tirto.id - Dalam banyak hal, kompetisi memang akan membawa manfaat bagi manusia, mulai dari level sekolah, dunia profesional, sampai tataran politik praktis. Deretan inovasi yang membantu orang-orang menjalani hidup adalah buah dari kompetisi dan hal ini telah dilakukan dari masa ke masa. Lihat saja bagaimana perusahaan-perusahaan alat komunikasi menelurkan fitur tertentu yang kian hari kian canggih dan dapat dinikmati para konsumen. Dalam satu genggaman, bermacam-macam kebutuhan konsumen dapat terpenuhi tanpa menguras energi, waktu, dan materi lebih seperti pada masa sebelumnya.
Kompetisi tak cuma mendatangkan untung bagi pihak-pihak di luar diri para kompetitor. Dalam Psychology Today, Lisa Firestone menyatakan bahwa orang-orang berjiwa kompetitif dapat mendulang keuntungan bagi dirinya sendiri seperti membantu mengenali diri lebih baik alias mengasah kemampuan intrapersonal. Dengan mengikuti kompetisi, seseorang dapat mengidentifikasi dengan baik apa yang sebenarnya dia inginkan dalam hidup untuk dicapai dan hal ini dapat mengarahkannya untuk melakukan tahapan-tahapan yang terorganisasi.
Sementara dari aspek sekolah, pembangunan mental pelajar dapat diawali dari lingkungan yang kompetitif. Pelajar-pelajar yang terbiasa adu balap pencapaian akademis maupun non-akademis akan termotivasi untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya tanpa bergantung pada dikte pengajar untuk melakukannya. Hal ini merupakan investasi masa depan yang berguna bagi para pelajar saat memasuki dunia karier.
Dilansir situs Study.com, lingkungan yang kompetitif juga bisa memicu para pelajar untuk lebih aktif di kelas. Kebiasaan ini dapat berimplikasi pada kemampuan interpersonal mereka saat berhadapan di depan publik luas di kemudian hari yang tak jarang mendatangkan tekanan atau intimidasi.
Dalam hal pemilihan pemimpin, baik daerah maupun negara, kompetisi memberikan keuntungan lain bagi para pemilih. Richard H. Pildes, profesor bidang Hukum Konstitusional di N.Y.U. School of Law, menyatakan dalam The New York Timesbahwa tatkala para kandidat berkompetisi, pemilih disuguhkan lebih banyak informasi dan kesempatan berdiskusi dengan para pemilih lainnya tentang berbagai isu di tempat mereka.
Pendapat Pildes ini terbukti dalam atmosfer pilkada, khususnya di Jakarta, tahun ini. Tak hanya informasi yang melimpah terkait program kerja para kandidat gubernur, macam-macam diskusi dan komentar terhadap agenda dan profil mereka pun merebak di media sosial. Di satu sisi, memang ada cibiran bahwa hal ini bersifat temporer saja, bahkan sebagian besar yang berkomentar dituding cuma ikut-ikutan vokal tanpa tahu atau peduli betul permasalahan yang ingin dipecahkan kedua kandidat. Namun di lain sisi, tak dapat ditampik kenyataan bahwa kompetisi kedua kandidat pemimpin daerah telah berhasil merangkul dan mendulang dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Singkat kata, kompetisi juga berefek samping menimbulkan solidaritas publik luas.
Jika menilik dari perspektif lain, kompetisi juga mendatangkan kritik dari sebagian orang, terlebih jika hal ini berlangsung secara tidak sehat. Segelintir orang dapat menjadi begitu ambisius untuk memenangi kompetisi sehingga baik sadar ataupun tidak, mereka tengah mendestruksi dirinya sendiri. Dalam kompetisi senantiasa ada gol yang disasar dan tak pelak, hal ini membuat para kompetitor bak berkacamata kuda ketika sedang menjalaninya. Ini adalah salah satu potensi buruk dari kompetisi: kecenderungan membuat seseorang melupakan proses pembelajaran yang jauh lebih berharga untuk perkembangan di masa depan.
Dalam konteks sekolah, tidak jarang ditemukan pelajar-pelajar yang depresi atau frustrasi akibat tertinggal jauh dari kawan-kawan mereka yang mencetak skor tinggi di kelas. Pada titik-titik tertentu, kompetisi justru memicu lahirnya kecemburuan antarpelajar yang bukan tidak mungkin pada akhirnya mengganggu proses penyerapan ilmu mereka di sekolah.
Frustrasi tidak hanya ditemukan di ranah pendidikan saja. Secara umum, kompetisi kerap memicu gangguan psikologis bagi mereka yang kalah di ranah mana pun, mulai dari penilaian diri yang rendah sampai keinginan berkonfrontasi dengan pihak yang menang lantaran tak mampu berlapang dada menerima hasil pahit di final. Dalam jurnal bertajuk “The dark side of competition: How competitive behaviour and striving to avoid inferiority are linked to depression, anxiety, stress and self-harm”,Gilbert et. al. (2009) yang melakukan studi terhadap pasien-pasien depresi pun menemukan korelasi antara ketidakmampuan menghadapi penolakan serta olok-olok lantaran kalah dan tingginya level gangguan kejiwaan tersebut.
Sehubungan dengan penolakan orang-orang sekitar, kompetisi dapat pula berdampak timbulnya ketergantungan seseorang terhadap faktor eksternal, khususnya dalam hal pengakuan, demikian ditulis penulis dan pemerhati edukasi Wendy Priestnitz dalam Life Learning Magazine. Hal ini menjadi negatif karena tanpa pengakuan dari orang-orang, seseorang akan terus mengerahkan daya upaya hingga terkadang, ia tak sadar bahwa apa yang dilakukannya telah mengorupsi dirinya sendiri. Keinginan untuk menyabet trofi malah pada ujungnya menjauhkan seseorang dari sesuatu yang sebenarnya ia butuhkan atau inginkan. Lebih parah lagi jika ia menargetkan menang hanya untuk membuat orang-orang di sekeliling tersenyum tanpa menghiraukan seberapa sering penyangkalan diri yang lakukan.
Sudah hakikatnya manusia berkompetisi sebagai cara menyelamatkan diri dan menemukan kemudahan dalam hidup. Ingin menang dan mendapat privilese yang belum tentu dapat diakses semua pihak pun sah-sah saja. Akan tetapi, tak bijak pula bila yang diingat dalam berkompetisi hanya menjadi juara semata. Menikmati tiap tahap proses, penghargaan terhadap diri, dan tahu kapan mesti rehat sejenak sebelum lanjut berjuang adalah hal-hal yang tak kalah penting dicatat dalam berkompetisi. Dan yang terakhir, tidak sekadar agenda pascakemenangan yang perlu dipersiapkan, tetapi juga kesiapan mental kalau-kalau harus mengecap hal yang terburuk dari kompetisi.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti