Menuju konten utama

Memangnya Jakarta Bisa Melepas Ketergantungan dari Bantargebang?

Jakarta bisa berhenti kirim sampah ke Bantargebang, asal punya stasiun pengolah sampah yang kapasitasnya lebih besar dari jumlah sampah DKI.

Memangnya Jakarta Bisa Melepas Ketergantungan dari Bantargebang?
Sejumlah truk pengangkut sampah DKI Jakarta melintas di area Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (19/10/2018). ANTARA FOTO/Risky Andrianto

tirto.id - "Benci tapi rindu". Mungkin kalimat itu yang paling tepat menggambarkan relasi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi soal sampah. DKI butuh tempat pembuangan sampah yang luas, dan itu tersedia di Bantargebang, sementara Bekasi perlu uang—yang dinamakan dana kompensasi dan dana hibah—dari DKI untuk membantu membiayai pembangunan.

Namun pada sisi lain, hubungan itu tak melulu harmonis. Kasus pencegatan truk sampah DKI pada 17 Oktober lalu adalah contoh termutakhir. Pemkot Bekasi protes karena uang hibah yang mereka minta tak cair. Sementara Pemprov DKI mengklaim hal itu terjadi karena penyerahan proposal pengajuan dana terlalu lambat.

Ketegangan mereda setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi bertemu Senin (22/10/2018) kemarin, tapi bukan tidak mungkin kasus serupa akan terulang. Kisruh serupa sebelumnya pernah terjadi di era Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.

Salah satu solusi agar hal ini tak lagi terulang adalah Pemprov DKI harus punya tempat pembuangan sampah sendiri yang skalanya sebesar Bantargebang. Inilah yang tengah mereka upayakan lewat proyek bernama pembangkit listrik tenaga sampah (Intermediate Treatment Facility/ITF) yang sedianya didirikan di Sunter.

Pemprov DKI telah menunjuk PT Jakarta Propertindo (Jakpro) yang menggandeng perusahaan asal Finlandia, Fortum, untuk merealisasikan pembangunan ITF. Peletakan batu pertama rencananya dilakukan pada Desember 2018 dan konstruksi akan selesai dalam dua setengah tahun.

"Groundbreaking [ini]memberikan kepastian bahwa proyek pembangunan ITF segera dimulai di Jakarta," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (22/10/2018) kemarin.

Namun, bisakah keberadaan ITF benar-benar melepas ketergantungan DKI terhadap Bantargebang?

Mungkin Saja

Untuk mengetahuinya, kita perlu tahu berapa jumlah sampah yang diproduksi warga yang tinggal di DKI (dan yang bekerja di DKI) serta membandingkannya dengan kapasitas ITF yang akan dibangun.

Ada dua cara yang umum dipakai untuk menghitung jumlah sampah: menggunakan satuan berat dan volume (tiga dimensi).

Mengacu pada data Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2017 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, produksi sampah di DKI Jakarta pada 2016 mencapai 7.099,08 meter kubik. Angka tersebut meningkat ketimbang setahun sebelumnya yang tercatat 7.046,39 meter kubik.

Sementara jika menggunakan satuan berat, menurut Isnawa Adji, DKI memproduksi 7.000 ton sampah setiap hari. 2.000 ton di antaranya adalah sampah plastik. Dalam dua tahun ke depan, berat sampah bisa mencapai 8.500 sampai 9.000 ton.

Jika seberat itu, ITF Sunter sebetulnya tidak bakal bisa menampung seluruh sampah DKI. Tempat pengolahan sampah itu cuma bisa menampung dan mengolah 2.200 ton sampah per hari. Dari situ, diperkirakan ada 35 megawatt listrik yang bisa dihasilkan.

Oleh karena itu, dibutuhkan sejenis ITF Sunter di tempat lain. Dan itulah yang diupayakan Pemprov DKI, kata Isnawa.

"Kami akan membangun di luar Sunter. Pilihannya tiga atau empat, tapi kami belum tahu. Masih harus ada kajian untuk itu," ujar Isnawa.

Katakankah ada lima ITF dengan kapasitas masing-masing 2.200 ton per hari yang berhasil dibangun Anies hingga masa kepemimpinannya berakhir pada 2022, maka DKI bisa mengolah sendiri 11 ribu ton sampah per hari. Dengan demikian, ketergantungan terhadap Bantargebang sangat mungkin dilepaskan.

Namun itu pun masih tergantung pada jumlah sampah yang bakal diproduksi pada tahun-tahun ke depan. Jika tidak bisa ditekan, DKI mungkin saja akan pakai Bantargebang lagi, atau alternatifnya membangun ITF-ITF baru yang tentu saja memakan biaya yang tidak sedikit.

Infografik CI sampah Bekasi dan Jakarta

Optimistis

Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Iman Satria, menilai apa yang dilakukan eksekutif DKI sudah tepat.

"Kami memaksa adanya ITF karena TPST Bantargebang sudah tidak layak. Kita enggak produksi apa-apa di situ, hanya menjadikannya sebagai tempat penampungan," kata Iman saat dihubungi reporter Tirto Selasa (23/10/2018) siang.

Senada dengan Iman, anggota Komisi D Fraksi Nasdem Bestari Barus ITF juga berpendapat pemerintah harus sesegera mungkin merealisasikan proyek ini. Tak cuma satu, tentu saja, karena menurutnya uang untuk itu cukup banyak.

"APBD DKI Jakarta ini besar kok," kata Bestari kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PENGELOLAAN SAMPAH atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino