tirto.id - Januari 1947, Sukarno beserta istri dan anak Sulungnya, Guntur, tengah berada di Yogyakarta, di ibu kota Republik Indonesia. Mereka tinggal di Istana Gedung Agung, seberang Benteng Vredeburg. Di bekas Istana Gubernur Belanda untuk Jawa bagian selatan ini kalender menunjukkan tanggal 23 Januari 1947. Guruh menggelegar dan air hujan pun membasahi Yogyakarta. Sukarno tak melupakan hari itu, hari ketika istrinya berjuang melahirkan anaknya yang kedua.
”Di dalam kegelapan dengan cahaya pelita lahirlah puteri kami. Kami menamakannya Megawati,” kata Sukarno seperti dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2011).
Nama lengkap bayi perempuan itu adalah Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri. Sukarno memanggilnya Ega, atau kadang dipanggilnya Dis. Beberapa bulan setelah kelahiran Megawati, tentara Belanda menyerbu Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda I yang dimulai pada 21 Juli 1947.
Ketika Ega berusia 2 tahun 11 bulan, tentara Belanda kembali melakukan operasi militer lewat Agresi Militer Belanda II yang bermula pada tanggal 19 Desember 1948. Akibatnya, Sukarno jadi tawanan politik dan kembali diasingkan. Sementara Fatma sang istri, harus keluar dari istana dan tinggal di rumah biasa di Yogyakarta.
Ketika ibukota Republik Indonesia kembali ke Jakarta, keluarga Sukarno pindah ke Istana Merdeka yang terletak di pojok Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Pada awal era 1950-an, Megawati sudah memasuki usia sekolah.
”Megawati bersekolah di Taman Kanak-kanak di lingkungan istana. Kawan sekelasnya adalah anak-anak dari para pekerja istana, mulai dari direktur kabinet kepresidenan sampai tukang rumput, pengasuh, dan sopir,” tulis Sari Pusparini Soleh dalam Megawati Soekarnoputri: Mengarungi Badai Menuju Istana (2003:18).
Selesai dari TK, Megawati bersekolah dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini. Tahun 1957, Fatmawati mutung karena Sukarno menikahi Hartini. Dia kemudian memilih tinggal di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, sementara beberapa anaknya tetap tinggal bersama Sukarno di istana, termasuk Megawati.
Sukarno sangat bangga pada anak-anaknya. “Semua anakku memiliki bakat. Putriku yang kedua Rahmawati dan kakaknya Megawati, yang kupanggil Ega, pandai menari dengan bagus sekali,” ujarnya.Menari di hadapan pejabat negara memang bukan hal yang aneh bagi anak-anak Sukarno. Dan Megawati jauh lebih punya banyak kesempatan menari di hadapan pejabat negara ketimbang anak-anak di dusun di luar Jakarta yang jauh lebih jago menari darinya.
Selain itu, selama masih bersekolah, Megawati yang pendiam juga tertarik pada tanaman. Lingkungan istana yang rindang dan ditanami banyak tumbuhan menyenangkan hatinya. Maka setelah lulus SMA sekitar tahun 1965, Megawati merantau ke Bandung untuk kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Megawati tak pernah jadi sarjana, karena kuliahnya terganggu. Salah satu penyebabnya adalah kondisi politik Indonesia yang kian memojokkan Sukarno, ayahnya.
”Tahun 1967, dalam situasi politik yang amat melukai perasaannya, Megawati memutuskan meninggalkan bangku kuliah untuk mendampingi ayahnya, Bung Karno, yang kesehatannya semakin memburuk dan sedang dikenai karantina,” tulis Sumarno dalam Megawati Soekarnoputri: dari Ibu Rumah Tangga sampai Istana Negara (2002:5).
Megawati adalah tipe orang pendiam yang sensitif. ”Kakakku itu seorang yang perasa dan kalau sedang marah dapat bertahan lama, cenderung lebih diam,” kata Rachmawati Soekarnoputri, adiknya, seperti dimuat Tempo dalam edisi khusus Sukarno (04/06/2001).
Sebelum wafat pada Juni 1970, Sukarno sempat menikahkan Megawati dengan pilot Angkatan Udara Letnan Satu Surindro Supjarso pada 1968. Pada tahun ayahnya wafat, Megawati juga harus kehilangan suaminya yang raib bersama pesawatnya di rimba Papua pada Januari 1970. Tiga tahun kemudian Megawati menikah lagi dengan Taufiq Kiemas.
Jelang Soeharto lengser--yang juga banyak diwarnai aksi demonstrasi mahasiswa--Megawati mendapat banyak sorotan karena menjadi oposisi yang sering diserang rezim Orde Baru. Lalu setelah Soeharto jauh secara menyakitkan dari tampuk kekuasaannya, Megawati kian bersinar di pentas politik nasional. Ia kembali ke istana mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid, dan dua tahun berselang giliran ia menjadi Presiden RI yang ke-5.
Editor: Irfan Teguh Pribadi