Menuju konten utama

Bukan Berarti Gagal: Ada Kalanya Menyerah Itu Tidak Apa-Apa

Terkadang, menyerah bisa jadi pengingat bahwa kita semakin dewasa karena tahu kapan harus berhenti mengejar target tidak realistis dan melanjutkan hidup.

Bukan Berarti Gagal: Ada Kalanya Menyerah Itu Tidak Apa-Apa
Header Diajeng Menyerah Bukan Berarti Gagal. tirto.id/Quita

tirto.id - Coba diingat-ingat lagi, apa yang biasanya terjadi sewaktu kamu merasa down atau berada di tahap ingin menyerah?

Pada titik-titik terendah itu, tak jarang kita menerima motivasi atau penyemangat agar terus berusaha dan mencoba lagi.

Kalimat semacam ‘usaha tidak akan mengkhianati hasil’ atau ‘coba terus, setelah ini mungkin jadi giliranmu’ bergulir berdatangan dari orang-orang terkasih di sekitar.

Di era ketergantungan tinggi pada teknologi digital, kita juga terbiasa untuk melongok ke media sosial dalam rangka mencari penghiburan sekaligus motivasi.

Konten-konten tentang kegigihan luar biasa dari influencer dan berbagai tokoh sukses lainnya ini pun punya andil mendorong kita untuk terus berjuang.

Tentu, tidak ada yang keliru untuk memupuk semangat dari cerita-cerita sukses dan inspiratif orang lain. Namun ada pertanyaan menggelitik yang kemudian muncul.

Apakah kita memang tidak boleh menyerah? Haruskah kita mencapai semua target dan tujuan yang sudah direncanakan sedari awal?

Mahadsih Worowiranti, M.Psi., Psikolog mengungkapkan, banyak yang beranggapan bahwa menyerah sama saja dengan kegagalan karena seseorang tidak mencapai apa yang ditargetkan sebelumnya.

Padahal, sebetulnya tidak apa-apa untuk menyerah atau berhenti mengusahakan sesuatu.

"Menyerah tidak selalu gagal, bisa jadi karena tujuan yang kita tetapkan memang tidak sesuai dengan kondisi kita," ungkap psikolog yang berpraktik di RS Telogorejo Semarang ini.

Header Diajeng Menyerah Bukan Berarti Gagal

Header Diajeng Menyerah Bukan Berarti Gagal. .Foto/istockphoto

Lalu, kapan waktu yang tepat untuk berhenti?

Soal ini, psikolog yang akrab disapa Woro itu menjelaskan ada beberapa situasi di mana menyerah menjadi pilihan yang tepat.

Menyerah dianggap wajar apabila setelah berusaha untuk mencapai sesuatu, kita tidak mendapatkan progres atau manfaat apa pun dari apa yang diusahakan.

"Berhenti untuk mencoba juga boleh dilakukan apabila kita mengalami kelelahan yang berlebihan bahkan mengarah pada kondisi burnout akibat terus mencoba. Namun tidak mendapatkan hasil apa pun," lanjut Woro.

Keputusan untuk berhenti pun juga bisa kamu lakukan ketika upaya terus-menerus itu tidak membuat puas dan bahagia, melainkan justru membuat suasana hati menjadi buruk.

Selain itu, Woro menjelaskan, apabila tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan karier atau pekerjaan, maka kita perlu mengenali apakah kondisi terkait kepribadian, bakat, intelektual yang kita miliki sudah cocok dengan karier atau pekerjaan yang diinginkan.

"Jika kondisi kita tidak sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan dalam pekerjaan yang kita inginkan, maka tidak ada salahnya untuk berhenti dan mencari pekerjaan lain yang lebih sesuai," papar Woro.

Menyerah juga bisa menjadi pilihan ketika alasan utama untuk terus mencoba adalah hanya demi menyuapi ego diri sendiri.

"Kadang-kadang, mimpi kita berasal dari ego dan status atau gagasan kita tentang suatu hal—bukan seperti apa jadinya dalam kehidupan sehari-hari," ujar Paulette Sherman, PsyD dikutip dari Well and Good.

Menurut Sherman, pada dasarnya manusia sangat mudah untuk mengelabui diri sendiri dengan proyeksi yang dipersepsikan tentang apa yang mungkin terjadi. Padahal kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Hal itu semua seakan-akan mengingatkan kita bahwa kegigihan untuk meraih impian memang penting—sampai batas tertentu saja.

Pasalnya, melansir tulisan Carlos Alós-Ferrer, Ph.D. dari School of Management, University of Lancaster di Psychology Today, setidaknya ada dua masalah jika kegigihan itu sampai melewati batas.

Masalah pertama adalah tujuan atau impian yang tidak realistis. Jika usaha untuk mengejarnya dilakukan secara berlebihan, kita bisa jadi malah jadi frustrasi dan membuang-buang waktu.

Alós-Ferrer menekankan, kisah-kisah inspiratif dari orang terkenal—yang bekerja keras sampai berhasil meraih mimpi masa kecilnya—memang dapat membangkitkan semangat, akan tetapi pada waktu sama juga bias.

“Dengan kata lain, cerita mereka tidak informatif, karena tidak ada yang bilang berapa banyak orang yang berjuang dan gagal setelah menyia-nyiakan sebagian besar waktu dalam hidupnya. Kebanyakan aktor dan aktris tidak jadi bintang. Kebanyakan penulis tidak kaya raya karena karya-karyanya,” tulis Alós-Ferrer.

Masalah kedua berkaitan dengan waktu dan energi manusia yang terbatas.

Apabila seseorang mendedikasikan hidupnya untuk satu tujuan tertentu yang tidak realistis, dia mungkin akan kesulitan mencapai tujuan lain secara efektif dan malah kehilangan kesempatan lain.

Dari perspektif ekonom, hal itu disebut opportunity costs atau biaya peluang—sederhananya adalah kesempatan lain yang hilang ketika kita sedang berusaha memenuhi satu kebutuhan tertentu.

Header Diajeng Menyerah Bukan Berarti Gagal

Header Diajeng Menyerah Bukan Berarti Gagal.Foto/istockphoto

Apabila kita menyerah pada satu tujuan, apa artinya kita meninggalkan semua cita-cita yang sudah didambakan selama ini?

Menurut Woro, apabila suatu rencana tidak tercapai, kita masih bisa membuat rencana-rencana lain yang lebih realistis untuk bisa dicapai dan disesuaikan dengan kondisi.

"Jika seseorang memiliki mindset yang bertumbuh, kegagalan dalam satu bidang tidak akan menghentikannya untuk berusaha menetapkan target lain untuk bisa diusahakan dan dicapai."

Menurut beberapa hasil riset yang dirangkum dari artikel Insight, melakukan penyesuaian untuk mencapai target baru yang lebih realistis justru dapat memberikan kebaikan.

Melepaskan impian yang tidak masuk akal (goal disengagement) dan menyesuaikan diri untuk meraih tujuan lain yang lebih masuk akal (goal reengagement) ternyata dapat meningkatkan kepuasan diri dan kebahagiaan.

Langkah tersebut bisa jadi kesempatan untuk menyelaraskan kembali nilai-nilai pribadi yang dianut selama ini—sejauh mana perlu disesuaikan dengan kondisi terkini.

Selain itu, apabila kita terus memaksakan tujuan yang tidak realistis, bukan tidak mungkin kita malah stres dan berisiko mengalami gangguan kesehatan mental.

Woro mengingatkan, setelah kita memutuskan menyerah, ada kemungkinan kita akan merasa bersalah, malu, atau kecewa—terlepas hal itu dilakukan demi kebaikan diri sendiri.

Lalu, apa yang bisa diusahakan untuk meredam perasaan-perasaan negatif tersebut?

Menurut Woro, kamu perlu mindful atau sadar pada kondisi saat ini. Dengan begitu, kamu tidak lagi dihantui oleh pikiran yang masih berfokus pada masa lalu dan menimbulkan penyesalan.

Kamu juga dapat memupuk kembali rasa percaya diri dengan mengenali diri sendiri—baik sisi negatif maupun sisi positif—dan berusaha menerima bahwa kondisi tersebut ada pada dirimu.

"Dengan menyadari dan menerima kondisi negatif dan positif yang ada pada diri, maka kita tidak akan merutuki keburukan-keburukan kita. Namun tetap lapang dada mengakui sisi buruk sebagai bagian diri kita," kata Woro.

Seiring itu, kamu perlahan akan menjadi lebih yakin bahwa ada hal baik lainnya yang bisa dilakukan.

Coba ingat lagi keberhasilan-keberhasilan yang pernah dicapai. Ini penting untuk membuktikan kepada diri sendiri bahwa kamu memiliki kemampuan dan tetap percaya diri menatap ke depan.

"Selain itu, bangunlah mindset bahwa satu kegagalan tidak merepresentasikan keseluruhan kemampuan kita dan kegagalan kita dalam semua hal," tambah Woro.

Melepas sebuah cita-cita pun bukan berarti kamu meninggalkannya sepenuhnya. Siapa tahu, kamu dapat mendedikasikannya sebagai hobi.

Misalnya, kamu suka menulis, menggambar, fotografi, atau menyanyi. Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan dan evaluasi, kamu sadar kamu tidak memiliki cukup peluang dan kapasitas untuk menjadi profesional penuh waktu di bidang tersebut.

Dari situ, tidak ada salahnya mempertimbangkan untuk menjalani aktivitas tersebut sebagai hobi atau kegiatan sampingan, bukan?

Terkadang, menyerah juga dapat dimaknai sebagai pengingat bahwa kita telah bertumbuh menjadi pribadi yang semakin dewasa—karena kita mengerti kapan harus berhenti mengejar hal-hal tidak realistis, melanjutkan hidup, dan lebih memperhatikan kesehatan mental diri sendiri.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Diajeng
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih