Menuju konten utama

Mari Berhenti Mengutuk Anak-anak Muda

Sebagian besar besar remaja kini mengakses internet dari telepon genggam, bukan di warung internet. Meski gemar berbelanja, remaja Indonesia punya kesadaran relatif tinggi untuk menabung. 62,5 persen dari keseluruhan remaja mengaku menyimpan uang berdasarkan pertimbangan pribadi.

Mari Berhenti Mengutuk Anak-anak Muda
Sejumlah siswa mengantre mengaktivasi Tabungan BNI Simpanan Pelajar (SimPel) saat peluncuran program tersebut di Kawasan Pendidikan Wahid Hasyim, Surabaya, Jawa Timur, ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Bayangkanlah data sebagai bahan-bahan masakan. Sayur, rempah-rempah, daging, telur, dan sebagainya.

Makanan yang diolah dari bahan bermutu buruk bisa meracuni, setidaknya membuat mual. Tapi, bahan-bahan yang baik pun belum tentu menjadi santapan yang menggembirakan. Juru masak yang buruk bisa saja membuat tenderloin serupa sealot ban pesawat dan rasa beragam rempah bertabrakan satu sama lain. Bahkan seorang juru masak yang sembrono dapat menghidupkan imajinasi pedihnya zaman penjajahan Jepang melalui jagung rebus.

Kita kerap membaca atau mendengar data tentang anak-anak muda di Indonesia. Tiap sebentar ada judul baru: tingkat melek huruf, loyalitas terhadap pekerjaan, gaya berbahasa, dan lain-lain. Sebagian data itu bermutu baik, sebab disarikan dari penelitian yang komprehensif serta didasari metode yang tepat, dan sebagian lagi bahkan tak pantas ditengok. Namun, yang ajaib, hasil olahan kedua jenis bahan itu seringkali tidak terbedakan.

Sebab utamanya ialah perspektif yang seragam. Ibarat juru masak yang tak mengenal resep selain, katakanlah, semur, kebanyakan media Indonesia memasak data tentang anak-anak muda dengan satu cara belaka, yaitu sinisme. Dari data apa pun, bunyi simpulannya hampir selalu sama: inilah generasi yang mengenaskan, yang masa depannya gelap dan penuh sarang laba-laba seperti kolong lemari.

“Begitulah kira-kira gambaran gaya hidup anak muda saat ini. Konsumtif dan bergantung dengan gawai,” tulis Kompas.com pada 26 Oktober 2015 tentang kebiasaan belanja daring (online) muda-mudi Indonesia. Konsumtif, dalam konteks ini, ialah lawan dari produktif sebagaimana gelap ialah lawan dari terang, dan ketergantungan terhadap benda-benda, entah itu gawai atau patung anak sapi bersepuh emas, tidak pernah dianggap terpuji sepanjang sejarah umat manusia.

Pada 22 Juli 2016, jurnalis Republika Syahrudin El-Fikri memerah kesimpulan dari tukilan data Badan Pusat Statistik dan UNESCO tentang minat baca orang Indonesia: “...upaya pendiri bangsa ini untuk mewujudkan generasi yang cerdas sebagaimana yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 sepertinya makin susah diwujudkan. Pantaslah bila bangsa kita selalu dikecilkan alias kurang dianggap saat berhadapan dengan bangsa-bangsa lain.”

Fakta bahwa anak-anak muda Indonesia memiliki minat baca yang rendah, juga keranjingan gawai dan belanja daring, tentu tak mesti dibaca dengan cara demikian; sebagaimana daging ayam tidak harus dijadikan isian lemper. Media massa, sebagai salah satu pabrik pengetahuan utama untuk rakyat, semestinya menyodorkan menu yang lebih beragam. Kecuali jika mereka hendak mengambil alih peran dapur umum pada masa-masa darurat, yang saban hari hanya sanggup menghasilkan lemper.

Tahun lalu, lembaga riset MARS Indonesia merilis data perilaku belanja remaja Indonesia. Mereka mendefinisikan remaja sebagai orang-orang dalam rentang usia 15 hingga 21 tahun. Responden berjumlah 1.211 orang dan berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan.

Berikut rangkuman hasil riset tersebut: Populasi konsumen di Indonesia ialah 255,5 juta orang dan 21,28 persen atau sekitar 54 juta di antaranya tergolong remaja. Kegiatan harian yang paling disukai remaja Indonesia ialah olahraga (44 persen), menonton televisi (32 persen), dan mendengarkan musik (25 persen).

Pengeluaran keluarga yang mendapat pengaruh paling besar dari golongan remaja ialah pakansi dan belanja alat-alat elektronik. Tren belanja alat-alat elektronik dalam lima tahun belakangan telah mengubah kebiasaan remaja dalam mengakses internet. Pada 2011, 56 persen remaja memanfaatkan jasa warung-warung internet dan hanya 9 persen yang menjangkau internet dari rumah. Tapi, kini tinggal 10 persen remaja yang rutin berkunjung ke warung internet, sementara sisanya, 62 persen, mengakses internet lewat ponsel (97 persen) dan komputer (25 persen) masing-masing.

Menurut MARS, susunan prioritas pertimbangan remaja ketika membeli ponsel ialah aspek kelengkapan fitur, keawetan, dan keterjangkauan harga. Sedangkan dalam pembelian komputer jinjing, urut-urutannya sedikit bergeser, dengan keawetan di peringkat pertama dan keterjangkauan harga di peringkat ketiga.

Sebagian remaja Indonesia mendapat previlese untuk membeli sepeda motor. Sebanyak 30,7 persen dari mereka menjadikan kemudahan penggunaan sebagai alasan memilih merk tertentu dan 26,9 persen mempertimbangkan konsumsi bahan bakar kendaraan tersebut. Hanya 1 persen yang mengaku menjadikannya bahan pertimbangan.

Hal terakhir yang dicatat MARS adalah remaja Indonesia memiliki kesadaran yang relatif tinggi untuk menabung. Sebanyak 62,5 persen dari keseluruhan mengaku menyimpan uang berdasarkan pertimbangan pribadi dan 29,7 persen karena pengaruh orangtua.

Infografik Bagaimana Pemuda Mengolah Keuangan

Kita tahu, di dunia ini ada orang-orang yang senang menelusuri angka-angka dan ada pula yang membencinya sampai-sampai rela kehilangan bagian penting sebuah tulisan yang mereka senang membacanya. Karena itulah, seperti dalam acara masak-masak di televisi, saya menyiapkan himpunan data di atas dalam bentuknya yang lain, yakni yang sudah dikupas dan disiangi.

Penelitian MARS memberitahu kita sedikitnya 5 poin tentang kaum remaja Indonesia: 1) Sebagian besar dari mereka gemar berolahraga. 2) Akses internet bukan hanya meluas, tapi juga semakin pribadi. 3) Untuk gawai mereka mementingkan fitur, tetapi mengutamakan keawetan pada komputer. 4) Mereka cenderung abai soal harga. Dan 5) rajin menabung, tentu saja.

Temuan-temuan tersebut, meski tak dapat dianggap baru, dapat dijadikan titik berangkat untuk menyusun narasi-narasi segar yang tidak melulu mengabarkan kegelapan. Alih-alih mengeluh alias menyumbang suara untuk global whining, kita bisa, misalnya, mewartakan bahwa sekalipun menghabiskan banyak waktu buat menghadap layar alat-alat elektronik, remaja Indonesia tak rentan jadi angkatan yang pucat dan loyo.

Fakta soal kebiasaan menabung remaja Indonesia dapat digabungkan dengan informasi-informasi lain yang sesuai untuk menyangkal anggapan umum bahwa milenial ialah generasi yang tak berpikir tentang masa depan.

Akses internet yang personal memang punya banyak ujung. Namun, tak seluruhnya buruk. Pada 18 Oktober silam, misalnya, Time menampilkan profil Brian Imanuel alias Rich Chigga, penyanyi rap berbakat besar dari Indonesia yang mempelajari bidang tersebut hampir seluruhnya dari internet. Pelajaran yang memerlukan banyak waktu dan privasi semacam itu tentu sukar ditempuh di warung internet atau laboratorium komputer sekolah.

Segala sesuatu berawal dari pikiran. Benda-benda, sebelum mereka memiliki wujud yang dapat kita pandang dan sentuh, lebih dulu tercipta di dalam pikiran. Menurut Wallace D. Wattles dalam The Science of Getting Rich (1910), begitu juga situasi dalam hidup. Jika seseorang memusatkan perhatian hanya kepada kemiskinan dan kekumuhan, kemiskinan dan kekumuhan itulah yang akan mendatangi dia.

Terus-menerus berpikir dan mengabarkan bahwa generasi muda Indonesia adalah gerombolan penyembah gawai dan narsistik dan gila belanja dan bakal dilingkupi masa depan gelap-gulita, disadari atau tidak, adalah kutukan supaya mereka menjadi demikian. Apa, memangnya, yang telah remaja-remaja itu lakukan sehingga patut mendapat hukuman sekeji itu? Lagi pula, dengan uang siapakah umumnya remaja membeli gawai? Siapa yang luput memperkenalkan membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan pada masa kanak-kanak mereka? Siapa yang membiarkan mereka terbenam dalam kegilaan berbelanja? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Selain itu, boleh jadi kecurigaan serta anggapan-anggapan buruk tersebut berasal dari jurang antar generasi, dari ketidakmauan golongan tua memahami dunia dan alam pikir para penerus mereka. Bukankah banyak, orang-orang paruh baya yang berkeyakinan, misalnya, pencipta musik yang penghabisan ialah Procol Harum dan tiada film yang lebih baru ketimbang seri The Godfather?

Baca juga artikel terkait KONSUMSI BELANJA REMAJA atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti