tirto.id - Imajinasi saya pertama kali tentang bayangan pizza adalah dari serial kartun Kura-Kura Ninja, yang dulu ditayangkan di TVRI di sore hari di tahun 90-an. Menontonnya dengan nebeng di rumah tetangga, bersama beberapa kawan lain setelah selesai mandi di sungai atau selesai adu gambar. Kawanan bocah kecil yang saat menonton harus dihardik beberapa kali oleh si tuan rumah karena terlalu berisik.
Serial kartun dari empat mutan kura-kura remaja; Leonardo, Donatello, Michelangelo, dan Raphael, yang dilatih oleh sensei mereka, Splinter, dalam keahlian ninjutsu untuk memerangi kejahatan. Markas mereka ada dalam gorong-gorong bawah tanah kota New York. Pizza yang mereka konsumsi, seingat saya, beberapa kali menampilkan pugasan tak lazim, seperti selai kacang atau taburan cokelat.
Kesukaan kura-kura ninja, yang kala itu jadi karakter amat populer, mengonsumsi pizza bahkan menjadi ajang perang promosi untuk beberapa perusahaan pizza.
Film Teenage Mutant Ninja Turtles versi layar lebarnya di tahun 90-an menggaet Domino’s Pizza sebagai sponsor film lewat berbagai product placement. Tak mau ketinggalan, rivalnya, Pizza Hut juga sempat menjadikan TMNT sebagai bintang iklan televisinya. Untuk keperluan promosinya itu, Pizza Hut mesti merogoh kocek sebesar USD20 juta.
Dari berseragam Sekolah Dasar hingga berbaju sekolah menengah atas pun kemudian, saya masih belum sempat merasakan pizza. Rasa dan tekstur pizza hanya bisa saya reka-reka.
Imajinasi saya tentang pizza terus hadir dan dipelihara ketika makanan Italia itu hadir dalam sitkom Bajaj Bajuri yang ditayangkan di salah satu televisi swasta di awal-awal 2000-an.
Dalam episode “Kubelikan Pizza Demi Cinta”, dikisahkan Bajuri menjadi sopir pribadi seorang ekspatriat di Jakarta dan salah membelikan pizza, hingga bungkusan pizza tersebut dibawa pulang disantap bersama istrinya, Oneng, dan mertuanya, Emak. Adegan selanjutnya menunjukkan lokalitas Indonesia: pizza itu dimakan dengan nasi untuk makan malam.
Emak menyebut pizza sebagai “telur dadar bule” sementara Oneng menyebutnya sebagai martabak.
Sebelum adegan tersebut, Ucup, tokoh yang selalu ketiban sial dalam sitkom tersebut, digambarkan menraktir pizza untuk perempuan pujaannya. Padahal saat itu kondisi dompet Ucup sedang berbahaya. Mepet. Saking mepetnya, setelah membayar, bahkan uangnya habis tak bersisa untuk ongkos pulang.
Apa itu Pizza?
Dikenal sebagai makanan dengan sejarah panjang, salah satu kuliner yang popularitasnya menembus batas negara dan usia, ada satu pertanyaan penting yang bakal melahirkan banyak versi jawaban.
Apa itu pizza?
Dalam film dokumenter Ugly Delicious, episode "Pizza", David Chang (seorang chef dan penulis) bertanya kepada Mark Iacono (pendiri restoran pizza Lucali di Brooklyn), bertanya apa itu pizza?
“Di seluruh Amerika, pizza adalah saus, keju, dan adonan. Yang bukan saus dan keju adalah roti biasa,” jawab Mark.
Mark kemudian menambahkan bahwa benar pizza memang dari Italia, tapi pizza disempurnakan di Amerika Serikat.
Dalam dokumenter itu juga disebutkan bagaimana orang-orang di Amerika Serikat mengonsumsi pizza seperti terobsesi. Mereka bisa menghabiskan kira-kira 100 hektare pizza perhari, dengan kecepatan 350 potong per detik, dan 3 milliar pizza terjual setiap tahun.
Ungkapan Mark Iacono tadi, mengingatkan saya pada Napoli sebagai tanah suci pizza. Konon dari sana pizza berasal. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana reaksi mereka ketika pizza diperlakukan dengan berbagai kearifan lokal --ditambah nanas, atau dimakan dengan nasi. Mereka di Napolo, sama seperti banyak puritan lain, menganggap pizza yang asli cukup adonan, saus, dan keju.
Namun, Chang, sebagai chef yang dikenal banyak memadumadankan hidangan, punya pendapat berbeda.
“Aku memandang autentisitas ibarat negara totaliter, bukannya aku benci autentisitas, aku benci dengan orang yang menginginkan hal tunggal.”
Dari barisan tradisionalis pizza ini, Antonio Pace sebagai Presiden asosiasi pizza asli Napoletana, mengungkapkan asosiasi mereka dibentuk untuk menyebarkan ke seluruh dunia cara yang benar membuat pizza Neapolitan.
Detail dari pizza asli Napoli ini adalah sausnya menggunakan tomat San Marzano, juga haram tercium bau ragi atau aroma fermentasi dari kulit pizzanya.
Tidak cukup, bahkan dari cara makan pizza yang benar menurut tradisionalis adalah dengan melipat pizza seperti melipat dompet. Pizza yang "benar", menurut mereka, adalah ketika setelah gigitan pertama kamu bisa merasakan adonan meleleh di mulut.
Sementara dalam dokumenter Chef's Table: Franco Pepe, mengeksplorasi pizza dengan menabrak pakem di Italia adalah keniscayaan, tapi juga sekaligus menjadi harga mahal untuk ditebus. Melakukannya tidak butuh hanya soal keberanian.
Bagi Franco, adonan pizza lebih dari sekadar kanvas untuk alas saus tomat dan lelehan keju, pizza adalah karya seni. Banyak kemungkinan yang akan bisa terjadi dari kanvas pizzanya.
Karena melanggar pakem hidangan klasik orang Italia yang sakral, dan dianggap berdosa jika mengubahnya, maka kemudian Franco menamai pizzanya sebagai "margherita sbagliata" semacam pengakuan, "aku membuat kesalahan."
Konsekuensinya tak main-main. Franco yang berinovasi dan menabrak pakem ini harus membayarnya dengan harga mahal. Hubungan dengan para saudara sekandungnya retak, karena Franco dianggap mengkhianati resep keluarga. Ketika merintis Pepe in Grani, istri dan anak-anaknya meninggalkan Franco.
Semua berubah ketika Jonathan Gold, jurnalis dan kritikus restoran yang juga peraih penghargaan Pulitzer, menulis pizza karya Franco Pepe sebagai "This Might Be the Greatest Pizza in the World”. Hidupnya berubah. Orang mulai pelan-pelan membuka diri terhadap pizza Franco, dan mungkin belajar memahami ide di kepalanya tentang apa itu pizza.
Pada 2008, belasan tahun sejak saya membayangkan pizza dari serial Kura-Kura Ninja, akhirnya saya mencoba pizza pertama kali di salah satu gerai pizza terkenal di area Buahbatu, Bandung. Yang saya ingat waktu itu adalah saat mengambil bagian kulit pizzanya yang kering, dan saya cocol dengan saus sambal.
Pada satu titik, saya seperti merasa bersalah karena dulu tertawa ketika menyaksikan keluarga Bajuri makan pizza dilengkapi nasi, padahal apa yang saya lakukan tak ubahnya sebagai “pelanggaran” kesakralan bagi kaum fanatik pemuja orisinalitas pizza.
Editor: Nuran Wibisono