. Bahkan beberapa negara sudah melarang penjualan kendaraan berbahan bakar minyak pada masa mendatang, seperti di Norwegia (2025), Jerman, Inggris, Amerika dan India (2030) serta Perancis (2040).
Mobil listrik saat ini punya beragam jenis, mulai dari hibrida, PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle), baterai, hingga FCV (Fuel Cell Vehicle).
Hibrida menggabungkan mesin pembakaran dengan motor listrik berbaterai untuk mengurangi konsumsi bahan bakar dan emisi knalpot. PHEV adalah kendaraan listrik berbekal baterai untuk perjalanan jarak pendek. Baterai adalah jenis kendaraan listrik yang sepenuhnya menggunakan daya baterai dan dapat diisi ulang di stasiun pengisian daya. Adapun FCV menggunakan gas hidrogen sebagai bahan bakar untuk memberi daya pada motor listrik. Hampir tidak ada emisi yang dihasilkan jika hidrogen berasal dari sumber energi terbarukan.
Sudah Populer di Cina
KTT Aksi Iklim Global 2018 menyerukan percepatan laju peluncuran kendaraan listrik. Jika Indonesia masih dalam tahap merintis jalan percepatan penggunaan kendaraan listrik, maka tidak dengan sejumlah negara lain yang masyarakatnya sudah cukup akrab dengan mobil listrik. Di negeri-negeri tersebut, mobil listrik bahkan menjadi industri andalan.
Cina memulai kampanye program kendaraan listrik sejak 2009. Hampir tidak ada mobil listrik di jalan-jalan Cina satu dasawarsa silam. Kampanye tersebut terlihat hasilnya hari ini. Kendaraan listrik sudah menjadi alat transportasi sehari-hari.
Pada April 2018, misalnya, 35 persen penjualan kendaraan listrik secara global berada di Cina. Menurut data yang dihimpunSouth China Morning Post (SCMP), diperkirakan ada satu juta kendaraan listrik terjual di Cina pada 2018. Pada 2017, 777 unit kendaraan listrik terjual. Angka ini naik 53 persen dari tahun 2016 ketika kendaraan listrik terjual sebanyak 507 ribu unit.
Kota Shenzhen adalah satu-satunya kota di dunia yang punya bus-bus kotanya 100 persen bertenaga listrik. Kota yang jadi pusat teknologi di Cina itu juga mewajibkan kendaraan taksi yang berbahan bakar minyak seluruhnya diganti dengan kendaraan listrik berjenis baterai murni dan PHEV. Perusahaan BYD Automobile selaku produsen kendaraan listrik terbesar kedua di dunia setelah Tesla juga berada di Shenzhen.
Pemerintah Cina memberlakukan sederet kebijakan untuk membuat warga Cina beralih dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik. Misalnya insentif pajak yang murah, subsidi jutaan dolar untuk pembuat mobil dan konsumen kendaraan listrik, pembangunan infrastruktur pengisian daya di seluruh negeri, serta pembatasan penjualan dan penggunaan mobil berbahan bakar minyak.
Semua pabrik kendaraan yang beroperasi di Cina tak terkecuali pemain besar seperti Toyota Motor dan General Motors juga harus mematuhi persyaratan minimum memproduksi kendaraan listrik. Bloombergmenyebut, kini perusahaan otomotif di Cina dipaksa keras untuk berbenah menyesuaikan regulasi baru guna mencapai target pemerintah yang menginginkan pada 2025 ada tujuh juta mobil listrik yang terjual setiap tahunnya.
Setelah sukses dengan program konversi ke kendaraan listrik, Cina bakal mengambil kebijakan serupa untuk mempopulerkan mobil bertenaga hidrogen yang ramah lingkungan pada 2019. Dilansir dari Quartz, pemerintah berencana mempromosikan mobil tenaga hidrogen di sejumlah kota seperti Beijing, Shanghai, dan Chengdu.
Eropa dan Amerika Serikat Lebih Unggul
Lebih dari satu juta mobil listrik berkeliaran di jalan-jalan Eropa hari ini. Guardian melaporkan sekitar 195.000 unit mobil listrik jenis PHEV terjual di Uni Eropa, Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss selama Januari-Juni 2018. Angka penjualan diklaim melonjak 42 persen dari periode yang sama pada 2017.
Norwegia memimpin angka penjualan kendaraan listrik tertinggi dengan 36.500 unit. Sejauh ini Norwegia memang dikenal unggul dalam hal konversi ke kendaraan listrik berkat kebijakan pemerintah yang memberikan banyak keringanan biaya. Diperkirakan Jerman akan menyusul pesatnya pertumbuhan kendaraan listrik di Eropa dan melampaui Norwegia pada akhir 2018.
Cina boleh juara dalam hal jumlah dan produksi mobil listrik. Tetapi jika dilihat berdasarkan populasi dan presentasi kepemilikan, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat justru lebih unggul.
Dihimpun Green Car Reports, negara dengan mobil listrik per kapita terbanyak sejauh ini adalah Norwegia. Sebanyak 3,3 persen dari total populasi memiliki mobil listrik, diikuti oleh Belanda (0,7 persen), Swedia (0,4 persen), dan Belgia (0,3 persen). Berturut-turut setelah itu AS, Inggris, Prancis, Jepang, Jerman, dan Cina yang bertengger di urutan kesepuluh. Dengan penduduk Cina yang mencapai milyaran itu, masih banyak penduduk yang belum memiliki kendaraan listrik.
Dari sisi persentase total mobil, Cina ada di urutan kelima. Norwegia unggul nomor satu dengan 6,5 persen dari semua mobil yang berlalu-lalang di jalanan menggunakan tenaga listrik, disusul Belanda (1,46 persen), Swedia (0,9 persen), Belgia (0,5 persen), Prancis dan Inggris (0,4 persen), AS dan Jepang (0,3 persen), kemudian Jerman (0,2 persen).
Namun, angka penjualan mobil listrik yang besar akan sia-sia jika tidak disokong oleh keberadaan stasiun pengisi daya yang mumpuni. Hanya tersedia stasiun pengisi daya kurang dari dua unit per mil di AS, Prancis, dan Jepang. Belanda, negeri yang relatif lebih kecil dibanding AS dan Prancis, memiliki lebih dari 14 stasiun pengisi daya per milnya. Disusul Norwegia yang memiliki tujuh stasiun pengisi daya per mil.
Asia Tenggara Merintis
Konversi besar-besaran dari mobil konvensional berbahan bakar minyak ke mobil listrik belum terasa di kawasan Asia Tenggara. Mayoritas pemerintah di kawasan tersebut masih dalam tahap membuat regulasi dan infrastruktur pendukung untuk memperlebar dan memuluskan jalan masuk mobil listrik secara masif agar tak ketinggalan Cina, Eropa, dan Amerika Serikat.
Jika regulasi dan infrastruktur sudah siap, wilayah Asia Tenggara diprediksi dapat memiliki 59 juta kendaraan listrik roda dua dan 8,9 juta kendaraan listrik roda empat pada 2025, menurut laporan (PDF) Asosiasi Energi Terbarukan Internasional (IRENA).
Thailand memimpin negara-negara di Asia Tenggara lainnya dalam pemberian insentif bagi konsumen dan investor untuk meningkatkan industri kendaraan listrik domestik, catatNikkei Asian Review pada 2017. Pembebasan pajak penghasilan perusahaan selama delapan tahun ditawarkan bagi investor untuk perakitan kendaraan listrik domestik jenis baterai dan tiga tahun untuk investor PHEV.
Tak hanya itu, perusahaan kendaraan listrik di Thailand dimudahkan dengan kemudahan memperpanjang pembebasan pajak masing-masing hingga 6-10 tahun jika mereka menghasilkan komponen utama seperti baterai dan kereta listrik di dalam negeri. Mesin yang diperlukan untuk memproduksi semua jenis kendaraan listrik, termasuk mobil hibrida, ikut dibebaskan dari tarif impor.
Mulai digunakannya kendaraan listrik di Asia Tenggara adalah langkah yang tepat untuk mengurangi tingkat polusi udara akibat emisi kendaraan berbahan bakar minyak. Meski begitu, sebuah laporan penelitian tahun 2017 yang didukung Greenpeace dan Harvard University menyebutkan emisi batu bara di Asia Tenggara diproyeksikan meningkat tiga kali lipat pada 2030 dan berkontribusi pada kematian orang akibat polusi udara.
Sebab, permintaan akan listrik di Asia Tenggara diproyeksikan meningkat sebesar 83 persen antara 2011 dan 2035. Persentase tersebut dua kali lipat dari rata-rata global.
Editor: Windu Jusuf