Menuju konten utama

Ketika Masalah Kejiwaan Mendera Lansia

Depresi, demensia, dan gangguan kecemasan kerap menimpa lansia. Mereka perlu didukung untuk aktif berkomunitas agar terhindari dari itu semua.

Ketika Masalah Kejiwaan Mendera Lansia
Header Diajeng Kejiwaan Lansia. tirto.id/Quita

tirto.id - Rini (47) belakangan ini merasa kesulitan membagi waktu antara rumah dan pekerjaan. Karyawan marketing ini mesti menjaga ibunya yang menginjak usia 80 tahun. Dulu, katanya, sang ibu tak pernah protes jika Rini pamit bekerja, tapi sekarang situasi berubah.

“Pekerjaanku itu sebenarnya enggak wajib ngantor, bisa dikerjakan di rumah. Tapi kalau ketemu klien, ibu sering protes bilang ‘kok pergi terus?’ Padahal, waktuku di luar rumah saat ini lebih jarang dibandingkan dulu,” ujar Rini.

Rini mengatakan, kondisi fisik ibunya sehat dan masih bisa beraktivitas normal, tapi ia kerap khawatir berlebih jika berada di rumah sendirian. Rini juga mengeluhkan ibunya mudah marah karena perkara kecil. Menurutnya, sang ibu jadi sangat sensitif.

“Misalnya kalau [aku] lupa menaruh barang, marahnya bisa seharian. Jadi, kalau setelah itu ada yang berbuat salah lagi, walaupun sepele, ya dia akan marah,” tutur Rini.

Paramita (27) juga mengalami hal serupa. Ibunya menjadi semakin sensitif tak lama setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta.

“Kalau aku balik kantor, ibuku suka marah-marah sendiri. Jadi kalau rumah sudah diberesin sama ibuku, aku sering tanya. [Ibuku] malah bilang, ‘kamu itu anak perempuan enggak pernah bersih-bersih’. Padahal, dulu saat ibuku belum pensiun, kami biasa bersih-bersih rumah setelah pulang kerja,” kata Paramita.

Tak hanya itu, Paramita juga bercerita bahwa ibunya kerap mendadak sedih karena takut ditinggal oleh Paramita dan saudaranya.

“Ibuku itu sering tiba-tiba berkata, ‘Kalian kok sudah dewasa semua. Nanti kalau sudah menikah, siapa yang perhatikan bapak-ibu.’ Atau kadang bertanya, ‘Kalian enggak punya pemikiran bekerja luar kota, kan?’,” ungkap Paramita.

Kesehatan Mental Lansia

Mood yang kurang baik, rendah diri, putus asa, dan sensitif merupakan kondisi mental yang biasa ditemui pada lansia, demografi berusia 60 tahun ke atas. World Health Organization (WHO) memperkirakan 20 persen populasi lansia memiliki gangguan mental.

Ada berbagai macam gangguan mental yang menyerang orangtua, seperti demensia, depresi, gangguan kecemasan. Menurut WHO, demensia muncul karena penurunan memori, pikiran, perilaku, dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Diperkirakan lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia mengalami demensia. Angka ini diprediksi menjadi 82 juta jiwa pada 2030 nanti.

Gangguan mental lainnya adalah depresi. National Health Service di Inggris menjelaskan, gejala-gejala depresi pada lansia tak hanya bersifat psikologis tapi juga biologis.

Header Diajeng Kejiwaan Lansia

Header Diajeng Kejiwaan Lansia. foto/IStockphoto

Biasanya, lansia yang depresi akan mengalami gejala fisik seperti pingsan, nyeri, badan terasa berat, hingga sembelit. Mereka juga bisa merasakan kecemasan akut, menunjukkan perilaku ganjil, histeria tak wajar pada orang yang lebih tua. Faktor psikotik seperti delusi rasa bersalah, kemiskinan, atau penyakit fisik.

Psikolog keluarga Probowatie Tjondronegoro mengatakan, perubahan mood seperti mudah marah dan menjadi sensitif wajar terjadi pada siklus hidup lansia. Probo menjelaskan, salah satu penyebabnya adalah post-power syndrome.

“Biasanya kan lansia itu sudah pensiun. [Tadinya] punya jabatan di kantor, sekarang sudah tidak punya, kemudian biasanya punya mobil dinas, sekarang tidak punya. Saat masih bekerja, kehidupan ekonominya baik, sekarang pendapatannya pas-pasan,” ujar Probo.

Tak hanya itu, Probo menyampaikan bahwa depresi juga muncul karena kecemasan lansia akan kematian. Hal ini dapat menyebabkan lansia merasa lemah dan tak berguna.

Dalam penelitian berjudul “Prevalence of psychiatric disorders in U.S. older adults: findings from a nationally representative survey” (2015), tim peneliti yang dipimpin Kristin Reynolds menyurvei 12.312 lansia—terdiri atas 4.938 laki-laki dan 7.374 perempuan. “Kami mengamati pola keseluruhan penurunan tingkat mood, kecemasan, penggunaan zat, dan gangguan kepribadian seiring bertambahnya usia,” demikian dikutip dari laporan.

Lebih spesifiknya, lansia laki-laki cenderung punya gangguan kepribadian. Pada perempuan, jumlah yang mengalami gangguan kepribadian dan kecemasan hampir sama. Sementara pemakaian zat terlarang lebih banyak ditemui pada lansia laki-laki daripada perempuan.

Tim peneliti mengukur gangguan kecemasan dengan mempertimbangkan faktor seperti rasa panik, fobia sosial (social anxiety disorder), fobia spesifik, stres karena trauma.

Terkait gangguan kepribadian, mereka mengamati dari gejala pembatasan diri, sikap antisosial, avoidant, ketergantungan terhadap orang lain, obsessive compulsive disorder (OCD), paranoid, skizoid, histrionic personality disorder, skizotipal, dan narsistik.

Mengatasi Permasalahan Mental pada Lansia

Masih mengutip dari psikolog Probo, masalah kesehatan jiwa pada lansia merupakan hal yang terjadi secara alami dan mustahil dihindari oleh setiap lansia. Hanya saja, setiap lansia memiliki tingkat kedewasaan berbeda dalam menghadapinya.

Header Diajeng Kejiwaan Lansia

Header Diajeng Kejiwaan Lansia. foto/IStockphoto

Probo menyarankan kepada lansia untuk memperbanyak sosialisasi dengan sesamanya. Sosialisasi tersebut bermanfaat sebagai sarana tukar pikiran antara lansia.

“Bersosialisasi itu penting, misalnya ikut kegiatan senam, atau ikut kegiatan di lingkungan sekitar, bisa juga ikut komunitas, misalnya komunitas diabetes, komunitas jantung. Komunitas kesehatan itu bisa jadi tempat mereka untuk sharing soal penyakitnya,” tutur Probo.

Probo juga menyarankan kepada keluarga agar tak melarang lansia untuk berkomunitas. Sebab berkomunitas dapat menghindarkan lansia dari rasa kesepian.

Meski begitu, berkomunitas tak bisa seutuhnya menghapus gangguan mental pada lansia. Maka Probo menyarankan kepada keluarga lansia untuk memahami dan lebih bermurah hati terhadap perubahan psikis pada lansia.

“Yang muda tetap harus memahami. Memahami bukan berarti menuruti seluruh keinginan, tapi seumpama lansia marah-marah, kita jangan ikut marah. Bicarakan baik-baik kalau suasana hatinya sudah tenang,” kata Probo.

Dengan “ketemu di tengah”, perbedaaan dua generasi akan lebih mudah diselesaikan, bukan?

*Artikel ini pernah tayang di tirto.iddan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait LANSIA atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih