tirto.id - Produksi batu bara nasional pada 2017 hanya mencapai 461 juta ton, atau meleset dari target semula, yakni 477 juta ton. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot menjelaskan bahwa produksi batu bara 477 juta ton merupakan target pada Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Pertambangan.
Meskipun begitu, Gatot mengklaim, jika mengikuti patokan target produksi batu bara pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), realisasi di 2017 justru melampaui ekspektasi. Sebab, RPJMN menargetkan produksi batu bara nasional pada tahun lalu sebesar 413 juta ton.
Gatot mencatat di antara faktor penyebab melesetnya realisasi produksi batu bara dari target RKAB adalah karena cuaca yang tidak mendukung dan sulitnya mendapatkan alat berat untuk produksi pertambangan.
“Yang alat berat, memang dengan banyaknya perusahaan yang ingin melakukan kegiatan, itu tentu jadi sulit untuk mendapatkannya. Inden untuk beli alat tambang itu saja sekitar setengah tahun, menurut informasi dari perusahaan-perusahaan alat berat,” kata Gatot di kantor Kementerian ESDM Jakarta pada Kamis (11/1/2018).
Dia juga berpendapat melesetnya capaian target RKAB dipengaruhi pula oleh kontrol pemerintah yang mengendalikan kenaikan produksi batu bara. “Pemerintah mengendalikan dengan cara tidak memberikan kenaikan produksi semau-maunya. Untuk 2018, pemerintah memberikan toleransi, kemungkinan kenaikannya 5 persen dari realisasi tahun 2017 sebesar 461 juta ton,” kata dia.
Karena itu, Gatot memperhitungkan untuk target RKAB 2018 ada sekitar 485 jutaan ton produksi batu bara. Angka ini jauh dari target RPJMN yang sebesar 425 juta ton.
Di sisi lain, dia mengakui bahwa kondisi untuk mendorong produksi batu bara sangatlah sulit. Setidaknya ada dua sebab yang memicu kondisi tersebut.
“Pertama, pertimbangannya adalah banyak perusahaan-perusahaan yang sekarang IUP itu pada tahap konstruksi, FS (feasibility study/studi kelayakan), itu kan kita tidak bisa menghentikan mereka untuk naik sampai tahap produksi,” ujarnya.
Kedua, sebabnya adalah skala perekonomian perusahaan kontraktor terkait Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). “Jadi dari harga seberapa yang sudah disampaikan pada pemerintah, karena itu produksi berhubungan dengan investasi mereka, return on investment (ROL) mereka,” kata Gatot.
Dia menambahkan, target pemanfaatan batu bara pada 2017 juga tidak tercapai, yakni hanya terealisasi 97 juta ton dari target yang seharusnya 121 juta ton. Oleh karena itu, pada 2018, target pemanfaatan batu bara domestik pun diturunkan menjadi 114 juta ton.
Menurut dia, salah faktor penyebab rendahnya angka pemanfaatan batu bara adalah kinerja beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang tidak sesuai target operasi. Akibatnya, penyerapan sumber energi batu bara rendah.
“Mayoritas yang memanfaatkan batu bara domestik itu PLTU, tetapi ada juga beberapa yang lain. Kalau PLTU sekitar 80 persen, tapi yang lainnya industri,” ujarnya.
Ia berharap pemanfaatan batu bara untuk kebutuhan domestik dapat meningkat terus. “Apalagi sekarang juga berkembang industri pupuk menggunakan batu bara, seperti di PTBA (PT Bukit Asam) yang sudah mulai juga kan (memanfaatkan batu bara untuk PLTU). Sekarang ini, 75 persen diekspor, yang 25 persen dimanfaatkan domestik,” terangnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom