tirto.id - Dunia ini panggung sandiwara, begitu metafora yang dipakai dalam tembang lawas Indonesia. Banyak yang mengamini, setidaknya hal ini sejalan dengan konsep dramaturgi yang dicetuskan Erving Goffman lebih dari lima dekade silam dalam buku The Presentation of Self in Everyday Life.
Ia berasumsi bahwa setiap individu bertingkah layaknya aktor dan aktris dalam kehidupan bermasyarakat. Identitas dan citra diri tertentu ditampilkan dalam konteks-konteks partikular demi menciptakan suatu impresi dan meraih gol. Bukan suatu hal yang tak wajar bila manusia melakukan hal ini, tetapi segelintir orang membawanya ke level lebih jauh dan tidak jarang mengorbankan orang sekitarnya.
Mereka berbohong, memanipulasi, mereka adalah penipu ulung yang mengantongi sejuta trik dan tak mau turun panggung dan senantiasa berharap penontonnya percaya tiap gerik dan kata yang dilontarkannya. Dalam dunia psikologi, hal yang mereka lakukan disebut sebagai gaslighting dan predikat untuk mereka adalah gaslighter.
Gaslighting merupakan permainan mengontrol pikiran dan intimidasi yang sering kali digunakan para narsisis dan sosiopat sebagai jalan mengendalikan, melemahkan, dan membuat seseorang kebingungan. Dalam situs Psychology Today, Jeremy E. Sherman Ph.D menyatakan bahwa gaslighting menyebabkan orang-orang meragukan interpretasi mereka. Di samping itu, gaslighting juga dikategorikan sebagai bentuk kekerasan emosional dan psikologis yang berbahaya dan dilakukan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja oleh si pelaku.
Dilansir dari situs Elephant Journal, terminologi gaslighting datang dari pertunjukan pada 1938 berjudul Gas Light yang popularitasnya menanjak seiring diadaptasinya cerita tersebut ke dalam film. Dikisahkan dalam pertunjukan tersebut, seorang suami memakai teknik-teknik manipulasi dan berusaha membuat istrinya gila, salah satunya dengan cara menyalakan api secara berkala di rumah dan mengatakan bahwa sang istri cuma berilusi melihatnya. Tak sekadar itu, suami dalam Gas Light juga menyugesti istrinya bahwa perempuan itu akan kehilangan memorinya.
Sekilas, hal ini serupa dengan pencucian otak atau metode hipnosis yang lazimnya dilakukan orang-orang berketerampilan khusus. Namun nyatanya, hal ini lumrah ditemukan dalam keseharian, baik dalam dunia profesional, romansa, maupun beberapa konteks interaksi sosial skala kecil atau besar lainnya. Hal-hal yang dilakukan Donald Trump untuk memengaruhi opini publik dan dikatakan oleh sejumlah media massa sebagai bentuk gaslighting seperti yang diungkapkan Frida Ghitis dalam situs CNN.
Psikolog dan penulis buku Dr. Stephanie Sarkis mengidentifikasi beberapa teknik yang kerap dilakukan gaslighter untuk memanipulasi korbannya. Dikutip dari Psychology Today, menurut Sarkis, seorang gaslighter terus menyatakan dirinya tak mengatakan sesuatu yang Anda tahu betul ia pernah mengucapkannya.
Ia juga akan menggunakan hal-hal terdekat Anda untuk amunisi serangannya di kemudian hari. Untuk merapuhkan keyakinan Anda, sesekali ia akan berada seolah di posisi Anda dan memberikan penguatan. Ketika mendapati keyakinan Anda melemah, seorang gaslighter akan mengerahkan orang-orang yang sepaham dengannya untuk mengubah persepsi Anda, bahkan lebih jauh lagi, membuat Anda merasa ‘gila’ bila tetap mempertahankan apa yang Anda percayai.
Untuk mengetahui apakah Anda telah terpengaruh oleh gaslighter, penulis buku How Many Lies Are Too Many? Spot Liars, Cheaters, and Narcissists, Victoria Summit (2014), membuat daftar pertanyaan evaluatif dalam konteks hubungan romantis, di antaranya “Apakah Anda melakukan hal yang seharusnya dilakukan?”, “Apakah Anda mengikuti impian Anda atau justru impian orang lain?”, “Apakah hal-hal yang Anda temui terlalu indah untuk jadi kenyataan?”, “Apakah Anda mempertanyakan ingatan Anda?”, dan “Apakah Anda tiba-tiba merasa inkompeten setelah bertemu dengan pasangan Anda meskipun sebelumnya Anda telah melakukan upaya sebaik mungkin dalam menjalankan kehidupan Anda?”
Penting bagi seseorang yang merasa dirinya berhadapan dengan gaslighter untuk menemui orang lain dan berbicara tentang hal ini kepadanya. Hal ini diungkapkan penulis dan pembicara seputar kekerasan seksual dan relasi Elaine Williams kepada Huffington Post. Ketahuilah Anda tak sendirian.
Jika seseorang terus membuat Anda merasa kecil dan meremehkan Anda, cobalah untuk membuat jarak, demikian dinyatakan oleh Williams. Lebih lanjut dipaparkan Dr. Robin Stern (2007), penulis buku The Gaslight Effect: How to Spot and Survive the Hidden Manipulation Others Use to Control Your Life, korban gaslighting perlu mencari bantuan dan distraksi seperti pergi ke terapis, mengambil kelas yoga, memulai meditasi.
Intinya, buat sesuatu yang mendatangkan kenyamanan, kedamaian, dan masukan-masukan positif untuk diri. Jangan biarkan gaslighter di sekeliling Anda memperdaya keyakinan Anda.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra