Menuju konten utama

Kisah Gatot Surono dan Rojolele di Tengah Revolusi Hijau Orde Baru

Demi swasembada beras, Orde Baru menjalankan revolusi hijau yang justru merusak tanah dan kualitas hasil pertanian.

Kisah Gatot Surono dan Rojolele di Tengah Revolusi Hijau Orde Baru
Pekerja memisahkan beras di Gudang Bulog Baru Cisaranten Kidul Sub Divre Bandung, Senin (28/5/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

tirto.id - Sejak awal pemerintahannya, Soeharto telah menekankan pada ketersediaan bahkan keberlimpahan bahan pangan. Baginya, menghindari kelaparan adalah salah satu cara untuk menciptakan stabilitas yang diperlukan dalam proses pembangunan nasional.

Tahun 1968, seperti disebut Sidik Permana dalam Antropologi Perdesaan dan Pembangunan Berkelanjutan (2016:163), pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan pertanian berupa modernisasi pertanian yang dikenal dengan sebutan revolusi hijau. Program ini berupa introduksi varietas bibit padi unggul, pupuk kimia, pestisida kimia, dan mekanisasi pertanian serta pembangunan sarana irigasi. Revolusi hijau di Indonesia dijalankan secara terstruktur, sistematis dan masif.

”Kebijakan pemerintah saat itu memang secara jelas merekomendasikan penggunaan energi dari luar, yang dikenal dengan paket Panca Usaha Tani yang salah satunya menganjurkan pemakaian pupuk kimia dan pestisida,” tulis Karwan A. Salikin dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan(2003:2).

Usaha Orde Baru itu, seperti dicatat Abdul Azis dalam Ekonomi Politik Monopoli (2019:39), memperlihatkan hasilnya pada tahun 1979 dan 1985 saat produksi pangan meningkat 49 persen. Namun, pemakaian pupuk-pupuk buatan pabrik kebanggaan pemerintah ternyata membuat banyak tanah pertanian menjadi rusak.

Perlawanan Gatot Surono

Rusaknya lahan pertanian membuat Gatot Surono--seorang petani asal Purbalingga--tak mau mengikuti aturan pemerintah Orde Baru. Ia berkeras menanam padi lokal dan memakai pupuk kandang dari alam, bukan pupuk kimia ala pabrik.

Gatot Surono, yang tutup usia pada 19 Agustus 2019, meneruskan pertanian alami seperti yang sebelumnya dipraktikkan orang tuanya di Klaten. Karena dianggap melawan aturan pemerintah, maka ia pun diciduk aparat Komando Rayon Militer (Koramil).

”Tanaman saya di sawah dicabuti. Untung itu bekas padinya tidak diinjak-injak,” ujar Gatot.

Sebelum menjadi petani, posisi Gatot memang sudah tak menguntungkan karena ia bekas Mahasiswa ikatan dinas di zaman Sukarno yang disekolahkan ke Tiongkok. Cap sebagai orang kiri pun dilekatkan kepadanya. Dan ini tentu saja makanan empuk bagi Orde Baru. Gatot ditahan selama empat tahun dari 1965 sampai 1969 karena disapu kampanye "bersih lingkungan" yang digalakkan Orde Baru.

Setelah dibebaskan, Gatot kesulitan mendapatkan pekerjaan. Jangankan di instansi pemerintah, di perusahaan swasta pun ia kerap ditolak. Usahanya kemudian berbuah hasil saat ia diterima di pabrik penyulingan berkat bantuan seorang uskup. Namun, ia tak bertahan lama karena dijegal oleh rekan kerjanya yang seorang pensiunan tentara.

Meski akhirnya ia dikeluarkan pada tahun 1984, namun Gatot dianggap berjasa dan oleh atasannya diberhentikan dengan hormat serta mendapat pesangon. Uang pesangon itulah yang kemudian ia gunakan untuk menyewa tanah dan mulai bertani.

Seperti diceritakan sebelumnya, sikap Gatot yang memilih tidak mengikuti aturan pemerintah membuatnya kembali ditahan. Namun kali ini tidak terlalu lama, yakni hanya empat bulan. Setelah dibebaskan, Gatot kembali menanam padi lokal warisan nenek moyangnya yang pernah dicabuti aparat sampai akhirnya tiba musim panen.

Dalam rangka syukuran atas hasil panen, ia mengundang orang-orang Koramil yang pernah menahannya.

”Makannya nasi masih kemebul, Rojolele. Lauknya sambal terasi sama bandeng,” kenang Gatot.

Mereka makan dengan lahap. Anggota Koramil berkomentar bahwa nasi yang mereka makan enak. Gatot pun berkata bawah itulah nasi dari padi yang dulu dicabuti para abdi negara itu. Para anggota Koramil menimpalinya bahwa mereka hanya petugas yang menjalankan perintah atasan. Jika perintah itu tak dijalankan maka hidup mereka akan terancam, tak peduli bahwa tugas itu juga membahayakan hidup orang lain.

Selanjutnya, kepada para tentara yang malang itu Gatot meminta agar dirinya tidak diganggu lagi karena akan mengajari petani-petani lain untuk menanam beras Rojolele yang merupakan varietes beras lokal asal Klaten.

Infografik Beras Rojolele

Infografik Beras Rojolele. tirto.id/Rangga

Beras Hama Wereng

Penanaman Rojolele bukan satu-satunya yang tak dikehendaki Orde Baru. Hal serupa juga menimpa beras Cianjur. Dalam buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita, Buku V 1979-1980, (2008) yang dikutip dari Antara (27/01/1979) disebutkan bahwa Soeharto mendapat laporan dari Menteri Muda Urusan Pangan Ir. A.A. Affandi.

Isi laporannya adalah bahwa orang-orang kaya di kota tidak mau makan beras VUTW (varietas unggul tahan wereng) yang digalakkan pemerintah Orde Baru, yang rasanya memang tidak seenak beras non VUTW seperti Rojolele dan Cianjur.

"Mereka tidak mau membantu peningkatan produksi nasional, bahkan menggalakkan penyebaran hama wereng," ujar Affandi gusar.

Ia kemudian meminta agar orang-orang kaya mau menahan diri untuk tidak makan beras enak dulu selama usaha pemberantasan hama wereng belum berhasil. Dengan kata lain, mereka harus makan dulu beras yang dihasilkan berkat pupuk kimia perusak tanah dan pestisida non-organik.

Kepada mereka yang masih membandel, Affandi menyebutnya sebagai orang-orang yang tidak mau memikirkan kepentingan nasional.

Baca juga artikel terkait BERAS LOKAL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh Pribadi