Menuju konten utama

Melongok Dapur di Masa Depan

Di masa depan, dapur mungkin akan berisi robot yang bisa memasak. Cepat, praktis, namun mungkin mencerabut manusia dari akarnya.

Sebuah kulkas pintar dipamerkan di IFA Electronics Show di Berlin (2/9/2016) FOTO/REUTERS

tirto.id - Penulis Michael Pollan pernah berkata, memasak adalah yang membedakan manusia dengan hewan. Ia mengutip perkataan penulis lain, James Boswell, yang mengatakan: tak ada hewan yang bisa memasak. Gastronom Prancis Jean Brillat-Savarin turut mengatakan hal serupa: memasak mengajari manusia cara menggunakan api, memasak pula yang menjadi salah satu tanda lahirnya peradaban.

Setelah membaca tulisan Pollan di Cooked (2013), saya yakin: memasak adalah jenis pekerjaan yang tak akan bisa digantikan robot. Sebab memasak adalah salah satu jenis pekerjaan yang membutuhkan perasaan dan ketajaman lidah. Ia bukan pekerjaan matematis. Satu sendok teh garam untuk 250 gram daging, bisa menghasilkan rasa berbeda dengan empat sendok teh garam bagi 1 kilogram daging.

Seorang juru masak menganggap dapur adalah rumahnya. Di sana ia bertahta, di sana ia berkuasa menentukan apa masakan yang akan ia reka. Di dapur pula, terpampang perbedaan antara juru masak berpengalaman dengan juru masak yang masih hijau. Kalau datang ke desa-desa saat ada kenduri, pergilah ke dapur. Kamu akan menengok satu orang yang jadi komandan. Ia dihormati laiknya tuan rumah. Ia yang menentukan kesuksesan sebuah kenduri.

Dari dapur pula, kita mengenal banyak orang besar dengan kecintaan yang teramat kuat pada dapur serta sejarah dan seni memasak. Mulai dari Sri Owen, Sisca Soewitomo, Marco Pierre White, Anthony Bourdain, Gordon Ramsay, hingga Syrco Bakker.

Karena itu, rasanya susah sekali membayangkan dapur di masa depan akan dikuasai oleh piranti-piranti pintar dan robot dengan gerak kaku. Walau, tak menyangkal, saya sempat beberapa kali membayangkan betapa enaknya dapur di masa depan. Penyebabnya adalah film populer Back to the Future Part II (1989). Dalam salah satu adegan, tampak piranti bernama Hydrator bermerek Black & Decker. Dengan piranti itu, pizza seukuran telapak tangan bisa menjelma jadi ukuran besar dalam sekejap.

Pada 1989, hydrator dan segala macam peralatan masa depan lain terasa amat jauh dari bayangan. Tapi sekarang, perlahan-lahan semua jadi nyata. Layar sentuh sudah benar ada dan jadi hal umum. Dan perlahan kenyataan itu merambah ke dapur.

Baca juga: Alat Masak Jadi Produk Paling Laris di E-Commerce

Tahun 2015 lalu, Moley Robotic menunjukkan purwarupa robot pemasak. Moley didirikan oleh seorang ilmuwan komputer, Mark Oleynik pada 2014. April, setahun kemudian, mereka memamerkan Robotic Kitchen dalam ajang pameran robot industrial, Hannover Messe, Jerman.

Dalam sebuah video, ditunjukkan cara kerja robot ini. Pertama, pengguna akan memilih resep dari 100-an kumpulan resep. Setelah memilih, dua bilah tangan robot akan mulai bergerak. Saat pengguna memilih Grandma's Spaghetti, robot ini akan menjerang air dalam panci, memasukkan segepok spaghetti kering, memberi oregano pada saus, hingga meletakkan ke atas piring.

Untuk pembuatan, Moley menyerahkannya pada Shadow Robot, keduanya sama-sama berasal dari Inggris. Robot ini punya 20 motor, 24 sendi, dan 129 sensor yang bisa menirukan gerakan tangan manusia. Yang melatihnya adalah Tim Anderson, juara BBC Masterchef 2011. Selain memasak, robot ini bisa pula menghias hidangan, juga mencuci peralatan memasak.

Baca juga: Memasuki Era Robot-Robot Pekerja

Dalam wawancara bersama The Economist, Anderson, yang gerakannya ditiru oleh si robot, mengaku kagum dengan kemampuan muridnya. Ia tak menyangka, hal-hal kecil seperti penggunaan api hingga cara mengaduk bisa ditiru dengan sempurna.

"Hal-hal kecil itu amat penting dalam memasak," kata Anderson, "dan robot ini amat konsisten."

Saat ini si Robot punya sekitar 100 kumpulan resep. Oleynik tak mau berhenti di situ. Ia dan timnya sedang melengkapi koleksi resep hingga mencapai angka 2.000-an. Business Insider menulis bahwa pada 2015, robot purwarupa ini berharga 75 ribu dolar. Oleynik sedang mengusahakan agar harga robotnya lebih terjangkau. Direncanakan resmi dijual pada 2018, robot ini akan dijual dalam rentang harga 10 ribu Poundsterling, atau sekitar Rp150 juta.

Robot bukan satu-satunya bayangan dapur di masa depan. Sekarang saja sudah mulai banyak alat masak "pintar". HapiFork yang diproduksi oleh Slow Control, misalkan. Alat ini punya pengukur waktu, yang bisa mengetahui kecepatan kita makan. Saat kamu makan terlalu cepat, atau dianggap terlalu banyak, maka alat ini bisa berbunyi. Data-data untuk piranti ini bisa tersambung dengan laptop atau ponsel pintar.

Bagi beberapa orang yang baru belajar memasak, alat-alat ini sungguh membantu. Bahkan untuk merebus telur sekalipun. Alih-alih memakai stopwatch seperti biasa, kini ada peralatan bernama Egg Time. Tujuannya memastikan telur rebus matang sesuai pilihan: lembut, sedang, keras.

Dua peralatan itu memang terkesan sepele. Tapi di masa depan, akan ada aneka macam peralatan lain yang bisa membuatmu geleng-geleng kepala. Dapur seperti menjelma jadi dunia tersendiri. Mulai dari oven yang bisa mengetahui seleramu, pemanggang yang memasak sesuai pilihanmu dan bisa dikontrol melalui iPad, mesin yang bisa menumbuhkan tanaman yang dibutuhkan bagi dapur, lebih cepat ketimbang ditanam di kebun, hingga pengolah air yang bisa mengubah air kotor jadi air bersih. Semua tersambung dan bisa dikontrol dari satu gawai saja.

Para perusahaan teknologi juga menyadari gerak maju piranti dapur. Tanggal 10 dan 11 Oktober 2017, dihelat ajang Smart Kitchen Summit yang ketiga. Ajang ini pertama kali diadakan oleh Michael Wolf, analis di sebuah perusahaan teknologi. Ia berpikir bahwa ada hubungan antara makanan yang kita konsumsi dengan teknologi yang terus berkembang. Sama seperti seminar, akan ada diskusi, obrolan, juga pameran inovasi peralatan dapur di sini.

Tahun ini pengisi ajang Smart Kitchen Summit merentang mulai Tyler Florence dari Food Network, Victoria Spadaro Grant dari Barilla, dan Michiel Bakker, Direktur Food Program di Google. Yang mengikuti acara mulai dari perusahaan pembuat piranti keras dan lunak, pekerja di perusahaan teknologi, hingga anak-anak muda yang punya perusahaan rintisan.

Salah satu pembahasannya, antara lain, semakin tak relevannya buku resep. Florence, pembawa acara dan penulis buku masak, dengan nada ironi mengatakan di masa depan buku resep akan benar-benar ditinggalkan, sama seperti koran atau majalah di era digital. Bisa jadi Florence benar. Sekarang, kita bisa mengakses resep dari situsweb atau aplikasi di gawai.

Baca juga: Ramainya Video Masak di Facebook

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/20/Dapur-Masa-Depan--mild--NADYAQUTE.jpg" width="860" alt="Infografik Dapur Masa depan " /

Cookpad, misalkan. Aplikasi yang dibuat oleh Akimitsu Sano pada 1997 sekarang sudah punya lebih dari 60.000 resep. Bayangkan jika semua resep itu dicetak, perlu berapa ribu lembar kertas. Video resep singkat seperti yang diproduksi oleh Tasty ataupun Food Network juga semakin digemari, terutama karena ringkas dan praktis.

Dunia masak memasak memang akan selalu dinamis. Perkara masuknya mesin di dapur tak lepas dari kritik, memang. Pollan salah satu yang terdepan dalam mengkritik robot dan segala macam mesin pintar yang ada di dapur. Menurutnya, kehadiran robot yang bisa menggantikan manusia memasak, akan mencerabut manusia dari akarnya. Walau kita harus mencatat, Pollan juga mengkritik tak hanya perkara mesin atau robot dalam perkara lidah dan perut, tapi juga makanan industrial seperti makanan beku atau cepat saji.

Baca juga: Cinta dalam Seporsi Makanan Beku

Terlepas dari kritik itu, perusahaan robotik ataupun perusahaan pembuat alat masak pintar masih harus berjuang di ranah paling dasar: harga. Saat ini harga alat-alat masak pintar itu teramat mahal, apalagi robot memasak. Statista, pada 2014, pernah merilis data tentang negara yang warganya paling banyak menghabiskan waktu di dapur.

India ada di peringkat pertama, rata-rata warganya menghabiskan 13,2 jam per minggu di dapur. Diikuti oleh Ukraina (13,1 jam), Afrika Selatan (9,5 jam), Indonesia (8,3 jam), dan Italia (7,1 jam). Negara-negara pusat teknologi seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Jepang malah tak masuk dalam 10 besar.

Dengan kata lain, mesin memasak atau robot memasak ini mungkin hanya akan laku di negara-negara dengan penduduk yang jarang memasak. Mungkin ada yang terjual di Indonesia, Afrika Selatan, atau India, tapi jumlahnya jelas tak akan banyak. Michael Pollan menambatkan cintanya di tempat-tempat itu: negara dengan manusia-manusia yang masih gemar memasak.

Baca juga artikel terkait DAPUR atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani