tirto.id - Kulitnya putih mulus dengan tulang pipi tirus, hidungnya bulat lancip, bulu matanya lentik, dan alisnya tebal. Intan Novita (22), pemilik wajah itu, adalah gambaran mojang Bandung yang disebut Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff sebagai De Bloem der Indiche Bergsteden atau 'bunganya kota pegunungan di Hindia Belanda'.
Tapi itu gambaran Intan dulu, sebelum ia ditimpa kemalangan Rabu pekan lalu (26/10/16). Seperti ditulis Kompas.com, Intan saat itu sedang mengantar orangtuanya di Jalan Ciwastra, tiba-tiba saja dua orang tak dikenal berboncengan mengendarai motor menghentikan mobilnya yang kacanya dalam keadaan terbuka.
Lalu, tiba-tiba Intan disiram cairan yang membuatnya kepanasan dan kesakitan. Badan dan sebagian wajahnya melepuh, mengalami luka bakar cukup parah akibat terkena cairan yang diperkirakan air keras. Sampai sekarang, polisi belum menemukan motif dan pelakunya.
Selain Intan, penyerangan air keras juga menimpa Iskandar (43) warga Seberang Ulu I Palembang. Dia mengalami luka bakar di bagian muka dan sekujur badannya setelah diguyur dengan air keras rekan seprofesinya DD yang bekerja sebagai tambal ban (17/10/16).
Seminggu sebelumnya, Eni Rosita (38), seorang peserta lomba lari lintas alam bertajuk MesaStile Peak Challenge 2016 di Magelang juga diserang dengan air keras. Warga Tangerang ini disiram orang tak dikenal saat melintasi rute di wilayah Desa Samiran, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Sabtu (8/10/16) malam. Cairan itu mengenai punggung, tangan, muka dan kedua kakinya.
Skema serangan pada Iskandar dan Eni mirip dengan Intan. Pelaku naik motor berboncengan dan tiba-tiba menyiram saat korban lengah. Dalam kasus Iskandar, motifnya jelas dendam karena pelakunya sudah diketahui. Namun pada kasus Intan dan Eni, semuanya masih teka-teki karena pelaku pastinya belum tertangkap. Motifnya pun masih berupa spekulasi saja.
Penyerangan dengan air keras tak kenal usia, pelakunya bisa orang dewasa bisa pula remaja. Rahmad Rivai, seorang pelajar SMP di Kota Palembang awal September lalu disiram air keras oleh teman sekolahnya tanpa alasan jelas. Tiba-tiba teman satu kelasnya, MI menyiramkan air keras ke arah wajah Rahmad dari luar pagar sekolah, alhasil leher sebelah kiri Rahmad mengalami luka bakar cukup parah.
Pada 2013, nama Tompel alias RN mendadak populer, pelajar SMK Boedi Utomo ini jadi pelaku penyerangan membabi buta dengan air keras ke penumpang bus PPD 213 jurusan Kampung Melayu-Grogol. Akibat perbuatannya itu, 13 orang penumpang bus mengalami luka bakar. Empat di antaranya adalah pelajar SMK Kramat Raya, Jakpus.
Aksi nekat ini dilatarbelakangi oleh dendam. Tompel dulunya sempat disiram oleh pelajar SMA lain saat tawuran. “Enam bulan sebelumnya dia pernah disiram air keras oleh pelajar SMA, dia sendiri lupa siapa pelaku yang menyiramkan air keras kepadanya, sehingga dia menyasar korban secara acak," ucap Kasat Reskrim Polres Jakarta Timur AKBP M Soleh seperti dikutip Antara, Minggu (6/10/13).
Serangan Air Keras atau Vitriolage
Air keras adalah larutan asam kuat yang pekat. Bila air keras mengenai kulit, akan timbul nyeri hebat dan kulit akan mengalami luka bakar, bahkan pada beberapa kasus tulang pun akan meleleh. Contoh air keras adalah asam sulfat yang dipakai untuk aki, asam klorida untuk membersihkan permukaan logam sebelum disolder, asam nitrat untuk menguji logam mulia, dan asam fosfat untuk membuat garam fosfat.
Meski berbahaya, air keras mudah didapat. Asam sulfat bisa didapatkan di toko mekanik karena menjadi bagian penting dari aki. Sedangkan asam nitrat juga umum dipakai di toko emas atau perhiasan karena diperlukan untuk memurnikan emas dan logam. Sedang asam klorida juga banyak dipakai untuk pembuatan kosmetik atau obat-obatan.
Dengan kemudahan seperti itu, tak heran jika bocah-bocah SMA atau suporter sepakbola dengan mudah memakai air keras untuk disiramkan pada musuh mereka.
Istilah penyerangan dengan air raksa lazim disebut serangan vitriol atau vitriolage. Kasus vitrolage terjadi hampir di seluruh dunia. Tapi data PBB menyebut wilayah yang paling banyak laporan kasus vitrolage adalah di Asia Selatan, entah itu di Pakistan, India, Srilangka, atau Bangladesh. Dalam kurun 1999-2013, Bangladesh didapuk sebagai negara dengan laporan tertinggi serangan vitriol, yakni sebanyak 3.512 kasus.
Ironisnya, mayoritas vitriolage adalah perempuan. Data dari International Womens' Rights Action Watch Asia Pacific mengungkap persentase korban perempuan di Bangladesh mencapai 82 persen, India berkisar 72 persen, Pakistan mencapai 75 persen, Kamboja 56 persen, dan rerata negara Afrika mencapai 58 persen. Jika dirinci lebih detail sesuai umur, mayoritas adalah perempuan gadis berumur 20 tahun ke bawah.
Bermula dari Sakit Hati
Motif penyerangan pun kebanyakan adalah dendam akibat cinta. Di Bangladesh, 55 persen kasus terjadi karena si laki-laki ditolak cintanya oleh perempuan. Alasan sama terjadi di India dengan kisaran 34 persen, sedang Pakistan 55 persen, Uganda 35 persen, dan tertinggi di Nigeria dengan 77 persen.
Tingginya angka vitriolage di Asia Selatan dan Timur Tengah membuat pemerintah pada beberapa negara memberlakukan hukuman yang lebih galak. Di Iran, diberlakukan hukuman qishas: pelaku penyerang akan didenda dan matanya dibutakan dengan air raksa. Di India, untuk membeli air raksa diperlukan kartu identitas dan foto si pembeli, selain menambah hukuman pidana pelaku. Hal sama juga terjadi di Bangladesh: pelaku vitriolage minimal diganjar 10 tahun penjara.
Meski jarang ada kasus yang berujung kematian, vitriolage mengerikan karena membuat korban mengalami cacat fisik seumur hidup. Banyak indera seperti penciuman, pendengaran, penglihatan, pengecapan, dan sistem pernafasan yang rusak. Kerusakan ini pun otomatis mengubah struktur wajah korban.
Anda bisa mengetik nama-nama seperti Sonali Mukherjee, Sokreun Mean, Fakhra Younus, Akriti Rai, Ameneh Bahrami, atau Richard Remes di Google. Di Indonesia ada nama Lynia Davega dan Siti Nurjazila. Mereka adalah para korban vitriolage yang mengalami kerusakan wajah parah. Ini tentu memunculkan beban psikologis dan sosial yang berkepanjangan. Tak jarang mereka akan dikucilkan, sulit berinteraksi, sulit mendapat pekerjaan bahkan jodoh.
Jikapun ingin mengembalikan wajah seperti semula, butuh waktu dan operasi yang teramat mahal. Untuk mengembalikan struktur wajahnya seperti orang normal, Siti Nurjaliza mesti menunggu hingga 10 tahun dan melakukan 17 kali operasi. Upaya inipun tidak sepenuhnya mengembalikan wajahnya seperti semula.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani