tirto.id - Publik digegerkan dengan kabar kebocoran ratusan juta data penduduk yang diperjualbelikan secara online. Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi mengatakan karakteristik data yang bocor "diduga kuat identik dengan data BPJS Kesehatan", antara lain nomor kartu, kode kantor, data keluarga/data tanggungan, dan status pembayaran.
Direktur Eksekutif BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan kebocoran data ini harus mendapat penanganan serius mengingat BPJS Kesehatan mengelola data yang sangat besar dan relatif rinci. "Menurut Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018, seluruh rakyat Indonesia diwajibkan ikut program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Jumlah peserta JKN terkini sekitar 222,4 juta orang atau sekitar 82,37 persen dari total rakyat Indonesia," kata dia, Selasa (25/5/2021).
BPJS Kesehatan pun mengelola data dari fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan mereka, termasuk yang dikelola militer. "Data-data tersebut tentunya sangat confidential, yang harus dijaga agar tidak berpindah ke pihak lain."
Timboel bilang perlu perbaikan dan penguatan sistem pengamanan agar pengelolaan data di lembaga ini tidak lagi bermasalah. Tak hanya sistemnya, tapi juga aspek tenaga manusianya. "Hal ini tentunya terkait dengan tugas pelayanan BPJS Kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia."
Pakar digital sekaligus CEO Menara Digital Anthony Leong mengatakan hal serupa. "SDM dan teknologinya harus dibenahi BPJS Kesehatan ini. Jangan sampai teledor kayak begini lagi," kata dia kepada reporter Tirto, Senin (24/5/2021)
Selain aspek teknis, masalah serupa perlu diantisipasi dengan dukungan aspek hukum, dalam hal ini peraturan tentang perlindungan data pribadi yang kini masih berstatus rancangan undang-undang.
"Kebocoran data pribadi bukan terjadi kali ini saja. Sepanjang tahun 2020 kita juga disuguhi banyak kejadian kebocoran data. Karena itu penting untuk mengesahkan UU PDP secepat mungkin," katanya.
Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, BPJS Kesehatan menurutnya akan mendapat bahaya lain yang lebih serius, yaitu hilangnya kepercayaan masyarakat. "Pembayaran iuran juga takutnya akan berpengaruh karena memang masyarakat lebih pilih fasilitas kesehatan di asuransi swasta," katanya.
Masalah Lain
Kebocoran data hanya satu dari sekian masalah di BPJS Kesehatan. Ada sederet masalah lain yang menjangkiti lembaga asuransi sosial pelat merah ini.
Salah satu yang paling kentara dan terus berulang adalah kondisi keuangan yang defisit. Hingga 31 Desember 2020 lalu BPJS Kesehatan mengklaim dana surplus Rp18,7 triliun, namun masih punya kewajiban yang harus dibayar. Kewajiban itu terdiri dari klaim yang belum tertagih atau incurred not reported (IBNR), klaim dalam proses verifikasi, dan utang klaim dalam proses bayar yang totalnya sebesar Rp25,15 triliun.
Maka jika komponen saldo kas dan kewajiban dihitung dalam satu neraca, BPJS Kesehatan masih defisit Rp6,36 triliun.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhir 2020 lalu juga mengungkapkan masalah di BPJS Kesehatan yang masih berkaitan erat dengan data.
"Pemutakhiran dan validasi data kepesertaan BPJS Kesehatan belum dilakukan secara optimal, seperti data kepesertaan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak valid, NIK IHPS I Tahun 2020, serta daftar gaji atau upah peserta pegawai pemerintah non pegawai negeri dan pekerja penerima upah belum mutakhir," demikian tulis BPK dalam Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 2020.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa masalah data kepesertaan secara langsung memengaruhi kondisi keuangan BPJS Kesehatan. BPK menyebut perhitungan pihak ketiga pada 2019 tidak didukung data kepesertaan dan iuran yang memadai.
"Permasalahan tersebut mengakibatkan BPJS Kesehatan tidak memperoleh informasi riil penghasilan PPU penyelenggara negara/daerah yang berpengaruh ke besaran iuran yang seharusnya, dan hilangnya kesempatan memperoleh tambahan pendapatan iuran 2019 sebesar Rp733 miliar, karena belum seluruh kepala desa dan perangkatnya terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan."
Masalah lain yang diungkap BPK berkaitan dengan kepesertaan adalah soal verifikasi data pada klaim layanan kesehatan. Menurut BPK, verifikasi klaim layanan kesehatan BPJS Kesehatan belum didukung oleh sistem pelayanan kesehatan dan sistem kepesertaan yang terintegrasi dan andal.
"Hal ini mengakibatkan potensi membebani keuangan dana jaminan sosial BPJS Kesehatan sebesar Rp52,33 miliar dan potensi penyimpangan atas pembayaran klaim pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta yang pernah berstatus non aktif dan dinyatakan meninggal dunia," demikian bunyi laporan BPK.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Gilang Ramadhan