Menuju konten utama

MEA: Sebesar Apa Modal Bahasa Kita?

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) resmi dimulai sejak 31 Desember 2015. Tapi, kemahiran berbahasa Inggris orang Indonesia untuk dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja relatif masih rendah. Jauh di bawah Singapura dan Malaysia, serta kalah oleh Vietnam. Tapi Indonesia punya modal lain: bahasa Indonesia, yang jika dikelompokkan sebagai rumpun bahasa Melayu, penuturnya mencakup 45 persen seluruh negara-negara ASEAN.

MEA: Sebesar Apa Modal Bahasa Kita?
Pemandu wisata asal Thailand memberikan penjelasan dengan Bahasa Indonesia yang fasih kepada wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Bangkok. Tirto/TF Subarkah

tirto.id - “Jangan takut,” ucap Presiden Jokowi. Pernyataan itu disampaikannya setelah menceritakan kekhawatiran negara-negara ASEAN lain menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Negara-negara itu, menurut klaim Jokowi, khawatir lapangan kerja di negaranya diserbu oleh tenaga kerja asal Indonesia.

MEA atau ASEAN Economic Society (AEC) berlaku mulai 31 Desember 2015. Bentuknya: pasar bebas tanpa sekat di wilayah ASEAN. Siapapun warga negara anggota ASEAN bisa terlibat dalam pasar—termasuk menjual tenaga sebagai pekerja—di semua kawasan ini. Artinya, selain perlu meningkatkan kualitas barang dan jasa, calon tenaga kerja pun perlu menyiapkan diri untuk berebut posisi.

Kesiapan satu negara bisa dilihat dari macam-macam indikator. Bisa dari tingkat keahlian, tingkat pendidikan, juga kemahiran berbahasa. Bahasa, bagaimanapun, adalah alat tukar. Calon pekerja yang ingin bekerja di suatu tempat harus bisa bertukar informasi dengan yang mempekerjakannya, dan itu harus lewat bahasa yang dipahami kedua belah pihak.

Persoalan kemudian dimulai dari situ. Jika MEA diibaratkan lomba lari, di manakah posisi start tenaga kerja Indonesia? Lebih spesifik lagi: di mana posisi start calon tenaga kerja Indonesia dalam hal kemahiran berbahasa?

Dikalahkan Vietnam

Banyak pihak menunjuk penguasaan bahasa asing sebagai salah satu kunci menghadapai MEA. Kalau sudah berbicara bahasa asing, telunjuk umumnya diarahkan pada bahasa Inggris, yang jelas telah menjadi lingua franca dunia. Jika ini yang menjadi alat ukurnya, Indonesia memang patut khawatir. Data English Proficiency Index (EPI) dari lembaga Education First dapat memberikan gambaran.

Selama empat tahun terakhir, EPI Indonesia berada di jauh di bawah Singapura dan Malaysia. Wajar saja. Bagaimanapun, kedua negara itu adalah bekas jajahan Inggris sehingga lebih akrab dengan bahasanya. Tapi dibanding Thailand, posisi Indonesia masih lebih baik. Kemampuan berbahasa Inggris warga Negeri Gajah Putih itu ternyata cukup rendah. Indeksnya hanya 45,35 sedangkan Indonesia ada pada angka 52,91.

Yang cukup mengejutkan adalah Vietnam. Pada tahun sebelum-sebelumnya, Indonesia masih lebih unggul dari Vietnam. Tapi posisi itu berubah pada 2015. Indeks kemahiran bahasa Inggris Vietnam lebih baik daripada Indonesia. Mereka menempati posisi nomor 29, sedangkan Indonesia ada di posisi ke-32 dari 70 negara.

Bahasa Indonesia menjadi Bahasa ASEAN?

Lalu, apakah demikian calon pekerja Indonesia terpojok? Tak serta merta begitu. Bahasa lokal tak serta merta hilang oleh bahasa asing. Dalam konteks bahasa pergaulan, yang juga berimbas ke dunia kerja, orang asing semestinya harus belajar pakem lokal, termasuk bahasa. Itu pula sebabnya dalam perjanjian bisnis internasional selalu ada dua dokumen: bahasa Inggris dan bahasa setempat.

Faktanya, dalam ruang lingkup Asia Tenggara yang berpenduduk 600 juta jiwa, bahasa Inggris bukanlah common language. Justru bahasa Melayu—yang menjadi induk rumpun bahasa Indonesia—memiliki pengguna mayoritas di ASEAN. Jadi, jika orang Indonesia hendak bekerja di Thailand, bahasa Thailand-lah yang harus dipelajari. Begitu pula sebaliknya. Lowongan pekerjaan di Indonesia tak serta merta lepas pada orang luar Indonesia, kecuali mereka mampu berbahasa Indonesia.

Pada 2012, Universitas Chulalongkorn, Thailand pernah melakukan penelitian. Temanya adalah mencari bahasa resmi yang digunakan masyarakat ASEAN. Hasilnya, dari sisi jumlah pengguna, bahasa Melayu digunakan oleh 260 juta orang, dengan basis penutur di Indonesia, Malaysia, Brunei, sebagian Timor Leste dan sebagian Thailand. itu mencakup 45 persen dari seluruh warga negara anggota ASEAN. Sementara, bahasa Thailand digunakan sedikitnya 85 juta orang dengan basis pengguna Thailand, dan sebagian Myanmar, Laos dan Kamboja.

Bahasa Inggris, sebagai bahasa sehari-hari, dalam lingkup ASEAN hanya digunakan di Singapura dan Filipina. Kedua negara itu secara resmi memang menjadikan bahasa Inggris menjadi bahasa resmi negara. Penggunanya, jika dijumlahkan dari kedua negara tersebut adalah 108 juta jiwa, yang terdiri dari 5,5 juta penduduk Singapura dan 103 juta penduduk Filipina.

Namun, harus dicatat angka ini bisa turun lebih dari setengahnya. Musababnya: penggunaan bahasa Inggris di Filipina pun tidak merata. Hanya di kota-kota besar bahasa Inggris jamak digunakan. Sementara di pedesaan dan ratusan pulau yang ada di Filipina, penduduk banyak menggunakan bahasa daerah seperti Tagalog, Filipino, Cebuano, Ilokano, dan Bikol.

Dengan demografi demikian, sangat wajar jika Menteri Komunikasi dan Multimedia Malaysia Salleh Said Keruak menyerukan agar Bahasa Melayu/Indonesia dijadikan bahasa resmi ASEAN. Andai saja pemerintah Indonesia segera menyambut gagasan ini, bukan tidak mungkin bahasa Indonesia akan menjadi bahasa umum di Asia Tenggara. Orang Indonesia tak perlu takut, seperti kata Presiden Jokowi.

Baca juga artikel terkait MASYARAKAT EKONOMI ASEAN atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti