Menuju konten utama

Masalah Ahok Belum Selesai Sampai Pasal Penistaan Dicabut

Setelah Ahok, sudah ada korban lain dari delik penistaan agama. Sejauh ini pendukung Ahok enggan lanjut bersikap menghapus pasal penistaan agama. Padahal saat ini sudah ada 98 korban pasal politis karet itu.

Masalah Ahok Belum Selesai Sampai Pasal Penistaan Dicabut
Pendukung Ahok menaruh lilin dalam Aksi Tuntut Bebaskan Ahok di Tugu Proklamasi, Jakarta, Sabtu (13/5). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tengah menjalani hukuman penjara 2 tahun. Dia dikenai delik penistaan agama Pasal 156a KUHP pada, Selasa (9/5/2017).

Setelah Ahok dibawa ke LP Cipinang, melalui akun Twitter miliknya, Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memasang tagar #HapuskanPasalPenistaanAgama dan #BebaskanAhok. Tagar tersebut disertai poster undangan ikut serta dalam Aksi Solidaritas di depan LP Cipinang. Hasilnya, demonstrasi sejak Selasa pukul 19.00 ramai dan dihadiri kalangan politikus, aktivis dan peneliti HAM, pengacara, hingga relawan Ahok.

Sehari setelah Ahok mencabut gugatan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Direktur PT Tatar Kertabumi, Aking Saputra dituduh melakukan penistaan agama. Pada Senin (22/5), puluhan elemen masyarakat Karawang dari Ormas, LSM, OKP dan Organisasi Keagamaan mendatangi Mapolres Karawang untuk melaporkan Aking.

Tuduhan itu bermula saat Aking mengunggah status di akun Facebook-nya. Isinya dia menuding banyak tokoh PKI adalah pemuka agama Islam.

Terbukti setelah Ahok, delik penistaan agama masih menyasar dan terus mencari ke korban berikutnya. Bagaimana konsistensi gerakan para pendukung Ahok dan para peneliti HAM untuk mencabut atau menghapus pasal penistaan agama?

Saat ditanya bagaimana selanjutnya sikap PSI terkait delik penistaan agama, Grace belum bisa memastikan. Sebab untuk bersikap apakah berhenti menuntut agar pasal penistaan agama selesai setelah Ahok menerima vonis hakim atau tidak, Grace harus berpatokan pada pendapat kolektif internal PSI.

“‎Kami belum bisa berkomentar dulu. Karena itu kan harus keputusan kolektif di PSI,” kata Grace saat berbincang dengan reporter Tirto, Rabu (24/5/2017).

Grace justru menjelaskan bahwa, PSI bukan penggagas aksi damai yang digelar di depan LP Cipinang, melainkan hanya menjadi bagian yang mendukung. Maka dari itu, pihaknya tak ikut merumuskan sikap menghapus pasal penistaan agama.

“Penentuan tagar dan segala macam bukan dari kami,” tuturnya. Tetapi, PSI menjadi inisiator aksi damai 'Malam Solidaritas atas Matinya Keadilan' Rabu, (10/5/2017) di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat.

Meski begitu, Grace menegaskan bahwa delik penistaan agama harusnya dikaji secara serius. Terlebih pasal tersebut harusnya diterapkan secara hati-hati. “Pada penerapannya ternyata dalam berbagai kasus itu banyak digunakan sebagai alat politik. Perlu dipikirkan selanjutnya agar tak menelan korban dan agar tidak digunakan dengan tidak bijak,” ujarnya.

Siti Aminah Tardi, peneliti The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) menilai, Ahok secara hukum dia tidak memiliki unsur 156 atau 156a dalam KUHP. Namun, pola yang sama terhadap Ahok itu terjadi di semua kasus penistaan agama yang lain. Maka dari itu Siti mendukung agar para pendukung Ahok untuk menghapus atau mencabut delik tersebut.

“Melihat 156a jangan cuma Ahok, ada banyak kasus lain. Kalau mereka bersolidaritas terhadap Ahok, mereka juga harus bersolidaritas terhadap yang lain. Itu kalau memang ingin 156a itu dihapus,” ungkapnya saat berbincang dengan reporter Tirto, Rabu (24/5/2017).

Infografik Penistaan Agama

Delik Penistaan Agama Harus Dicabut

Siti merupakan salah bagian dari yang diberi kuasa perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965 ke Mahkamah Konstitusi, pada 23 Februari 2009. Delik itu menjadi induk terkait aturan pencegahan, penyalahgunaan, dan atau penodaan agama.

Dia menuturkan kala itu diperlukan 3 tahun penelitian sebelum ke MK. Kemudian menjadi persidangan terbesar dalam sejarah MK. Sebab MK memanggil 33 orang ahli. Jumlah itu belum termasuk ahli yang diminta pemohon, pihak terkait, pemerintah, dan DPR.

Dalam diskusi yang digelar Yayasan Keadilan untuk Semua di Warung Daun, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu (24/5/2017), Siti memaparkan alasannya mengapa UU Penodaan Agama harus dicabut. Pertama, UU tersebut hanya melindungi agama, bukan penganutnya sehingga bersifat abstrak.

“Agama itu abstrak, sangat tergantung pada kekuasaan. Ketika kekuasaannya clear ya clear, tapi ketika ada muatan politik maka akan menjadi abuse,” ucapnya.

Kedua, UU Penodaan Agama kerapkali digunakan untuk mencegah dan menghukum ekspresi dari kelompok minoritas atau pandangan yang kontroversial. Selain itu menghambat debat terbuka yang jujur serta pertukaran pengetahuan. Ketiga, UU Penodaan Agama kerap digunakan untuk membungkam ekpresi dan pendapat penganut kelompok agama minoritas, atheis, atau non-theis.

“Mengistimewakan salah satu agama atau keyakinan di atas yang lain, baik secara hukum maupun pengaruh. UU Penodaan Agama dipastikan akan diskriminatif terhadap orang-orang dengan agama-agama atau keyakinan minoritas,” jelasnya.

Dia juga mengungkapkan sejumlah celah dari pasal 156a KUHP. Beberapa di antaranya ialah bersifat diskriminatif karena negara memilih satu tafsir tunggal atas agama. Kemudian luasnya pengertian penodaan agama menjadi alat membungkam perbedaan.

Namun, Siti menganggap seseorang baru bisa dipidanakan ketika melakukan hate speech, sebab memuat unsur ancaman. Di luar itu, bisa diselesaikan melalui jalur rekonsiliasi atau perdata berujung pada denda.

Setara Institute telah melakukan riset terkait penerapan delik penistaan agama yang terjadi tahun 1965 hingga 2017. Hasilnya ada 22 kasus delik penistaan agama tidak sampai tahap pembuktian di pengadilan. Kemudian ada 76 kasus pernah melalui proses persidangan, diputus di persidangan, atau secara aktual dalam proses menuju persidangan.

Selain itu ada 35 kasus tanpa tekanan massa, 14 di antaranya tidak diperkarakan di pengadilan. Vonis yang dijatuhkan beragam mulai dari dibebaskan hingga yang maksimal dipenjara 3 tahun. Sedangkan kasus dengan tekanan massa jumlahnya lebih banyak yakni 62 kasus. Terdapat 7 kasus tak diperkarakan di pengadilan. Kemudian vonis beragam mulai dari dibebaskan hingga maksimal penjara seumur hidup.

Atas dasar itu, Ismail Hasani, Direktur Setara Institute menilai tekanan massa menjadi sumber legitimasi kebenaran dan patokan hukum untuk memutus perkara. Gerakan intoleran dari kelompok mayoritas menjadi polisi, jaksa, sekaligus hakim.

“Ukurannya apa sih menyinggung, menodai dan sebagainya? Ukurannya ya seberapa banyak tekanan massa bisa anda kerahkan. Kalau anda bisa mengerahkan lebih banyak maka kerumunan itu akan menjadi sumber kebenaran. Selama ini polisi, jaksa, dan hakim tidak punya parameter yang jelas,” terangnya.

Daripada UU Penodaan Agama, Ismail lebih mendukung untuk dibentuk rancangan undang-undang penghapusan diskriminasi agama dan keyakinan. Menurutnya hukum itu harus dibuat berdasarkan persoalan sosial termutakhir yang dihadapi. “Yang dihadapi hari ini diskriminasi dan kekerasan,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti