tirto.id - Baca bagian 1: DCDC Yogyes In Absurdum, Pameran Paling Membekas di 2022 (Bag 1)
Kurator pameran Arsita Pinandita, akrab dipanggil Dito, menyebut tema besar Yogyes in Absurdum adalah bercanda dan hidup. “Judul pameran juga bisa memunculkan dua interpretasi, yaitu Yogyes yang berarti Yogyakarta yang sangat yes, dan absurdum dengan makna semua hal yang absurd,” ungkap Dito dalam catatan kuratorialnya.
Lepas dari keterangan Dito, sulit untuk tidak mengasosiasikan DCDC Yogyes in Absurdum: Believe It or Yes dengan slogan Argumentum in Absurdum kepunyaan The Panasdalam Bank, grup musik asal Bandung. Apalagi Pidi Baiq, pentolan band tersebut adalah salah satu seniman yang tampil di gelaran DCDC Yogyes in Absurdum.
Bagi Pidi, hubungan Yogya dengan keabsurdan hidupnya boleh jadi merupakan sesuatu yang nyata. Awal tahun 1990-an, Pidi tercatat sebagai mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Kampus Pidi dahulu adalah JNM Bloc sekarang, tempat Yogyes in Absurdum dilangsungkan pada 22-24 November 2022.
Beberapa bulan setelah mengikuti perkuliahan di ASRI, Pidi ikut ujian masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB). Karena diterima, tentu saja ia tidak balik ke Yogya. Di kampusnya yang baru, Pidi Baiq mendirikan Negara Kesatuan Republik The Panas Dalam Serikat (NKRPDS). Setelah Orde Baru tumbang, sosoknya lebih dikenal sebagai anak band dan penulis beken.
Kembalinya Pidi ke Yogya buat berpameran menegaskan bahwa apa pun label kesenimanan yang melekat dalam dirinya sekarang, Pidi adalah seorang perupa dan baginya Yogya selalu istimewa. “ABCD: Anak Bandung Cinta Djogja,” tulis Pidi dalam salah satu artwork-nya.
Lukisan Rusuh & Lukisan Teduh
Karya-karya Pidi Baiq ditampilkan di sesi yang sama dengan karya-karya Farid Stevy, perupa sekaligus vokalis FSTVLST. Pembedanya, semua karya Farid dipasang di dinding putih sedangkan karya-karya Pidi di dinding hitam.
Pidi menampilkan sepuluh lukisan. Delapan lukisan berukuran 200 cm x 250 cm dan dua lukisan dibuat di atas kanvas berukuran 164 cm x 134 cm. Semua lukisan bertitimangsa 2022.
“Karya-karya Kang Pidi ini sarat dengan kritik sosial, sebenarnya, tapi pesannya sedikit tertutup oleh judul-judul berbahasa Belanda. Kamu bisa mencari sendiri artinya,” ungkap Patrick Em, seorang kawan, saat kami berdiri di hadapan lukisan berjudul “Wereld Lust”, Nafsu Dunia.
Seperti tujuh lukisan Pidi yang lain, saya merasa “Wereld Lust” adalah “lukisan ramai” atau “lukisan rusuh”. Kanvas penuh oleh garis dan objek-objek yang beragam: sesosok tubuh menodongkan pistol di sisi kiri, seonggok tubuh terkapar di bagian tengah—dengan sepasang tangan mendekap lingkaran di dada (lidahnya menjulur pula)—dan sesosok tubuh lain di sisi kanan seperti berusaha menggapai-gapai yang di tengah.
Di kiri dan tengah bawah, masing-masing seekor anjing membuka lebar-lebar mulutnya. Sedangkan di pojok kanan bawah ada tubuh bersila dengan air muka yang lelah.
“Ini respons si Ayah Pidi terhadap kasus Sambo, ya?”
Tersenyum, Patrick Em hanya memberi jawaban ringkas. “Mungkin.”
Di mata Dito, karya-karya yang dihadirkan Pidi seolah mengajak pengunjung untuk melihat objek-objek figuratif yang menyenangkan secara visual, tapi sebetulnya sering kali memunculkan problematika sosial-politik di Indonesia.
Sebagaimana halnya kebanyakan lirik-lirik lagu The Panasdalam yang terkesan nyeleneh dan semaunya, lukisan-lukisan Pidi yang menyenangkan secara visual itu juga memberi kesan liar tapi sekaligus lucu dan naif, dengan goresan cepat seperti goresan yang lahir dari keriangan anak-anak.
“Beragam simbol coba ia masukkan pada beragam objek figuratifnya, seperti tentang identitas kekuasaan yang ia wujudkan dalam sosok tubuh membawa pedang, polemik pemilu yang ia wujudkan dalam bentuk banteng besar, hingga teriakan kasar netizen dalam wujud sosok anjing berteriak dengan beringas,” ungkap Dito.
Selain “Wereld Lust”, lukisan lain yang dibikin dengan pendekatan dan teknik serupa adalah “Politiek Media”, “Blokir Media”, “Straat Religie”, Koningin is Overleden”, “Kremlin”, “Geen Oorlog”, dan “Aap Blafe”.
Kecuali “Geen Oorlog” dan “Aap Blafe”—keduanya didominasi warna oranye dan biru—semua “lukisan rusuh” di atas dibikin dengan warna yang itu-itu juga: kuning yang dominan menjadi latar bagi objek-objek dan garis-garis ekspresif akrilik hitam dan akrilik putih.
Meski begitu, pengunjung juga dihadapkan pada pemandangan yang berbeda saat melihat dua lukisan berjudul “Mijn #1” dan “Mijn 2”. Kedua lukisan ini dipajang di ruang tengah antara sesi Agan Harahap dengan sesi Farid Stevy dan Pidi Baiq.
Pada seri “Mijn”, artinya milikku, Pidi melukis dengan gaya realis. Objeknya adalah sang istri sedang terpejam dilukis dari samping (“Mijn #1”) dan sang istri tengah tersenyum menatap ke depan (“Mijn #2”).
Latar biru lembut pada “Mijn #1”serta aksen coklat hangat pada “Mijn #2” menerbitkan kesan tulus dan teduh perihal kasih sayang dan cinta Pidi kepada istrinya, Rosi. Kesan di atas diperkuat oleh pemberian bingkai putih dua lapis pada kedua lukisan “Mijn”—hal yang tidak dilakukan Pidi terhadap delapan lukisannya yang lain. Pada saat bersamaan, goresan kuas Pidi dalam serial ‘Mijn” juga tampak lebih kalem dan halus, mendenyarkan kesungguhan dan daya haru.
Melihat “Mijn”, saya seperti dihadapkan pada lagu-lagu bikinan Pidi Baiq yang coraknya agak lain dengan kecenderungan lagu-lagu Thepanasdalam, terutama “Ibu”.
Pada lagu yang hanya diiringi piano itu, meski liriknya terdengar polos dan apa adanya, pendengar bakal senyum-senyum sendiri sekaligus manggut-manggut setuju mengenang semua hal sederhana (tapi sebetulnya sangat fundamental) yang diberikan seorang ibu kepada anak-anaknya. Sebuah lagu yang mudah bikin terenyuh tapi tanpa kehendak melarutkan siapa pun ke dalam kecengengan.
Kau mengajari aku mengucapkan kata-kata baru/kau menghendaki aku mengucapkan kata-kata bagus//kau adalah yang tidak membunuhku selagi masih bayi/kau adalah yang tidak mengutukku hingga menjadi batu.
Bertolak dari Komik
Di luar aktivitasnya sebagai penulis dan pemusik, Pidi dikenal juga sebagai komikus dan ilustrator. Sebagai komikus, nama Pidi sudah dikenal sejak pertengahan tahun 1990-an. Sejak seniman multitalenta yang identik dengan sosok Dilan ini masih menjadi mahasiswa, juga sejak komik mulai diterima sebagai gejala baru dalam perkembangan seni rupa terutama di Bandung dan di Yogyakarta.
“…komik sudah ada sejak lama, tapi menjadi terasa berbeda karena para mahasiswa Seni Rupa bergerak dalam kelompok dan memberi istilah baru, Comic Indie alias komik yang tampilan, teknik memproduksi, dan alur ceritanya di luar mainstream. Di Jogja ada Comic Core dan Apotik Komik lalu di Bandung ada Komik Caroq. Pidi adalah salah satu kreator Komic Caroq bersama Toriq dan satu lagi yang saya lupa namanya,” beber perupa Jumaldi Alfi di akun Facebooknya, Minggu (30/10/2022).
Meski berkarya di atas kanvas, lukisan Pidi memang lebih mirip dengan komik. Selain objek figuratifnya terkesan komikal, cara Pidi menempatkan objek-objek itu juga seperti seorang komikus meletakkan gambar-gambarnya dalam panel: kiri-kanan, atas-bawah.
“Figur-figur naif dalam lukisan Pidi Baiq kesemuanya tampak saling berinterkasi satu sama lain walaupun dalam panel kanvas yang berbeda-beda,” ungkap Dito.
Puas menikmati lukisan-lukisan Pidi, saya duduk sebentar di kursi yang diletakkan di depan salah satu karya Farid Stevy: “Once Upon a Time Nyantrik in Absurdum” (2022). Dari kejauhan, tampak Pidi mendekat. Sepertinya mau istirahat.
“Ayah gaya euy sekarang mah ngegambarnya di atas kanvas. Besar-besar pula.”
Seolah hendak menegaskan konsep hidup “Argumentum in Absurdum’, Pidi menimpali komentar saya dengan raut muka sedemikian datar. “Yah, karena sedang banyak uang saja…”
Editor: Nuran Wibisono