Menuju konten utama

Memudarnya Keberuntungan Tuan Rumah di Pertandingan Olahraga

Pertandingan olahraga di masa pandemi, menunjukkan misteri HFA tetap terjadi, namun angkanya berkurang.

Memudarnya Keberuntungan Tuan Rumah di Pertandingan Olahraga
Ilustrasi Sepak Bola. foto/Istockphoto

tirto.id - Selama beberapa dekade, statistik menunjukkan bahwa tim olahraga atau atlet individu yang bermain di lapangan sendiri, memenangkan lebih banyak pertandingan daripada atlet tamu.

Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Applied Social Psychology menemukan tim sepak bola memenangkan 67,4 persen dari permainan saat tanding di kandang sendiri. Sedangkan untuk olahraga basket, tenis, hoki, sepak bola, kriket, dan bisbol, kemenangannya berkisar antara 55 persen hingga 65 persen.

Para peneliti mempelajari Home Field Avantage (HFA) - sebuah fenomena saat tim tuan rumah memiliki keunggulan dibandingkan tim tandang - dalam berbagai jenis olahraga dan tempat. Mereka meneliti olahraga individu maupaun olahraga beregu, di tingkat sekolah menengah, perguruan tinggi, dan profesional - untuk membuktikan apakah HFA berlaku di berbagai tempat.

Namun, fenomena ini semakin menurun dari waktu ke waktu. Di Piala Dunia 2022, saat Qatar sang tuan rumah harus mundur dari penyisihan babak grup A, semakin menunjukkan menurunnya “hoki” tuan rumah dalam pertandingan.

Artikel “Why the Home Field Advantage is on the Decline” menuliskan faktor-faktor kemungkinan terjadinya penurunan HFA yang sempat mumpuni satu dekade lalu.

Fenomena penurunan ini menurut artikel tersebut terjadi karena adanya perubahan aturan permainan di abad ke-21. Pada tahun 1999, misalnya, NFL melembagakan instant replay dan juga aturan yang memungkinkan pelatih untuk mempertanyakan keputusan wasit.

Perubahan aturan tersebut, membuat keunggulan tuan rumah pertandingan sepakbola pada tahun 2020 menurun menjadi sekitar 52 persen. Aturan yang memungkinkan pelatih untuk melakukan hal ini di ajang basket, dilansir juga mengurangi keunggulan tuan rumah.

Faktor lain yang menjadi faktor berkurangnya fenomena HFA adalah kemajuan dalam kedokteran olahraga dan logistik, yang telah mengurangi dampak negatif perjalanan. Penggunaan kaus kaki dan persiapan atlet untuk meningkatkan asupan air saat ingin bertanding juga menjadi faktor pendukung.

Fasilitas mewah seperti terapis pijat, koki pribadi, kini membuat tim tamu menjadi lebih rileks dan nyaman berada di "kandang" lawan.

Fenomena misteri HFA di masa Covid-19 sebenarnya masih terbukti terjadi di masa pandemi. Dengan kondisi pandemi, misalnya, tim tuan rumah yang merasa nyaman dan lebih mengenal lingkungannya dikatakan mendapatkan keuntungan.

“Selama pandemi, tidur di tempat tidur sendiri versus tidur di hotel, menurut saya, berpotensi signifikan dalam hal kinerja,” ujar penulis ilustrasi olahraga L. Jon Wertheim.

Faktor keriuhan penonton tuan rumah dikatakan tidak terbukti berpengaruh pada kerja tim, melainkan lebih kepada keputusan wasit. Namun, bukan berarti ada konsipirasi antara wasit dan tuan rumah. Psikolog yang telah mempelajari isu ini mengatakan, bahwa pengaruh orang banyak terhadap keputusan wasit (yang kemudian terlihat membela tuan rumah) dilakukan tanpa disadari.

Secara keseluruhan, pertandingan olahraga di masa pandemi, masih menunjukkan bahwa misteri HFA masih tetap terjadi, namun angkanya berkurang.

Kejayaan Masa Lalu Tuan Rumah

Banyak faktor yang membuat tuan rumah pada satu masa berhasil menang di lapangannya sendiri.

Artikel yang ditulis di Science ABC memaparkan ada beberapa faktor yang memengaruhi kemenangan tim yang tanding di kandang sendiri. Faktor kerumunan (crowd) menjadi salah satu yang berpengaruh pada kondisi mental dan fisik atlet.

Efek kerumunan yang berasal dari jumlah penonton dan tingkah lakunya ini yang berdampak besar pada performa atlet, membakar kepercayaan diri, dan memotivasi pemain untuk menunjukkan kemampuan mereka secara maksimal dan menjadi yang terbaik.

Bepergian jarak jauh - contohnya pertandingan yang diselenggarakan di benua lain, membuat atlet tak jarang berada di bawah tekanan fisik dan psikologis. Mereka bisa mengalami jet lag, adaptasi dengan lingkungan baru termasuk soal makanan atau cuaca yang berbeda dengan tempat asalnya.

Sedangkan, tim tuan rumah berada di atas angin karena tetap berada di zona nyamannya, tanpa harus mengalami gangguan apapun dalam jadwal rutin untuk latihan, tidur. Tim tuan rumah juga punya keuntungan karena mereka telah mengetahui kondisi lingkungan sekitar seperti arah angin, atau posisi matahari yang dapat menguntungkan performa selama pertandingan.

Dukungan penonton yang sangat besar di "kandang" tuan rumah, seringkali membuat wasit berada di posisi yang sulit. Semua ejekan dan teriakan dari suporterdapat menekan wasit hingga pada akhirnya bersikap lebih lunak terhadap tim tuan rumah.

Untuk menghindari kemarahan penonton, wasit dapat memiliki bias untuk mendukung tim tuan rumah dengan membuat tim lebih sedikit melakukan pelanggaran, memberi lebih banyak tendangan bebas, dan lain-lain.

Psikolog Nick Neave dan Sandy Wolfson mengungkapkan pula ada lonjakan hormon testosteron ketika manusia berada di dalam lingkungan yang kompetitif, dalam hal ini adalah permainan olahraga.

Mereka menemukan kadar testosteron menunjukkan peningkatan yang lebih besar sebelum pertandingan kandang daripada sebelum pertandingan tandang.

Dengan peningkatan tersebut, tim tuan rumah memiliki tingkat agresi lebih besar, kecenderungan lebih banyak untuk mengambil risiko, dan tingkat metabolisme yang lebih tinggi di otot pemain.

Beban Mental Menjadi Tuan Rumah

Seperti dua sisi mata uang, main di kandang sendiri pun punya dimensi lain yang dapat menjadi kerugian bagi para pemain dari tim tuan rumah.

Bermain di kandang sendiri dapat menempatkan pemain pada ketakutan akan kegagalan karena adanya ekspektasi besar yang datang dari para suporter terhadap kemenangan mereka.

Alex Krumer, Ph.D, seorang Profesor Sports Economics di Molde University College di Norwegia, menguji soal kerugian bermain di kandang sendiri dengan menggunakan data dari semua kompetisi biathlon -olahraga musim dingin yang mempertandingkan ski lintas alam dan menembak- selama 17 tahun. Data yang terkumpul meliputi kompetisi di World Cup, World Championship, dan Olimpiade.

Studi yang dilakukan bersama rekannya Ken Harb-Wu menemukan, atlet yang paling terkenal melewatkan lebih banyak tembakan secara signifikan saat bertanding di negara asalnya, dibandingkan saat bertanding tandang di luar negeri. Penjelasan yang paling masuk akal dari temuan ini adalah berkaitan dengan tingkat ekspektasi besar dari suporter.

Hal ini tidak ditampik oleh Martin Fourcade, mantan atlet biathlon yang telah menjuarai Olimpiade lima kali. Ia mengatakan bahwa ia sangat emosional untuk berkompetisi di negara asalnya, dan merasa jauh lebih sulit daripada berkompetisi di luar negeri, karena ekspektasinya yang lebih besar.

Infografik Jago Kandang

Infografik Jago Kandang. tirto.id/Fuad

Artikel di The Guardian berjudul "Under Pressure: Why Atheletes Choke" memaparkan saat tekanan dalam pertandingan meningkat, begitu pula kecemasan seorang atlet.

Kecemasan adalah reaksi terhadap tekanan atau stres. Hal itu cenderung muncul selama pertandingan yang memicu rasa takut kalah atau mengancam posisi seseorang.

Kecemasan ini bersifat psikologis yang ditunjukkan dengan kekhawatiran dan ketakutan. Kecemasan juga bersifat fisiologis yang diperlihatkan dengan berbagai gejala seperti misalnya telapak tangan berkeringat dan detak jantung meningkat.

Kegagalan untuk mengelola kecemasan dan mengatasi tuntutan itu dapat menyebabkan penurunan kemampuan sangat parah- bahkan gagal melakukan hal yang biasa mereka praktikkan selama bertahun-tahun, yang dikenal sebagai respon choking atau tersedak.

Contoh yang baru-baru ini terjadi pada pemain ski alpen berprestasi di ajang kejuaran dunia dari Amerika Amerika, Mikaela Shiffrin. Sebelum Olimpiade 2022 di Beijing, ia telah memenangkan 73 pertandingan individu di Piala Dunia. Namun dalam dua pertandingan pertamanya di Olimpiade, Shiffrin gagal menyelesaikan dua pertandingan berturut-turut untuk pertama kali dalam karirnya.

Penyebab di balik ini adalah hormon stres kortisol. Seperti halnya kadar testosteron, kadar kortisol juga lebih tinggi sebelum pertandingan kandang dibandingkan dengan saat pertandingan tandang. Hormon kortisol diketahui mengurangi performa atlet dan menyebabkan respon choking, bahkan dalam situasi di mana kemenangan sudah dekat. Sehingga, meski bermain di kandang sendiri menguntungkan, namun itu semua sangat bergantung juga pada ketenangan seorang atlet.

Atlet tak ubahnya manusia lain pada umumnya yang memiliki kecemasan. Krumer mengatakan ada beberapa teknik untuk mengurangi stres. Seperti, menghitung menghitung mundur atau menarik napas dalam-dalam sebelum melakukan gerakan dalam pertandingan.

Sementara itu Sian Beilock, ahli saraf dan juga penulis buku Choke: What the Secrets of the Brain Reveal about getting It Right When You Have to menyarankan untuk melatih ketrampilan berada di bawah tekanan. Ia juga merekomendasikan untuk mengalihkan perhatian dan fokus pada hasil keseluruhan alih-alih langkah individu.

Meski demikian, Krumer berpendapat bahwa paling penting bagi atlet adalah menyadari bahwa stres dapat memengaruhi skill. Mengakui atau membicarakannya dengan psikolog, bukanlah hal yang memalukan untuk dilakukan.

Kini, permasalahan mental pada atlet semakin mendapatkan perhatian dalam olahraga profesional, meski sayangnya masih ada juga atlet yang menolak untuk mengakui pentingnya problem tersebut.

Baca juga artikel terkait TIM SEPAK BOLA atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Olahraga
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Lilin Rosa Santi