tirto.id - Kereta yang saya tumpangi berhenti di stasiun Torino Porta Susa. Sepi. Saya sempat membayangkan kota ini ramai penuh lalu lalang manusia. Saya kemudian naik tangga menuju pintu keluar. Mencari kantor informasi, menanyakan jadwal kereta menuju Paris.
Ruang informasinya berukuran seperti musala di pom bensin Indonesia. Hanya ada satu meja panjang dengan dua komputer dan setumpuk kertas brosur berbahasa Italia. Ada dua kursi panjang untuk para pejalan.
Yang berkuasa di sini adalah seorang bapak yang rambutnya sudah memerak, berkacamata, dan mengenakan seragam berwarna abu-abu, yang siang itu duduk santai sembari membaca koran. Di sebelahnya, seorang perempuan muda sibuk melekatkan mata ke layar komputer.
"Sir, saya mau tanya jadwal kereta ke Paris."
Pak tua itu mendongakkan pandangannya.
"Non capisco."
Sial. Pasti dia tidak bisa Bahasa Inggris. Runyam.
"Jadwal. Kereta. Menuju. Paris," saya mencoba mematah-matah kata, berharap dia bisa memahami kalimat saya.
"Non si puo parlare Inglese."
Saya tersenyum kecut. Kemudian menatap si mbak-layar-komputer. Berharap ada pertolongan. Untungnya dia mengerti dan mulai berbicara dalam Bahasa moyangnya ke si Pak Tua.
"Ah, si, si," katanya sembari menunjukkan jadwal.
Saya menggaruk kepala. Kereta menuju Paris masih 7 jam lagi. Ketimbang terjebak di stasiun dengan si Pak parlare Ingelese ini, saya memilih keluar stasiun. Pilihan saya tak salah. Turin memang cantik. Selain bangunan-bangunan baroqeu, rococo, art noeveau, dan gotik yang anggun, ada pula Via Garibaldi. Konon, ini adalah jalur pedestrian terpanjang di Eropa. Panjangnya mencapai 1.046 meter, dengan lebar 7,5 meter. Di kanan kiri banyak bangunan tua dengan macam-macam fungsi. Ada toko suvenir, toko olahraga (penjualnya bilang dia fans Torino, bukan Juventus, tapi tetap memajang jersey Del Piero di kaca depan), toko buku, dan tentu saja pizzeria.
Saya berhenti secara impulsif di sebuah pizzeria bernama Da Genova La Focacceria Pizza Al Taglio. Wangi minyak zaitun dan daging salami yang dipanggang serta wangi keju parmesan yang menguar membuat perut lapar tiba-tiba.
Di pizzeria ini, pizza diletakkan dalam loyang berbentuk persegi. Ada banyak jenis pilihan pizza. Mulai marinara yang hanya memiliki toping tomat, oregano, bawang putih dan minyak zaitun; margherita yang lebih banyak saus tomat; hingga pizza salami. Saya menunjuk pizza salami, dengan minta tambahan taburan parmesan. Pizza diiris persegi panjang dan disajikan di atas piring kertas. Sederhana, sama seperti sejarah awal pizza.
Kelahiran pizza memang berawal dari kaum papa. Dari awalnya roti bulat biasa, kemudian menjadi pizza yang dikenal sekarang berkat kehadiran tomat di Italia pada abad 16. Tomat yang dibawa dari tanah Amerika ini kemudian menjadi identitas tidak terpisahkan dari khazanah kuliner Italia.
Orang boleh berdebat tentang kapan pizza ada. Namun, rasa-rasanya semua orang setuju kalau Napoli adalah tanah kelahiran makanan ini. Karenanya, yang paling terkenal adalah pizza napoletana, yang di ranah global menjadi neapolitan pizza.
Ada dua anak kandung neapolitan: margherita dan marinara. Karena makanan ini sudah kadung dianggap pusaka bangsa --macam rendang di Indonesia-- maka ada banyak penjaga kulturnya. Kamu boleh saja menganggap orang Italia tidak serius dalam banyak hal --misalkan para pemain klub AS Roma yang pernah dibantai oleh Manchester United dengan skor mengenaskan, tujuh lawan satu. Tapi untuk soal makanan leluhur, mereka kaum yang ultra serius dan cenderung puritan.
Dalam hal pizza, para puritan ini bernama Associazione Verace Pizza Napoletana (AVPN), kalau diterjemahkan secara harfiah mungkin berarti Asosiasi Pizza Neapolitan Sejati. Mereka, layaknya para penjaga budaya adiluhung, bersikap sangat ketat terhadap apa yang mereka jaga.
Pizza neapolitan yang asli haruslah seperti ini:
Tepung untuk adonan harus jenis 00 (di Amerika dikenal sebagai pastry flour) atau jenis 0 (all-purpose flour), atau campuran keduanya. Kemudian akan dicampur dengan ragi khas Neapolitan atau bisa juga ragi untuk bir. Adonan harus diuleni dengan tangan. Kalaupun memakai mesin, hanya boleh menggunakan kecepatan paling rendah. Setelah mengembang, adonan harus dibentuk bundar dengan menggunakan tangan. Tak boleh ada bantuan rolling pin.
Ketebalan pizza juga tidak boleh lebih dari 3 milimeter. Pizza harus dipanggang antara 60 hingga 90 detik dengan suhu 485 derajat celcius. Tak boleh kurang atau lebih. Oven tempat memanggangnya haruslah dari batu, dengan kayu pohon ek. Kadang bahan apinya bisa variatif. Seperti Antica Pizzeria Port'Alba, pizzeria tertua di dunia, yang menggunakan batu lahar dari gunung Vesuvius.
Beberapa pizzeria pun juga termasuk disiplin perihal pizza ini. Mereka lebih memilih hanya menjual pizza nenek moyang belaka. Seperti Da Michele, pizzeria yang sudah ada sejak 1870, yang hanya menjual marinara dan margherita. Beberapa pizzeria di Napoli bahkan menambah sendiri peraturan, yang kemudian banyak disepakati. Pizza Napoli asli, kata mereka, hanya menggunakan tomat San Marzano yang tumbuh di lereng gunung Vesuvius.
Tentu tak ada yang bisa dilakukan orang Italia ketika pizza makin populer dan melenceng jauh dari apa yang mereka jaga. Apalagi saat para imigran Italia datang ke Amerika Serikat. Di sana ada banyak sekali pizza inovatif lahir. Cukup untuk membuat gerah kaum konservatoris pizza. Pizza di Amerika kemudian berkembang dengan caranya sendiri.
Yang paling masyhur sepertinya adalah gagrak New York dan Chicago. Di New York, pizza berukuran besar dan dipotong delapan. Adonan selalu diuleni dan dibentuk menggunakan tangan. Konon, rasa pizza di New York akan berbeda dengan pizza di manapun karena air di New York memiliki kandungan mineral yang tinggi.
Sedangkan Chicago kondang dengan pizza deep dish. Sekilas dilihat, ini seperti bukan pizza melainkan pie. Sebab adonannya tinggi. Dipanggang dalam pan yang biasa digunakan untuk kue. Dengan adonan yang dobel --saus tomat, keju, isian, kemudian paling atas adalah saus tomat lagi-- pizza ini lebih basah ketimbang pizza lain.
Apa boleh buat, bahkan di Italia pun pizza berkembang menuruti takdir masing-masing. Seperti yang saya makan di Turin. Ini pizza gaya al taglio. Pizza yang ditaruh dalam loyang persegi panjang, dipotong juga persegi panjang, dan dijual berdasarkan berat.
Pizza juga makin dianggap melenceng dari prinsip awal ketika makanan ini digarap dengan konsep waralaba. Sama seperti usaha waralaba makanan mana pun, efisiensi adalah kunci. Ini artinya akan susah mengandalkan melulu bahan segar. Semua dibeli dalam jumlah banyak. Banyak yang datang dalam bentuk kemasan: saus, tuna, sosis, daging, atau keju pabrikan. Adonan yang mereka buat pun mengandalkan mesin. Walau masih dibentuk dengan menggunakan tangan. Ovennya tentu tidak terbuat dari batu dan mengandalkan kayu sebagai bahan api. Oven kompor dan listrik yang jadi andalan.
Tentu jangan dibandingkan dengan pizzeria kecil dan menengah yang mengandalkan bahan lokal nan segar, juga mozzarella yang dibuat dengan tangan sendiri. Apalagi repot-repot harus membandingkan dengan pizza neapolitan yang harus memakai San Marzano.
Ada banyak sekali jaringan pizza waralaba. Yang paling populer tentu adalah Pizza Hut. Ada sekitar 15 ribu gerai Pizza Hut di 90 negara. Restoran yang berdiri pada 1958 ini membukukan pendapatan 13,5 miliar dolar tahun lalu. Di belakangnya ada Domino Pizza yang punya sekitar 11 ribu lokasi dengan pendapatan tahunan mencapai 8,9 miliar dolar. Selain itu ada pula Little Caesars, Papa John, dan Papa Murphy.
Karena menggunakan sistem waralaba, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan kultur dan lidah lokal. Pizza di Indonesia akan cenderung lebih asin dan gurih ketimbang yang ada di Amerika Serikat. Plus, harus ada saus sambal di sini. Rasa-rasanya tak ada orang yang makan pizza dengan saus sambal selain orang Indonesia. Tentu orang Italia akan mencak-mencak melihat kita makan pizza dengan saus sambal. Apa boleh buat, perkara lidah tak bisa diperdebatkan.
Pizza saya sudah tandas sedari tadi, orang masih lalu lalang di Via Garibaldi. Saya menengok jam. Satu jam lagi kereta menuju Paris akan tiba di Turin. Saya membungkus pizza al taglia satu lagi. Kali ini pilihannya lebih tradisional dan kembali ke akar: margherita. Toppingnya sederhana, hanya saus tomat yang dibubuhi keju mozzarella dan daun basil segar. Menurut mbak penjual, pizza jenis ini adalah yang paling populer di Italia.
"Kalau kamu memakannya, kamu akan merasakan jadi orang Italia."
Saya tersenyum. Sesekali lidah menyaru jadi Italia sepertinya bukan pilihan yang buruk.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti