Menuju konten utama

Melarang PNS Kritik Pemerintah Itu Warisan Kolonial

Larangan ASN untuk mengkritik pemerintah dinilai tak punya dasar hukum kuat dan berwatak kolonial.

Melarang PNS Kritik Pemerintah Itu Warisan Kolonial
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Syafruddin melakukan rapat kerja dengan Komisi II DPR di gedung parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (20/6/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/pd.

tirto.id - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Syafruddin menyatakan Aparatur Sipil Negara (ASN) alias Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak boleh mengkritik pemerintah. Pernyataan ini adalah respons terhadap pencopotan Kolonel Kav Hendi Suhendi sebagai Komandan Kodim lantaran istrinya mengomentari penusukan Menkopolhukam Wiranto.

"Undang-undangnya begitu (dilarang kritik). Memberikan masukan, saran yang progresif, ya oke oke saja, tapi bukan di ruang publik," ujar Syafruddin di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019).

ASN yang melakukan itu bisa kena "pidana umum", tambahnya. "Jangan dibandingkan antara aparat Polri, TNI, dengan ASN. Beda. Domain hukumnya beda," ujarnya. "Polri ada pidum dan kode etik. TNI ada pidana militer dan disiplin militer. ASN pidana umum."

Komisioner Bidang Penyelidikan dan Pengaduan KASN, Sumardi, menegaskan pernyataan Syafruddin.

Kepada reporter Tirto, Rabu (16/10/2019), dia mengatakan "dasar hukumnya ada di UU Nomor 5 Tahun 2014 pasal 4. Nilai dasar bagi ASN harus setia kepada pemerintah yang sah."

Direktur Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsyari tidak sepakat dengan pernyataan Syafruddin. Ia mempertanyakan aturan pelarangan mengkritik itu dari mana munculnya.

"Enggak ada [larangan mengkritik]. Mana ada larangan mengkritik itu," ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (16/10/2019).

Faktanya memang tidak ada larangan mengkritik pemerintah dalam peraturan yang disebut Sumardi. Dalam Pasal 4 UU tersebut (PDF), nilai yang harus dipegang ASN ada 15, di antaranya memegang ideologi Pancasila, mengabdi kepada negara dan rakyat (bukan pemerintah, ed--), menjalankan tugas secara profesional, dan membuat keputusan berdasarkan prinsip keadilan.

Lagipula, sebagai dosen Fakultas Hukum dengan status ASN, ia merasa terkekang jika tak dibolehkan mengkritik. Hal itu ia anggap bertentangan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

"Saya sebagai dosen ASN memiliki Tri Dharma Perguruan Tinggi. Mengajar, meneliti, dan mengabdi," Feri menegaskan. "Dalam pengabdian itu perlu disampaikan kebenaran ilmu pengetahuan kepada masyarakat," katanya, dan penyampaian kebenaran itu kadang dilakukan saat mengkritik.

Warisan Kolonial

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Defny Holidin mengatakan hal serupa: bahwa secara formil melarang ASN mengkritik pemerintah tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Namun di luar itu, larangan tersebut adalah "manifestasi sisa-sisa paradigma ala kolonial," kata Defny kepada reporter Tirto, Rabu (16/10/2019). Paradigma tersebut menempatkan pegawai negeri semata alat pemerintah yang berkuasa.

"Sisa orientasi ini masih tercermin pada sumpah PNS agar loyal tidak hanya pada Pancasila dan UUD 1945 tetapi juga pada pemerintah," tambahnya. Defny mengatakan, dengan perspektif lama itu, ASN akan dinilai loyal jika tak banyak berkomentar atas segala kebijakan pemerintah.

Ciri warisan kolonial lain terdapat dalam UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di dalamnya tidak ada peraturan yang membolehkan ASN protes atau demonstrasi untuk membantah dan mengkritik atasannya, baik itu yang masih satu lingkup kerja maupun pejabat politik.

"Saat pengesahan Oktober 2014 lalu, UU ini berupa versi yang tidak ada lagi klausul [remonstrasi] tersebut."

Perspektif ini, tegas Defny, bertentangan dengan nilai kebebasan berekspresi yang lahir karena reformasi. Lagipula ia menegaskan kalau kritik itu justru bagus.

"Kritik ASN terhadap pemerintah justru bagus dalam membangun otokritik dalam proses kebijakan, sama dengan bahan bakar [bagi] reformasi birokrasi," ujarnya.

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Politik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri