tirto.id - “Semoga pameran Teknopolis ini tidak sekadar tempat jual-beli, melainkan juga menjadi tempat pendidikan, literasi bagi masyarakat Indonesia mengenai Internet of Things.”
Sebuah pesan mendalam Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dalam sebuah pameran teknologi yang diberi tajuk Teknopolis, dihelat Jumat, 9 Juni 2017 lalu. Nama besar perusahaan teknologi seperti Samsung, Xiaomi, DJI, GoPro, Fujifilm, dan Microsoft meramaikan acara ini. Secara khusus pameran ini mengusung Internet of Things atau IoT.
IoT hanya satu dari tujuh teknologi yang dipercaya akan mengubah tatanan dunia. Teknologi pengubah dunia itu antaralain Robot, Sensor, Teknologi Medis, Ponsel Implan, Ride Sharing, Artificial Intelligent (AI), dan Internet of Things. Internet of Things merupakan konsep yang merujuk pada terkoneksinya segala perangkat, seperti perkakas rumah tangga, rumah, mobil, berbagai barang yang melekat pada tubuh, serta perangkat-perangkat teknologi lainnya. Satu sama lain, bekerja secara berkesinambungan dengan tujuan utama memudahkan hidup manusia.
Contoh IoT yang paling umum adalah konsep rumah pintar yang bisa meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Internet of Things, rumah bisa memahami bagaimana kebiasaan penghuni dan menggunakan data kebiasaan tersebut untuk memanjakan si penghuni rumah. Ini bisa terjadi bila perangkat yang ada di rumah menjadi kesatuan IoT, antaralain mengumpulkan data kelakuan penghuni rumah, menganalisanya. Hasil analisis tersebut, dijadikan pijakan si rumah pintar untuk melayani penghuni rumah.
Selain itu dengan IoT, segala hajat hidup manusia bisa dijadikan basis data yang berguna untuk kehidupannya. Gelang pintar misalnya, dengan perangkat tersebut, orang dengan mudah mendeteksi penyakit diabetes, bisa diingatkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mampu mengurangi bahkan mengobati penyakit itu. Gelang pintar, bisa mengukur sudah sejauh mana si pemakai berjalan kaki atau berlari dalam waktu tertentu.
IoT secara sederhana, selain suatu perangkat yang bisa digunakan untuk memudahkan hidup, juga merupakan pengumpul informasi penggunanya. Dalam sebuah laporan bertajuk “Cisco Global Cloud Index: Forecast and Methodology 2015-2020” yang dipublikasikan oleh Cisco, IoT akan menghasilkan lebih dari 500 Zettabyte data. 500 Zettabyte setara dengan 500 triliun Gigabytes. Dengan IoT, umat manusia akan kebanjiran data atau informasi yang bisa dimanfaatkan untuk kualitas hidup yang lebih baik.
IoT tidak hanya memiliki sisi baik malainkan punya sisi negatif. Sifat IoT yang bisa mengumpulkan data malah menjadi cikal-bakal marabahaya. Sebagaimana diwartakan Wired, James Clapper, mantan intelijen Amerika Serikat mengungkapkan, “(IoT akan digunakan untuk) identifikasi, penyadapan, pengawasan, pendeteksian lokasi, perekrutan, atau untuk memperoleh akses ke jaringan.”
IoT bisa mengaburkan privasi bagi manusia yang memanfaatkannya. Alih-alih menggunakan perangkat yang memudahkan hidup, dengan IoT, seakan-akan, manusia sedang ditelanjangi tanpa ia sadari. Meskipun tentu saja, penggunaan dalam dunia intelijen bisa diperdebatkan apakah baik atau buruk.
Dalam dunia intelijen, sebelum IoT hadir, terdapat 6 paradigma pengumpulan informasi yang dilakukan oleh intelijen, yakni Signal Intelligence, Imagery Intelligence, Measerement and Signature Intelligence, Human-Source Intelligence, Open-Source Intelligence, dan Geospatial Intelligence. Hadirnya IoT, paradigma tersebut bertambah dengan masuknya Temporal Intelligence.
Dikutip dari Wired, Temporal Intelligence berguna misalnya saat ada serangan teroris bunuh diri yang menyerang sebuah kota. Dengan memanfaatkan perangkat-perangkat IoT, meskipun sang teroris mati, segala tindak-tanduknya bisa dideteksi melalui perangkat-perangkat IoT yang bertebaran di mana-mana, bahkan di tubuh si teroris sendiri. Intelijen, bisa melakukan konstruksi tindakan si teroris, melalui data yang dikumpulkan.
Bagi dunia intelijen langkah tersebut jelas terlihat sangat baik. Namun bila menggunakan paradigma yang sama, bagaimana jika penjahat yang memanfaatkan IoT sebagai pengumpul informasi target yang sedang ia incar? Jelas, IoT bisa menjadi senjata yang membunuh tuannya sendiri.
Sebelum melangkah lebih jauh, IoT masih jadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Segala perangkat-perangkat yang terhubung dan masuk dalam kerangka IoT jelas memerlukan kekuatan koneksi internet yang andal dan stabil. Dikutip dari Leap Frog Services, semakin banyaknya perangkat yang terkoneksi jelas membutuhkan koneksi internet yang baik. Setidaknya, koneksi dengan kecepatan 10Mbps (untuk jumlah perangkat IoT yang sedikit) hingga lebih dari 40Mbps (untuk jumlah perangkat IoT yang banyak) wajib dimiliki Indonesia jika menghendaki penerapan IoT secara menyeluruh.
Sayangnya, berdasarkan Open Signal, rata-rata kecepatan internet Indonesia (mobile internet) hanya berada di kisaran 5,73Mbps. Cukup jauh dibandingkan kebutuhan IoT itu sendiri. Selain itu, masalah seperti mahalnya harga internet juga merupakan permasalahan yang harus segera diatasi.
Masalah demikian bukan hanya masalah yang dialami Indonesia juga negara-negara berkembang. Dikutip dari laman berita PBB, 57 persen penduduk dunia masih tidak terhubung ke internet. Di negara berkembang, hanya 35 persen penduduk yang terkoneksi internet. Ini artinya sebelum jauh melangkah, lebih baik permasalahan mendasar ini diperbaiki. Sehebat apa pun IoT, tak akan berguna jika tidak ada koneksi internet yang andal dan stabil yang mendukung.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra