tirto.id - Maradona tentu tahu Lionel Messi ada di lapangan saat dikalahkan Perancis. Yang ia maksudkan adalah Messi berhasil dikunci oleh lawan, Perancis dinilainya berhasil meminimalisir peran Messi. Secara tersirat ia hendak menegaskan betapa pemain-pemain Argentina tak berkutik jika Messi juga tak berdaya. Yang tersurat dan tersirat dari ucapan Maradona bukanlah hal baru. Sudah biasa menganggap Messi adalah alien dan teman-temannya adalah orang "normal". Meski kata "alien" mungkin sukar dirumuskan, namun secara statistik gambaran "normal" memang terasa betul jika melihat pemain-pemain lainnya. Ahli statistik Erdi, dalam blognya di BarcaNumbers, menunjukkan hal itu. Metodologi yang dipakainya mirip seperti yang dilakukan Murad Ahmed dan John Burn-Murdoch di Financial Timessaat memprediksi skuat terbaik di Piala Dunia. Idenya cukup sederhana dengan menilai kekuatan pasukan Argentina dari setiap individu pemain. Setiap kualitas pemain dilihat dalam dua parameter: kualitas klub tempat pemain tersebut bekerja dan tingkat partisipasi menit bermain. Untuk melihat kualitas klub, data yang dipakai adalah Soccer Power Index (SPI) yang disusun website statistik FiveThirtyEight. Sedangkan waktu bermain bisa memakai data yang dimiliki Transfermarkt. Dari dua data itu, jika seorang pemain bermain di klub dengan SPI tinggi dan dia punya menit bermain yang banyak, ia akan memiliki rating lebih tinggi dan muncul di atas pojok kanan. Untuk mendapatkan estimasi keseluruhan, dihitunglah rataan SPI skuat Argentina dengan dan tanpa kehadiran Messi. Hasilnya, saat Messi hadir, rataan poin berkisar pada angka 74,1, sedangkan saat Messi dihilangkan rataan poin hanya di 71,4. Jika disandingkan dengan ranking klub di Soccer Power Index, maka posisi Argentina tanpa Messi ada di urutan 40. Beda hal jika Messi disertakan, maka posisi Argentina ada di urutan 25. Selisih yang cukup telak. Di lapangan pun terasa benar jika Messi tak bermain. Saat Messi absen, Argentina bermain begitu ringkih di babak kualifikasi zona Commebol. Ketika Messi absen dalam delapan pertandingan, Los Albiceleste hanya menang satu kali, rataan mencetak gol hanya 0,75 gol per pertandingan. Mereka kalah dari Ekuador, Paraguay dan Bolivia, dan hanya bermain imbang dengan Venezuela. Jangan lupakan pula, gara-gara Messi tak main, Tata Martino dan penggantinya Edgardo Bauza didepak sebagai pelatih. "Ketika Messi tak bermain, Argentina adalah sesuatu yang lain. Itu memberi kami banyak keuntungan," ucap Diego Costa usai Spanyol membantai Argentina 6-1 dalam laga ujicoba pada Maret lalu. Kesempatan Messi meraih Piala Dunia bersama Argentina semakin tipis, jika tidak dikatakan habis. Usia Messi kini 31 tahun, saat Piala Dunia 2022 di Qatar umurnya sudah 35 tahun. Seandainya Messi pensiun dari timnas, siapa pemain yang layak mengisi posisi ditinggalkan Messi kelak? Nama yang tersering disebut untuk menggantikan Messi adalah Paulo Dybala. Usianya relatif muda, baru 23 tahun. Ia pun memiliki karakter menyerupai Messi: bertubuh pendek, kidal, punya kemampuan dribbling apik, terampil dalam penguasaan ruang, sering berperan sebagai pemain no.10, dan sering beroperasi di sayap kanan. Intinya dia melakukan banyak hal yang juga dilakukan Messi -- tentu saja Messi melakukannya dengan jauh lebih baik. Dybala masuk dalah daftar panjang pemain jenius pendek dari Argentina, dari level Omar Sivori, Maradona, Messi, hingga tingkatannya Carlos Tevez, Javier Saviola, Ariel Ortega atau Pablo Aimar. Sejak bermigrasi ke Italia sejak 2012, Dybala sudah mencetak 70 gol, 52 gol diantaranya dilakukan bersama Juventus selama tiga musim terakhir. Sama seperti Messi, Dybala pun rajin memberi assist, lewat 29 assist yang cukup mengesankan, sedangkan Messi mencatat 41 asist. Di Juventus ia telah membuat 193 peluang, sementara Messi jauh di depan dengan 252. Saat membandingkan penyerang terbaik pada kompetisi Serie A dan La Liga sejak awal 2014/15, sebuah pola baru muncul. Messi selalu menempati urutan teratas dalam masing-masing kategori seperti gol, asist, key passes, peluang dan lain-lain. Menariknya, Dybala juga selalu masuk dalam 10 besar (ia bahkan selalu berada di peringkat lima teratas di Serie A). Melihat torehan-torehan ini, Dybala memang yang terdekat dengan Messi. Meski begitu sang pemain enggan diberi predikat ini. “Orang-orang harus tahu bahwa saya bukan Messi. Saya Dybala dan saya hanya ingin menjadi Dybala, meskipun saya mengerti orang selalu membandingkan itu,” kata Dybala. Sejak 2016, Dybala sudah sering dipanggil membela timnas. Ia punya sembilan caps saat Argentina berjuang di fase kualifikasi. Dari sembilan caps itu, hanya empat yang berstatus sebagai pemain inti yaitu dua kali melawan Uruguay, Peru dan Venuzuela. Pada kualifikasi, Dybala sama sekali belum pernah mencetak gol. Penampilan semenjana Dybala untuk Argentina disebabkan tak adanya kepercayaan dari pelatih. Alih-alih mengisi peran yang diemban Messi, Dybala malah lebih diposisikan sebagai pemain sayap kiri, suatu posisi yang jarang dia mainkan. Pemaksaan Jorge Sampaoli yang bereksperimen memainkan formasi 3-4-2-1 pada Messi dan Dybala dinilai tidak efesien. Alhasil, pada Piala Dunia kali ini, ia lebih memilih 4-2-3-1 dan 4-4-3 dengan menyingkirkan Dybala demi memaksimalkan potensi Messi. Sampaoli tidak pernah menutup-nutupi hal itu. Sebelum Piala Dunia 2018, ia pernah berterus terang soal sulitnya menggabungkan Messi dan Dybala. "Amat pelik bagi Dybala untuk beradaptasi dengan sistem kami," kata Sampaoli. "Kami tidak bisa meningkatkan penampilannya dan kami harus mengevaluasi apakah skuat saat ini lebih baik tanpa Paulo. Jika kami memang harus terus bekerja sama dengan Paulo, kami harus meningkatkan kinerjanya." Bukan hanya Sampaoli yang berterus-terang. Messi pun mengakui memang sulit bermain dengan Dybala. "Paulo dan saya sudah membicarakannya. Apa yang dia katakan memang benar, perannya di Juventus sama seperti peran yang saya emban. Saat bermain bersama saya di tim nasional, dia lebih banyak bergerak di sisi kiri, sesuatu yang jarang dia lakukan. Sangat sulit bagi kami bermain di sana (sisi kiri), saya jarang bergerak jauh ke kiri. Saya mengerti apa yang ia katakan, dan tidak dibutuhkan klarifikasi apa pun," terang Messi, juga sebelum Piala Dunia 2018 dimulai. Ada dua kemungkinan. Pertama, Messi enggan menyerahkan posisinya yang berada di sisi kanan (untuk leluasa bergerak memotong ke dalam atau cutting inside). Kedua, Sampaoli juga memutuskan Messi bergerak dari sisi kanan demi mengoptimalkan sang kapten. Dua kemungkinan itu ujungnya sama: jika hendak turun bersamaan dengan Messi, maka Dybala harus bergerak dari sisi kiri, dan hasilnya pasti tidak akan optimal. Jika Messi tidak lagi bermain untuk timnas, ruang di sisi kiri menjadi terbuka untuk diisi oleh Dybala. Pelatih Argentina berikutnya, jika Sampaoli diberhentikan, punya peluang untuk mengeksplorasi kapasitas Dybala tanpa harus terantuk dengan posisi, peran atau kehendak Messi. Selain Dybala, ada juga nama Cristian Pavon. Meski bukan pemain berkaki kidal dan tak bisa memerankan pemain no.10, Pavon tampil bagus saat bermain di sayap kanan. Jika Messi melakukannya untuk berlari diagonal ke dalam, maka Pavon lebih cenderung melebar. Messi merasa cocok dengan pemain berumur 22 tahun ini dan itulah sebabnya ia menyarankan Barcelona agar membeli Pavon dari Boca Juniors. Ada hasrat ingin menggembleng sang penerus sebelum Si Kutu kelak pensiun. Faktor kedekatan Messi dan Pavon inilah yang membuat Sampaoli lebih memilih Pavon ketimbang Dybala pada fase grup Piala Dunia lalu. Meski begitu secara pengalaman dan statistik, torehan Pavon masih kalah jauh dari Dybala. Dua musim membela Boca, Pavon baru membuat 15 gol. "Saya tidak akan menempatkan dua kapten di kapal yang sama," kata Sang Bapak La Masia itu. Ucapan Cruyff itu dilontarkan saat muncul perdebatan soal peran Neymar yang saat itu masih di Barcelona. Hal itu juga berlaku saat Pavon hendak dibawa ke Nou Camp, dan pasti lebih relevan lagi saat mendiskusikan kemungkinan Dybala bermain bersama Messi di timnas Argentina.Antara Dybala atau Pavon?
Bagaimana dengan Pavon?
Editor: Zen RS