Menuju konten utama

Melawan Kebiasaan Menunda-nunda Pekerjaan

Menunda pekerjaan menjadi problem banyak orang. Bahkan, bagi orang-orang tertentu, menunda pekerjaan menjadi masalah rutin. Tapi bukan berarti tak ada cara menanggulanginya.

Melawan Kebiasaan Menunda-nunda Pekerjaan
ilustrasi seorang bekerja sambil tiduran. foto/shutterstock

tirto.id - Saat mengklik tulisan ini, apakah ada tugas penting yang tengah Anda kesampingkan? Jika tidak, bagus. Tapi kalau iya, setidaknya situs ini sudah memberi estimasi waktu yang akan terpakai saat Anda membaca.

Menunda-nunda pekerjaan alias procrastination nyatanya menjadi persoalan banyak orang. Saat memiliki tugas yang segera mesti diselesaikan, sering kita justru memilih mengerjakan hal lain yang seharusnya dikesampingkan.

“Bagaimana kalau menonton 1-2 vlog Gita Savitri dahulu untuk menaikkan mood?”

“Rasanya perlu mengetik beberapa tweet supaya jari lebih lincah saat nanti mengerjakan tugas.”

“Oh iya, hari ini belum buka Facebook. Siapa yang sedang berulang tahun, ya?”

“Ah bersih-bersih kamar dulu deh, biar nyaman.”

“Ah capek juga, berbaring di tempat tidur barang sejenak mungkin bisa lebih baik.”

“Duh, malah ketiduran!”

Dan...sampai akhirnya tenggat semakin dekat, pekerjaan belum disentuh sedikit pun.

Penelitian tentang hal ini pernah dilakukan Laura J. Salomon dan Esther D. Rothblum dari University of Vermont pada 1984. Sebanyak 342 mahasiswa diteliti untuk mengetahui frekuensi penundaan yang mereka biasa lakukan. Sebanyak 46 persen responden menyebut mereka selalu atau hampir selalu menunda pengerjaan tugas, 27,6 persen menunda belajar untuk ujian, dan 30,1 persen menunda tugas membaca mingguan.

Dampaknya jelas, orang yang menunda pekerjaan umumnya memiliki nilai di akhir semester yang lebih rendah daripada yang tidak. Saat menunda pekerjaan sudah menjadi gaya hidup, orang yang sering melakukannya berpikir hasil pekerjaannya yang tak maksimal disebabkan usaha yang kurang, bukan karena faktor kemampuan.

Timothy Pychyl, Profesor di Carleton University, Ottawa, Kanada melihat procrastination sebagai perilaku lari dari tanggung jawab tugas yang menanti mereka. Tersimpan perasaan takut atau cemas, sehingga untuk mengurangi hal tersebut, mereka memilih melakukan kesenangan yang memberi kepuasan sementara (gratifikasi).

Saat mereka kembali sadar bahwa ada tugas yang belum rampung, giliran perasaan bersalah, panik, stres, khawatir, depresi, dan meragukan diri sendiri-lah yang mengambil alih.

Banyak psikolog menyebut persepsi soal waktu dan perbedaan cara pandang konsep diri hari ini dengan diri masa depan menjadi latar belakang kebiasaan menunda pekerjaan. Pychyl menjelaskan orang yang lebih mementingkan masa depan memiliki perilaku menunda yang lebih sedikit. Menyiapkan diri hari ini memang cara yang tepat untuk menyayangi diri kita di masa depan.

Tendensi menjadi perfeksionis juga menjadi salah satu faktor penyebab procrastination. Penelitian lain menyebutkan, seseorang yang selalu ingin tampil sempurna memunculkan rasa takut akibat evaluasi hasil dan kinerjanya sendiri. Orang yang perfeksionis kerap juga menghindari penilaian orang lain terhadap kekurangan yang dimiliki. Akibat terlalu sibuk mencari kesempurnaan, dia meluputkan fakta banyaknya waktu yang terbuang.

Faktor lainnya adalah kemarahan terhadap seseorang. Hal ini bisa membuat hilangnya motivasi untuk melakukan usaha terbaik, termasuk menunda pekerjaan. Jika ini terjadi, Anda sebaiknya berdamai dengan realitas yang tak terlalu baik itu agar kualitas dan kuantitas pekerjaan Anda tak menurun.

Ada juga faktor rendah diri. Sikap terus menerus meragukan diri sendiri bisa menumbuhkan perasaan tidak nyaman. Sikap rendah hati palsu alias rendah hati agar dipuji oleh orang lain, juga lama kelamaan bisa membuat seseorang tidak percaya dengan kemampuannya sendiri. Ujung-ujungnya, hal ini lagi-lagi bisa membikin sikap menunda-nunda pekerjaan.

Infografik akibat menunda pekerjaan

Bukan Soal Manajemen Waktu

Meski begitu, menghentikan perilaku menunda pekerjaan tak bisa dengan sekadar menyarankan, ‘Berhentilah melakukan aktivitas lain, cepat selesaikan tugas!’

Sebab, bagi orang yang gemar menunda pekerjaan, penundaan kerapkali bukan hal yang bisa dikendalikan. Kita sering menduga menunda-nunda diakibatkan manajemen waktu yang buruk atau murni sikap malas. Padahal, perilaku ini lebih disebabkan masalah manajemen emosi.

“Apa yang saya dapati, semua orang mungkin menunda pekerjaan, sekalipun mereka semua bukan sepenuhya penunda pekerjaan. Ini jelas bukan soal manajemen waktu. Memberi tahu orang yang gemar menunda pekerjaan secara kronis dengan kalimat, ‘Lakukan saja!’ sama dengan meminta kepada orang depresi, ‘Ayo ceria!’” tutur psikolog DePaul University, Joseph Ferrari pada laman Psychological Science.

Ferrari menyebut ada dua alasan dasar mengapa orang gemar menunda-nunda pekerjaan. Pertama, penundaan pekerjaan terjadi karena orang kerap merasa berada di suasana hati yang tak tepat saat mengerjakan tugas. Kedua, ada asumsi yang meyakini bahwa perasaan bisa berubah dalam waktu dekat. Padahal, tidak usah merasa harus dalam situasi hati tertentu untuk bisa lancar melakukan pekerjaan.

Hal ini turut diamini Pychyl.

“Kebanyakan dari kita percaya benar keadaan emosi harus pas saat mengerjakan tugas. Anda harus meyakini bahwa anda jarang merasakan itu dan memang bukan masalah jika anda tidak merasakannya,” tambah Pychyl seperti dilansir Washington Post.

Memaafkan diri sendiri menjadi langkah awal untuk tidak larut dalam perasaan bersalah akibat menunda-nunda pekerjaan. Lebih baik segera memikirkan aksi berikutnya supaya tidak terjerembab suasana hati yang lebih buruk. Tak masalah jika hal tersebut ditempuh secara bertahap.

“Mark Twain (penulis) pernah dikutip karena mengucapkan, ‘Kalau pekerjaan adalah memakan seekor katak, makanlah katak itu pertama kali pada pagi hari. Jika pekerjaanmu makan dua katak, maka makanlah satu yang paling besar lebih dahulu,” ucap Pyhcyl yang turut menulis buku Procrastinating, Health, and Well-being.

Pychyl betul, intinya adalah prioritas. Bikinlah skala prioritas, dan lakukan apa yang paling mendesak untuk dilakukan.

Baca juga artikel terkait MASA DEPAN atau tulisan lainnya dari Rahman Fauzi

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Rahman Fauzi
Penulis: Rahman Fauzi
Editor: Maulida Sri Handayani