Menuju konten utama

Kapan Era Kendaraan Bensin Berakhir di Indonesia?

Tren mobil konvensional berbahan bakar minyak menuju mobil listrik mulai semakin terasa. Cina, salah satu populasi mobil listrik paling besar di dunia.

Kapan Era Kendaraan Bensin Berakhir di Indonesia?
Mobil listrik BMW i3 di stasiun isi ulang di Munich, Jerman. iStock Editorial/Getty Images

tirto.id - Putra Ali, 29 tahun, pengusaha di Lenteng Agung, Jakarta Selatan sedikit bimbang setelah menghimpun beragam informasi tentang mobil listrik yang kabarnya akan jadi tren baru di dunia. Ia khawatir berbagai ketidakjelasan aturan akan membuatnya rugi setelah membeli mobil yang harganya tidak murah itu.

"Katanya mobil listrik di beberapa negara sudah mulai ramai. Ada yang dilarang juga malah beberapa tahun lagi. Kalau di Indonesia dilarang, waduh repot juga. Padahal mau merasakan mobil baru (konvensional)," katanya kepada Tirto.

Beberapa negara sudah mengarahkan konsumen kendaraan untuk memilih mobil listrik. Perancis dan Inggris telah berikrar akan melarang penggunaan mobil konvensional pada 2040. Di Indonesia, pemerintah masih “merancang” regulasi pemberdayaan mobil listrik, antara lain menyusun skema industri manufaktur, mengadakan infrastruktur pendukung, dan mengkalkulasi insentif industri mobil listrik.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah merancang roadmap untuk mencanangkan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Mulai 2020, ditargetkan 10 persen dari 1,5 juta mobil yang diproduksi di dalam negeri adalah Low Carbon Emission Vehicle (LCEV), meliputi mobil hybrid, plug-in hybrid, dan full electric vehicle (EV). Selepas 2025 targetnya populasi LCEV menembus 20 persen dari dua juta produksi mobil lokal. Berlanjut di 2030 jumlahnya naik menjadi 25 persen per tiga juta mobil. Sampai di 2035 dipatok target produksi LCEV sampai di level 30 persen dari 4 juta mobil produksi dalam negeri.

Bila mengacu pada roadmap tersebut, pemerintah masih tetap melegalkan mobil bermesin bensin dan solar berseliweran setidaknya sampai 2035. Persentase mobil konvensional juga masih lebih tinggi daripada LCEV sampai 17 tahun ke depan.

Direktur Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan pemerintah secara bertahap mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Sebagai gantinya, pada 2020 nanti produksi bahan bakar nabati sejenis biodiesel dan biomassa bakal digenjot untuk memenuhi kebutuhan nasional.

“Tahun 2020 nanti kita naikkan (campuran) bahan bakar nabati itu, seperti CPO (crude palm oil) dan biomassa menjadi B30 (campuran 30 persen). Tujuannya mengurangi devisa impor bahan bakar fosil,” ujar Putu Juli Ardika.

Tahun ini, Kemenperin menggandeng Toyota Indonesia untuk melakukan studi teknologi mobil hybrid dan plug-in hybrid di enam universitas, yakni ITB, UGM, UNS, UI, ITS, dan Udayana. Toyota menghibahkan 12 unit mobil LCEV, berupa enam Toyota Prius Hybrid dan Prius Plug-in Hybrid. Mobil tersebut akan dibedah oleh kalangan universitas untuk mengobservasi data-data yang berguna dalam pengembangan teknologi seputar motor listrik, baterai, power control unit, berkaitan dengan aspek jarak tempuh kendaraan, serta infrastruktur pendukung di Indonesia.

Sebelumnya, Kemenperin juga menerima hibah delapan unit Mitsubishi Outlander PHEV, dan dua unit kendaraan listrik i-MiEV dari PT Mitsubishi Motor Krama Yudha Sales Indonesia (MMKSI). Bedanya, mobil dari Mitsubishi dimanfaatkan untuk pengkajian regulasi industri mobil listrik oleh pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Perhubungan.

"Mitsubishi kemarin, kami bicara studi dengan stakeholder kementerian yaitu dari Ristek, Kementerian Keuangan soal fiskal, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan. Kalau yang sekarang (Toyota) dengan perguruan tinggi," jelas Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dikutip dari Antara.

Untuk menarik minat pelaku industri mencurahkan investasi dalam industri kendaraan ramah lingkungan, pemerintah berencana memberikan tax holiday atau pengurangan pajak penghasilan bagi perusahaan yang melakukan pengembangan baterai kendaraan listrik. "Regulasinya sudah disiapkan," ujar Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin, Harjanto.

Di sisi lain, menurut Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi, pelaku industri otomotif di Indonesia sudah siap beralih ke era mobil listrik, tinggal menunggu infrastruktur dan insentif dari pemerintah.

"Kalau dari industri kita sudah siap dan menyambut baik perkembangan itu, karena teknologi itu tidak bisa kita batasi. Toyota, Mitsubishi, Honda misalnya, sudah punya produknya (mobil hybrid, plug-in hybrid). Tinggal bagaimana permintaan (konsumen), regulasi dari pemerintah dan insentif yang diberikan," kata Nangoi kepada Tirto.

Infografik Mobil Listrik di Indonesia

Negara yang Serius dengan Mobil Listrik

Menengok perkembangan mobil listrik di negara lain, Indonesia jelas jauh tertinggal. Menurut laporan Forbes, saat ini Cina merupakan negara dengan populasi mobil listrik paling besar di dunia, mengungguli Amerika Serikat. Sebanyak 468 ribu mobil penumpang dan 198 ribu kendaraan komersial jenis BEV (Battery Electric Vehicle) terjual di Cina selama 2017. Sedangkan mobil tipe plug-in hybrid jumlah penjualannya lebih kecil, yakni 111 ribu mobil penumpang dan 14 ribu unit kendaraan komersial.

Melesatnya populasi mobil listrik di Cina dipicu kebijakan pemerintah yang berpihak pada konsumen dan produsen kendaraan. Pada awal 2018, pemerintah Cina menaikkan subsidi harga menjadi 50 ribu yuan (senilai Rp 107 juta) untuk mobil listrik dengan jarak tempuh 400 km atau lebih. Sementara itu, subsidi untuk mobil full EV dengan jarak tempuh minimal 300 km nilainya tetap 44 ribu yuan (senilai Rp94 juta). Subsidi harga tersebut tidak berlaku untuk mobil listrik yang memiliki kemampuan jelajah di bawah 150 km.

Sistem subsidi mobil listrik sudah dilaksanakan Cina sejak 2010. Pemerintah Kota di Beijing dan Shenzen bahkan memberikan subsidi tambahan insentif untuk mereduksi harga mobil listrik di wilayahnya. Namun, jumlah subsidi yang diberikan dibatasi tidak melebihi 50 persen dari jumlah subsidi pemerintah pusat.

Ihwal infrastruktur pendukung operasional mobil listrik, pemerintah Cina sudah menyebar 171 ribu stasiun pengisian daya listrik di pelbagai tempat. Sehingga, pengguna mobil listrik tidak khawatir kehabisan baterai di tengah perjalanan.

Di Amerika Serikat tercatat kurang lebih 540 ribu mobil listrik, kategori hybrid, PHEV, dan full EV sudah berseliweran di jalan raya pada 2016. Namun, persentase penjualan mobil listrik di Negeri Paman Sam masih jauh lebih kecil dibandingkan mobil bermesin bakar. Hanya 134 ribu mobil elektrik yang dilansir manufaktur otomotif dari 17,5 juta produk mobil di tahun tersebut.

Sama seperti Cina, pemerintah Amerika Serikat pun memberi perhatian lebih pada pengembangan industri mobil listrik. Sejak awal Januari 2010, pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan pajak sebesar US$2.500 sampai US$7.500 untuk mobil plug-in hybrid, tergantung kapasitas baterainya. Insentif tersebut berlaku untuk 200 ribu unit mobil listrik yang terjual setiap enam bulan.

International Energy Agency mencatat, hanya ada sembilan negara di dunia yang menjadi habitat terbesar kendaraan listrik dengan pangsa pasar mobil listrik di atas 1 persen dari total mobil yang terdaftar setiap tahun. Antara lain, Cina yang memiliki populasi terbesar, Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Norwegia, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, dan Swedia. Sedangkan negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia masih belum ramah untuk mobil listrik, akumulasi penjualan mobil listrik di luar sembilan negara tersebut tidak sampai 200 ribu unit pada 2010-2016.

Jalan berliku nasib mobil listrik di dunia juga diperkeruh oleh adanya pertentangan dari pebisnis yang menggantungkan hidup pada keberlangsungan mesin bakar, salah satunya pelumas. Melansir Wall Street Journal, buat menangkal ekspansi besar-besaran mobil listrik, para produsen pelumas mesin kendaraan berinovasi membuat oli yang lebih lembut atau tingkat kekentalannya rendah. Tujuannya, agar pabrikan kendaraan bisa membuat mesin berperforma tinggi tapi dengan kapasitas kecil, lazimnya dilengkapi turbocharged. Mesin seperti itu setidaknya bisa meningkatkan efisiensi hingga 15 persen dan tingkat emisi lebih baik.

Taktik tersebut dilakukan pabrikan pelumas agar perusahaan manufaktur tetap mempertahankan bisnis mobil konvensional dan mengurangi produksi kendaraan elektrik. "Mesin bakar masih punya jalan panjang untuk dilanjutkan (diproduksi)," ujar Vice President of Global Commercial Technology Shell Lubricants.

Mobil listrik seringkali dikaitkan dengan "konspirasi" oleh mereka yang terlibas dari perubahan era kendaraan listrik. Mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi Prof Zuhal dalam tulisannya berjudul Mobil Listrik Seakan Mati pernah mengutip ucapan Dahlan Iskan, mantan dirut PLN dan menteri BUMN soal nasib mobil listrik.

"Tonton saja film Hollywood berjudul ‘Who killed the electric car’. Kurang lebih sama dengan itu"

Baca juga artikel terkait MOBIL LISTRIK atau tulisan lainnya dari Yudistira Perdana Imandiar

tirto.id - Otomotif
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra