Menuju konten utama

Memaknai Ulang Relasi Manusia & Alam di Pesantren Ath Thaariq

Pada momentum Hari Santri Nasional 2022, Pesantren Ath Thaariq menjadi daya tarik tersendiri dengan penerapan konsep agroekologi.

Abi Ibang menunjukan bakal bangunan baru pesantren Ath Thaariq. FOTO/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Isu lingkungan belakangan menjadi perhatian semua elemen, tak terkecuali tokoh agama dan pondok pesantren. Saat ini banyak pimpinan pesantren atau yang dikenal sebagai pengasuh memberikan perhatian serius terhadap isu ekologi ini.

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, tentu memiliki peran strategis dalam mengawal isu lingkungan ini. Terlebih mereka memiliki alumni yang tersebar di sejumlah wilayah. Salah satu ponpes yang memiliki kepedulian terhadap persoalan lingkungan ini adalah Pesantren Ath Thaariq.

Pesantren yang terletak di Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat ini diasuh oleh pasangan suami istri Abah Ibang dan Umi Nissa. Pesantren ini menerapkan sistem non-profit, sehingga para santri di sana bebas biaya.

Pada momentum Hari Santri Nasional 2022, Tirto merilis kembali naskah yang mengulas soal pesantren yang inspiratif ini. Berikut liputannya:

Umi Nissa mempersilakan saya menyesap teh jahe herbal yang tersaji dalam cerek. Saya menambahkan serbuk gula aren satu sendok ke dalam gelas kaca. Klop sudah. Dan kehangatan mengalir dalam tubuh saya yang mendingin. Sungguh pagi yang paripurna dengan tembakan sinar matahari, saya membatin.

Umi merupakan salah dua pendiri pesantren berbasis ekologi Ath Thaariq. Mereka terletak di Garut Kota, tepatnya di Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul. Sebuah pesantren yang menerapkan sistem non-profit, sehingga para santri di sana bebas biaya.

Kami berbincang di salah satu area terbuka pesantren, berukuran setengah lapangan bulu tangkis dengan kursi dan meja kayu di pinggir, pepohonan sebagai atapnya, dan tungku batu bata di tengah-tengah kami. Tipis saja aroma kayu bakar sisa memasak air berseliweran.

Teh jahe herbal yang saya minum barusan, berasal dari tetumbuhan yang ditanam sengaja di pesantren. Sementara gula arennya, berasal dari santri alumni yang pulang ke desa dan bertani di sana.

“Pendidikan formal kita, baik di desa atau di kota, merabut anak didiknya untuk pergi, bukan menetap. Makanya desa selalu dibilang tertinggal. Orang-orang pintarnya pergi ke kota-kota besar,” ujar pemilik nama lengkap Nissa Wargadipura tersebut, Kamis, 24 November 2021.

Dan Pesantren Ath Thaariq memosisikan diri sebagai benteng pertahanan generasi muda desa agar tetap bertahan dan membangun desa. Umi menyebutnya sebagai, otokritik pendidikan formal.

Tanpa mereka wajibkan, para alumni pesantren melanjutkan perjuangan ekologi di tempat asal masing-masing. Menurut Abi Ibang, suami Umi Nissa sekaligus pendiri pesantren, aktivitas alumni saat ini antara lain: bertani, membidani komunitas berbasis ekologi, mendirikan majelis taklim, hingga berbisnis.

Abi tak pernah meminta para alumni melanjutkan hal-hal yang telah mereka pelajari di pesantren di tempat asal masing-masing. Abi hanya berpesan agar mereka menjadi pribadi yang berguna bagi masyarakat.

“Kalau mereka sudah sadar, ya, tidak perlu diwajibkan,” ujar pemilik nama lengkap Ibang Lukman Nurdin tersebut.

Pada hari biasa, para santri mengaji dalam porsi waktu yang terbagi antara pagi hingga malam. Mereka mendapat jatah libur pada hari Sabtu. Memasuki Minggu, mereka berkewajiban untuk berkebun. Selain memang rerata santri tetap menjalankan sekolah formal di luar lingkungan pesantren.

Di atas lahan seluas 8.500 meter persegi, para santri belajar membudidayakan beragam tanaman: kayu secang, serai, telang ungu, jagung, sorgum, kunyit, ganyong, binahong, bunga rosella, kenikir, koro putih, bunga matahari, dan masih banyak lagi.

Mereka sengaja menghindari model bertani monokultur dan memilih model polikultur, agar para santri tidak terjebak pada pola hidup pragmatis.

“Dari sana mereka akan tahu, ini bisa dimakan, ini bisa ditanam. Orang menjadi semakin terbuka, karbohidrat tak hanya dari beras, bisa dari pisang dan umbi-umbian misalnya,” ujar Abi.

Semua kebutuhan pangan warga pesantren, 30 santri dan 5 anggota keluarga inti Umi-Abi, tercukupi dari hasil tanaman yang tumbuh di sekitar pesantren. Jika jumlah panen berlebih, maka akan mereka olah menjadi cemilan, minuman seduh, hingga obat-obatan. Kemudian mereka jual. Hasil penjualan akan menjadi tabungan untuk para santri dan sebagian untuk operasional pesantren.

Pemasukan pesantren juga diperoleh dari Umi dan Abi menjadi narasumber dalam seminar-seminar; kegiatan Abi dan Umi lainnya seperti menulis untuk koran.

“Alhamdulillah bisa untuk pesantren,” ujar Abi.

Umi Nissa Pendiri Pesantren Ath Thaariq Garut

Umi Nissa pendiri Pesantren Ath Thaariq Garut. FOTO/Alfian Putra Abdi

Memaknai yang Dekat

Selama 18 tahun, Sinta Dewi menghabiskan masa remaja di Pameungpeuk, salah satu kecamatan di wilayah Garut Selatan. Sebuah daerah dengan lanskap perbukitan hingga laut.

Sinta tumbuh di tengah masyarakat yang menjadikan bertani hanya untuk kaum pria. Dan wanita berkutat pada urusan domestik rumah tangga.

“Berkebun di kampung itu gender based. Beternak laki-laki yang urus. Perempuan masak nasi, cuci piring, cuci baju untuk sekeluarga,” ujarnya kepada saya pada 24 November 2021.

Pemahaman Sinta tentang perkebunan dan pertanian berubah saat menjadi santri Pesantren Ath Thaariq pada 2010. Ternyata aktivitas tersebut melampaui batasan gender.

Di bawah bimbingan Umi Nissa dan Abi Ibang, Sinta memaknai ulang laku berkebun; tak melulu untuk mencari uang, bisa juga untuk relaksasi dan melatih diri terhadap fokus dan kesabaran.

Meski tumbuh di lingkungan masyarakat bertani, tak banyak jenis tanaman yang Sinta ketahui manfaatnya. Di kampungnya, Sinta terbiasa dengan model berkebun monokultur. Masyarakat memilih menanam cabai, pisang, kentang, dan tumbuhan-tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi di pasar.

Sementara masyarakat di sana mengabaikan bandotan, rumput teki atau teki ladang, dan gelang biasa yang sebenarnya memiliki banyak manfaat dan khasiat.

“Kalau melihat Umi, tumbuhan yang di kampung dibiarkan, di sini dirawat. Sehingga makanan dan obat jadi lebih dekat, tinggal ambil dari pekarangan,” ujarnya.

Secara spesifik, Pesantren Ath Thaariq memang menerapkan konsep agroekologi. Namun dalam konteks kearifan lokal, mereka menyebutnya sebagai buruan bumi dan kebon talun.

Menurut Umi, dalam bahasa Sunda buruan berarti pekarangan dan bumi adalah rumah. Sementara kebon talun, merujuk definisi Dinas Perkebunan Jabar berarti, areal budidaya yang meliputi berbagai macam komoditas, baik tanaman perkebunan, hortikultura dan tanaman kehutanan; berkonsep agroforestry yang lebih mengedepankan aspek konservasi.

Dengan konsep kearifan lokal tersebut, memungkinkan setiap warga pesantren untuk menanam, merawat, dan memanfaatkan beragam tumbuhan dari pekarangan sendiri. Konsep tersebut juga sejalan dengan semangat pesantren menerapkan model perkebunan polikultur.

“[Buruan bumi dan kebon talun] Itu sistem budaya orang Sunda. Karena revolusi hijau jadi hilang,” ujar Umi.

Melawan Revolusi Hijau

Ketika Soeharto menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Pada 1968, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan pertanian berbasis modernitas dengan sebutan revolusi hijau. Program ini berupa introduksi varietas bibit padi unggul, pupuk kimia, pestisida kimia, dan mekanisasi pertanian serta pembangunan sarana irigasi. Revolusi hijau di Indonesia dijalankan secara terstruktur, sistematis dan masif.

Dalam buku Sistem Pertanian Berkelanjutan karya Karwan A. Salikin yang dikutip Tirto dalam artikel “Kisah Gatot Surono dan Rojolele di Tengah Revolusi Hijau Orde Baru,” Karwan mengatakan, kebijakan pemerintah saat itu memang secara jelas merekomendasikan penggunaan energi dari luar, yang dikenal dengan paket Panca Usaha Tani yang salah satunya menganjurkan pemakaian pupuk kimia dan pestisida.

Hal tersebut yang ditentang Umi Nissa dan Abi Ibang. Sekaligus menjadi alasan mereka mendirikan Pesantren Ath Thaariq pada 2008. Mereka ingin mengakhiri ketergantungan petani terhadap produk pertanian kimia.

“Revolusi hijau itu jalan yang tidak melibatkan ekosistem. Hasilnya tanaman-tanaman tercemar kimia dan berdampak pada kesehatan,” ujar Abi.

Sikap mereka mendirikan pesantren berbasis ekologi kian mantap ketika Umi Nissa melahirkan anak ketiga pada 2010. Kehamilan yang berisiko kematian bagi dirinya dan bayi.

Rasa sakit dari melahirkan yang teramat, memantik Umi merenungi kehidupan secara radikal. Ia mempertanyakan pola makan yang tak sehat dan bagaimana makanan itu dihasilkan dan bagaimana sumber-sumber makanan tersebut diproduksi.

“Ini persoalan Indonesia, kenapa angka kematian ibu hamil dan anak tinggi, karena pola makan berbasis revolusi hijau ini menjadi awal kesengsaraan perempuan Indonesia,” ujar Umi.

Aneka Ragam Hasil Olahan Tumbuhan di Pesantren Ath Thaariq

Aneka ragam hasil olahan tumbuhan di Pesantren Ath Thaariq yang siap jual. FOTO/Alfian Putra Abdi

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir membenarnya bahwa angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan data Sampling Registration System (SRS) 2018, 76 persen kematian ibu terjadi saat fase persalinan dan pasca persalinan dengan proporsi 24 persen terjadi saat hamil, 36 persen saat persalinan dan 40 persen pasca persalinan. Dan lebih dari 62 persen kematian ibu dan bayi terjadi di rumah sakit. Artinya akses masyarakat mencapai fasilitas pelayanan kesehatan rujukan sudah cukup baik, ujar Kadir.

Penyebab tingginya kematian disebabkan berbagai faktor antara lain, dari fase sebelum hamil yaitu kondisi wanita usia subur yang anemia, kurang energi kalori, obesitas, mempunyai penyakit penyerta seperti tuberculosis dan lain-lain. Pada saat hamil ibu juga mengalami berbagai penyulit seperti kurang gizi, hipertensi, perdarahan, anemia, diabetes, infeksi, penyakit jantung dan lain-lain.

Menurt Umi, kesehatan menjadi masalah karena ketersediaan dan pengetahuan masyarakat terhadap pangan yang minim. Terlebih model pertanian di Indonesia yang marak mengadopsi model monokultur. Sehingga tak memberikan keragaman asupan bagi tubuh manusia.

“Kita makannya itu-itu saja. Kalau nggak tempe, ya tahu, ya kangkung, ya wortel. Siklusnya begitu. Sementara badan kita berhubungan dengan keanekaragaman hayati,” ujar Umi.

Pada titik itu, Umi dan Abi meyakini bahwa konsep pesantren ekologi dan model pertanian polikultur ialah jalan alternatif bagi kehidupan masyarakat.

“Ekologi tidak bisa dipisahkan dengan perempuan. Dengan begitu proses makanan instan itu diubah dengan makanan-makanan yang alami. Insya Allah tak terjadi lagi kelahiran yang mengancam kehidupan,” ujarnya.

Sebelum mendirikan pesantren, Umi dan Abi lebih dulu terlibat dalam aktivisme melawan rezim otoriter Soeharto. Ketika Soeharto lengser dari jabatan kepresidenan pada 1998, banyak kawan-kawan mereka yang melanjutkan aktivisme ke partai politik. Sementara mereka memilih pulang ke Garut, dan membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP) pada 2000.

Bersama SPP mereka aktif dalam advokasi dan edukasi bagi petani. Mereka juga banyak dihadapkan pada kenyataan bahwa kehidupan petani jauh dari kesejahteraan, banyak petani yang hanya menjadi buruh dan tak memiliki kepemilikan lahan garapan.

Pada 2008 atau delapan tahun pasca sepeninggal ayahanda, Abi Ibang yang memang berasal dari keluarga pesantren, ditagih janji oleh sang ibu untuk mendirikan pesantren.

“Saya ditagih ibu, ‘kamu sudah tua hidup di jalan, mana hadiah buat ayahmu?’ Akhirnya berdirilah pesantren ini,” ujar Abi.

Umi mendukung keputusan Abi dan meminta suaminya untuk mengundurkan diri dari SPP. Umi pun bersedia membantu Abi mendirikan pesantren. “Saya mau membantumu bangun pesantren, tapi pesantrennya mesti beda. Kita ke teologi, kan perspektifnya lebih ke ekologi juga. Kiai [Abi], oke,” timpal Umi.

Semangat ekologi yang akan mereka usung di pesantren, sejalan dengan napas Rahmatan lil 'Alamin dalam Islam. Sehingga tak ada keraguan bagi mereka memadukan keduanya.

Mereka hadir untuk memberikan kasih sayang bagi seluruh makhluk di bumi: manusia, binatang, dan tumbuhan. Sebab itu mereka tidak akan pernah membunuh binatang yang dituding sebagai hama tanaman. Itu sama saja membunuh.

Menurut Umi, stigma binatang sebagai hama tumbuhan disebabkan rantai makanan yang terputus, sehingga keseimbangan terganggu. Predator kehilangan mangsa dan mangsa punah karena pilihan makanan yang terbatas.

“Kecuali [binatang] sudah mengganggu,” ujar Umi.

“Kalau kamu memotong pohon tanpa alasan jelas, maka suatu saat dia akan mengganjarmu di yaumul akhir. Moral ekologi itu luar biasa dalam Islam,” tambah Abi.

Mereka menyadari bahwa persoalan pertanian dan perkebunan tak hanya sebatas pada tata cara menanamnya saja. Ada persoalan yang krusial lainnya yakni ketersediaan lahan.

Menurut Bupati Garut Rudy Gunawan, luas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) terus berkurang akbat masifnya pembangunan perumahan di lahan pesawahan produktif.

Menyitir data BPS mengenai luas lahan di Kabupaten Garut Tahun 2016, jumlah lahan sawah di Garut hanya 48.153 hektare, sementara jumlah lahan bukan sawah mencapai 207.315 hektare. Sementara jumlah lahan bukan pertanian mencapai 51.051 hektare.

“Perlakuan negara pada petani tak ada. Padahal bertani itu luar biasa, sampai baginda rasul berikan penghargaan tinggi kepada petani,” tukas Abi.

Sinta Dewi Santri Tertua Koordinator Pesantren Ath Thaariq

Sinta Dewi santri tertua sekaligus koordinator pesantren Ath Thaariq. FOTO/Alfian Putra Abdi

Rumah Kedua

Saat ini Sinta menjadi santri tertua di pesantren. Abi memintanya menjadi lurah santri, semacam koordinator dan penanggungjawab bagi seluruh kehidupan santri. Atau bahasa Sinta, kakak bagi adik-adik santri lainnya.

Tahun ini ia genap satu dekade menjadi santri di pesantren. Bahkan empat tahun terakhir ia sudah menetap di pesantren dan sesekali pulang ke Pameungpeuk. Perlakuan Umi dan Abi yang membuat Sinta betah.

“Kami diperlakukan sama seperti anak Umi dan Abi. Soal makanan saja, kami semua makan menu yang sama, tak ada yang dibedakan,” ujarnya.

Bagi Sinta, pesantren ini telah banyak memberikan perspektif baru baginya. Awal-awal ia sempat kaget saat mengetahui seorang santri pria diminta Umi mencuci piring. Sebab di kampungnya, pantang seorang pria mengerjakan kerjaan perempuan.

“Ternyata Umi kasih tanggung jawab dan tugas-tugas itu. Agar jangan pilih kerjaan dan jangan gender based, laki-laki juga harus bisa,” ujarnya.

Di pesantren ini juga, Sinta merasa tidak dibebani aturan. Melainkan justru kesadarannya dibangun. Semisal dalam contoh berpakaian, menurutnya, Umi kerap berpesan agar ia menjadi diri sendiri. Sinta merasa mempunyai kesempatan untuk melepas kerudungnya.

“Tapi aku sadar sendiri, aku tinggal di pesantren kalau nggak berkerudung, ya, aku malu sendiri. Umi nggak pernah menyuruh kami berkerudung panjang,” ujarnya.

Selain berkegiatan dan mengurus seluruh keperluan warga pesantren, Sinta juga aktif mengajar di dua kampus di Garut. Menetap di pesantren dengan lingkungan yang asri, membantu ia melepas stres akibat pekerjaan.

“Di sini sudah seperti second home aku,” ujarnya.

--------

Adendum: Naskah ini pertama kali rilis pada 29 November 2021. Tirto menyunting ulang dan dirilis kembali bertepatan dengan Hari Santri Nasional 2022 yang diperingati setiap 22 Oktober.

Baca juga artikel terkait PESANTREN ATH THAARIQ atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz