tirto.id - Januari silam, Pakistan digegerkan dengan pembunuhan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap pria berusia 27 tahun bernama Naqeebullah Mehsud.
Menurut keterangan resmi polisi yang dikutip Al-Jazeera, Naqeebullah merupakan anggota Taliban Pakistan yang tewas dalam operasi terhadap "tempat persembunyian teroris". Akan tetapi, klaim polisi dibantah keras keluarga Naqeebullah yang menyatakan Naqeebullah adalah pria baik-baik yang bekerja sebagai model.
“Beberapa pria dengan dandanan bak preman datang dan menculiknya dari sebuah restoran di Karachi pada 3 Januari,” ungkap Alamgir Mehsud, sepupu Naqeebullah. “Kemudian, pada 16 Januari, kami diberitahu bahwa ia telah dibunuh oleh polisi.”
Penelusuran Al Jazeera memperlihatkan Naqeebullah—yang juga dikenal sebagai Naseemullah—memiliki akun Facebook dengan pengikut sebanyak 14 ribu. Di dalam akunnya, ia kerap mengunggah foto dirinya untuk model pakaian maupun gaya rambut.
“Dia dulu bekerja di pabrik tekstil di Karachi dan menggunakan gajinya untuk mengongkosi mimpinya jadi model,” tambah Alamgir. “Dia sudah jadi idola untuk kaum muda Mehsud di Karachi.”
Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan (HCRP) mengatakan bahwa Naqeebullah menjadi korban dari extrajudicial killing aparat kepolisian. Ketika polisi tidak punya cukup bukti untuk menyeret korban ke pengadilan, maka satu-satunya cara ialah dibunuh di tempat. Merujuk data HCRP, pada 2016 sudah ada 318 korban tewas di Karachi yang disebabkan metode ini.
Menyuarakan Kesetaraan Etnis
Kematian Naqeebullah memicu kecaman yang luas dari publik, terutama etnis Pashtun yang menjadi kelompok terbesar kedua di Karachi—lokasi dibunuhnya Naqeebullah. Selain kelompok Pashtun, ada pula kelompok Mehsud yang turut memprotes tindakan polisi tersebut.
Pada 1 Februari lalu mereka turun ke jalan. Kejadian ini disebut sebagai “Pashtun Long March.” Selama 10 hari, mereka memenuhi jalanan ibukota Pakistan, Islamabad, guna menuntut keadilan dan keterbukaan pemerintah atas kasus tewasnya Naqeebullah.
Para pendemo juga menuntut diakhirinya aksi diskriminasi terhadap penduduk Pashtun dan mereka yang tinggal dalam teritori FATA—Wilayah Kesukuan Federal Pakistan, dekat perbatasan Afghanistan. Selama ini, baik Pashtun maupun mereka yang hidup di wilayah FATA, sering kena bulan-bulanan aparat (penculikan, pembunuhan, dan lain sebagainya) karena dianggap dekat dengan “teroris.”
Amin Saikal dalam “Afghanistan and Pakistan: The Question of Pashtun Nationalism?” (2010) yang terbit di Journal of Muslim Minority Affairs menyebutkan bahwa sejak 2001—tepatnya pasca-911—orang-orang Pashtun kerap mendapat perlakuan intens dari pemerintah Pakistan. Datangnya perlakuan tersebut berangkat dari faktor bahwa banyak orang Taliban berlatarbelakang suku Pashtun.
Pemerintah pun melakukan operasi militer di wilayah Pashtun. Sejak 2001 tercatat sudah ada 10 operasi militer Pakistan untuk membasmi Taliban. Operasi terakhir dilakukan pada 2013 dan menyasar wilayah Waziristan Utara.
Dampak dari operasi tersebut tidak main-main. Laporan PBB menyebutkan sekitar dua juta orang mengungsi, rumah-rumah hancur, serta fasilitas publik lainnya macam sekolah sampai rumah sakit rusak. Yang lebih parah lagi, masyarakat sipil jadi sasaran tentara Pakistan. Mereka diburu, diculik, dan dibunuh karena dianggap berafiliasi dengan Taliban.
Selain di Islamabad, aksi serupa muncul di Dera Ismail Khan, Landi Kotal, sampai Swat. Para pendemo di lokasi tersebut menyuarakan hal yang sama: menuntut pemerintah Pakistan menyudahi tindakan diskriminatif terhadap etnis Pashtun.
“Tentunya hal ini dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak Pashtun yang tidak terlihat selama bertahun-tahun,” kata Rahimullah Yusufzai, editor surat kabar The News seperti dilansir The New York Times. “Orang-orang dari wilayah kesukuan memiliki perasaan kecewa dan marah karena mereka diperlakukan semena-mena oleh negara selama beberapa dekade.”
Baru-baru ini, aksi yang sama dilakukan pemuda asal Sarwakai, Waziristan Selatan, bernama Manzoor Ahmed. Sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan atas diskriminasi yang ditujukan kepada kelompok Pashtun, ia mengenakan penutup kepala berwarna hitam dan merah serta menambahkan kata “Pashteen” di belakang nama aslinya.
Sontak, aksi Manzoor menjadi viral. Orang-orang mulai memakai tutup kepala serta menyematkan kata “Pashteen” sebagai wujud perjuangan menuntut hak dan perlindungan terhadap etnis Pashtun.
“Ketika saya memulai gerakan ini, saya menggunakan [tutup kepala] untuk pergi dari rumah ke rumah dan memberitahu orang-orang tentang ketidakadilan dan kekejaman yang terjadi di wilayah kami,” akunya kepada Al Jazeera. “Tapi, saya akan mendapatkan jawaban dari mereka: ‘Jangan melakukan hal ini. Kamu bisa mati dibunuh!’”
Sebelum melakukan aksi ini, Manzoor—yang juga lulusan kedokteran hewan Universitas Gomal di Dera Ismail Khan—lebih dulu membuat Gerakan Mehsud Tahafuz pada 2014. Lewat gerakan tersebut, Manzoor hendak membela nasib kelompok Mehsud yang juga rentan akan diksriminasi dari pemerintah Pakistan.
FATA dan Pasca-911
Bagi negara-negara Barat, gagasan tentang “budaya kesukuan” seringkali dilekatkan dengan citra masyarakat terbelakang serta tidak berpendidikan. Tak hanya itu, “budaya kesukuan” juga acapkali dijadikan alasan utama terjadinya kekacauan—termasuk terorisme—di pelbagai wilayah macam Afghanistan, Irak, sampai Somalia. Hal tersebut juga menimpa etnis Pashtun di Pakistan yang dewasa ini digambarkan dekat dengan kelompok teroris seperti Taliban dan Al-Qaeda.
Pashtun merupakan salah satu suku tertua di Pakistan. Data sensus penduduk Pakistan pada 1998 memperlihatkan sekitar 15 persen dari total populasi Pakistan adalah orang-orang Pashtun. Terdapat sekitar 60 suku turunan dari kelompok Pashtun.
Beberapa sub-suku yang dianggap besar dan berpengaruh antara lain Afridi, Achakzais, Bangash, Durrani, Khattak, Mehsud, Mohammadzai, Orakzai, Shinwari, Yusufzai, dan Waziri. Dalam sejarahnya, Pashtun punya semacam tradisi bernama Pashtunwali yang berarti setiap orang Pashtun diharuskan bermurah hati, saling menghormati, hingga memiliki kewajiban mutlak untuk membalas dendam apabila disakiti.
Menurut data sensus nasional Pakistan, sekitar 3,2 juta orang Pashtun tinggal di wilayah FATA, atau Wilayah Kesukuan Federal Pakistan, sebuah teritori yang terdiri dari tujuh wilayah semi-otonom: Bajaur, Mohmad, Khyber, Orakzai, Kurram, Waziristan Utara, dan Selatan. Wilayah ini membentang sepanjang perbatasan Afghanistan (1.200 km) dan pertama kali dicetuskan oleh diplomat Inggris, Sir Henry Mortimer Durand pada 1893.
FATA atau saat itu disebut “Garis Durand” dibuat untuk membagi sekaligus melemahkan kekuatan Pashtun (Pakistan dan Afghanistan) yang dikenal anti-Inggris. Agar Pashtun bisa dikontrol, Inggris menerapkan Peraturan Kejahatan Perbatasan (FCR) dan memberikan otonomi khusus di wilayah FATA.
Sejak merdeka pada 1947 hingga hari ini, regulasi tersebut terus dipakai. Kewenangan khusus itu membuat segala kebijakan dan regulasi di wilayah FATA diambil dan diputuskan oleh jirga (tetua suku). Walhasil, baik pemerintah Pakistan maupun Mahkamah Agung tidak punya yurisdiksi penuh di teritori FATA.
Ketika Soviet menyerbu Afghanistan pada 1979, wilayah FATA menjadi tempat berlindung bagi jutaan pengungsi Afghanistan. Tak sekadar jadi tanah pelarian dari kecamuk perang, FATA juga jadi tempat kelompok Mujahidin melancarkan kampanye melawan Soviet.
Di teritori ini, Mujahidin mempersiapkan bekal (senjata, logistik, dan pendanaan) hingga menyebarkan propaganda jihad ke semua pihak yang berada di FATA melalui sekolah dan siaran dakwah.
Pasca-911, wilayah FATA jadi target operasi kontraterorisme yang digaungkan Washington bersama pemerintah Pakistan. Yang disasar adalah kelompok-kelompok teroris yang berlatih dan berlindung di FATA seperti Taliban, Al-Qaeda, hingga Gerakan Islam Uzbekistan. Namun, operasi yang dilancarkan tersebut tidak pandang bulu: menyasar semua pihak tak terkecuali orang-orang Pashtun Pakistan.
Human Rights Watch mencatat, orang-orang Pashtun Pakistan yang tinggal di FATA sering jadi korban aksi kekerasan militer (diculik, disiksa, dibunuh), teror drone, perusakan properti, serta hukuman tanpa pengadilan. Jamestown Foundation menambahkan, mereka juga kerap diawasi dan diburu karena dianggap mata-mata kelompok teroris.
Situasi tersebut masih berlanjut hingga kini, terbukti dengan pembunuhan Naqeebullah karena dianggap anggota Taliban.
Maret 2017 lalu, pemerintah Pakistan menyetujui rekomendasi untuk reformasi FATA yang meliputi penggabungan wilayah FATA dengan Provinsi Khyber Pakhtunkhwa serta pencabutan regulasi FCR yang dibuat pemerintah kolonial Inggris.
Wacana tersebut ditanggapi serius oleh pihak-pihak yang mendukung adanya reformasi di wilayah FATA. Mereka beranggapan, status khusus yang disematkan pada FATA adalah jalan bagi kelompok ekstremis untuk meningkatkan pengaruhnya.
Namun, pihak yang menentang adanya reformasi juga tak sedikit. Partai-partai politik Pakistan beranggapan bahwa penggabungan wilayah harus dicermati lebih jauh. Sedangkan banyak ahli berpendapat bahwa mengubah status FATA dan membawanya ke pelukan Pakistan tidak cukup efektif untuk meredam kelompok teroris yang beroperasi di sana.
Di lain sisi, partai nasionalis Pashtun, Pakhtunkhwa Milli Awami, turut menentang wacana itu. Mereka beranggapan, upaya reformasi FATA hanyalah akal-akalan pemerintah untuk menggembosi independensi suku-suku yang tinggal di FATA dari Pakistan.
“FATA bukan satu-satunya tempat teroris berlindung. Langkah ini [penggabungan] adalah alasan Islamabad untuk merusak kemandirian orang-orang FATA,” ungkap Usman Kakar, senator Pakistan dari Partai Pakhtunkhwa Milli Awami kepada Deutsche Welle.
Terlepas dari polemik wacana penggabungan itu, sudah seharusnya pemerintah Pakistan menghentikan tindakan diskriminatif terhadap warga Pashtun. Sama halnya warga Pakistan lainnya, kelompok Pashtun juga berhak mendapatkan kehidupan yang manusiawi dan tidak selalu dihakimi dengan label “teroris.”
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf