tirto.id - Awan hitam menyelimuti kawasan Kemang siang itu. Lalu titik-titik air mulai tumpah dari langit. Orang berlarian, namun Heri tetap diam di tempatnya.
"Biar hujan, jualan tetap jalan," kata pria 28 tahun ini.
Memakai topi terbalik sambil menenteng tas kecil, ia terlihat asyik mengupas nanas di pinggir jalan. Ditemani lebah-lebah yang berseliweran di dekatnya, kulit nanas sudah lepas dari buahnya hanya dalam waktu kurang dari lima menit.
Baru empat bulan Heri berjualan nanas madu Pemalang di Jakarta. Sebelum melakoni profesi pedagang nanas, ia sempat berjualan ketoprak dan bakso Malang.
Nanas madu Pemalang tak seperti nanas biasa. Ukurannya lebih kecil, dan rasanya lebih manis. Harganya bervariasi tergantung ukuran. Untuk nanas super, harganya sebesar Rp10 ribu per buah, kelas A seharga Rp8 ribu, dan kelas B seharga Rp5 ribu.
Rasanya yang manis menyerupai madu membuat permintaan di Jakarta terbilang tinggi. Tak heran, jika di sudut-sudut kota kerap ditemui pedagang nanas madu ini. Apalagi, nanas madu ini juga baik bagi kesehatan. Konon, nanas madu ini bisa mengurangi jumlah kolesterol, mencegah diabetes, juga mencegah gangguan pencernaan. Nanas madu ini juga tidak menimbulkan gatal seperti nanas biasa yang tak dikupas bersih.
Heri berjualan nanas tipe A, biasanya dia bisa menjual 50 buah per hari. Kadang bisa lebih. Namun belakangan ini penjualannya turun karena nyaris hujan tiap hari.
“Saya biasa bawa itu satu dus isi 80 buah. Kalau sedang hujan, bisa hanya 30 buah yang kejual. Sisanya yah buat besok. Hujan memang musuhnya pedagang nanas,” katanya kepada Tirto.
Meski penjualan agak turun, Heri mengaku sudah nyaman menjual nanas madu. Apalagi, penghasilannya dari jualan nanas madu terbilang lebih besar ketimbang profesi sebelumnya. Selain itu, berdagang nanas juga tidak ribet, cukup mengupas saja.
“Saya sudah nyaman berjualan nanas. Saya harap yang beli juga makin banyak. Saya sudah capek kalau harus gonta-ganti lagi,” tutur Heri.
Sekondan hari adalah Cipto Adirawan (36). Ia mengaku senang bisa berjualan nanas madu Pemalang. Selain penghasilannya yang lumayan, ia juga bisa memulai berjualan nanas tanpa modal.
“Ini karena ditalangin dulu. Setelah selesai berjualan, baru kami setor uangnya. Hasilnya lumayan, agak sedikit lebih besar ketimbang penghasilan saya saat di kampung [Pemalang],” tuturnya kepada Tirto.
Menjadi seorang pedagang bukan hal baru bagi Cipto. Selama hidupnya, ia memang selalu berdagang. Terakhir, ia berdagang kaus tangan untuk dikirimkan ke sejumlah toko. Sayang, usahanya itu harus berhenti lantaran kena musibah pada akhir 2017.
Menganggur selama beberapa bulan, Cipto lalu teringat dengan kawannya: Pujiono. Dulu, kawannya itu pernah menawarinya berjualan nanas madu di Jakarta. Karena terdesak, Cipto pun mencoba peruntungannya. Pujiono menyambut baik. Akhirnya sejak delapan bulan lalu, Cipto melakoni pekerjaan sebagai penjual nanas madu di kawasan Jalan Bangka, Jakarta Selatan.
Walau terbilang baru sebagai pedagang nanas, Cipto memacak mimpi tinggi: menjadi penyedia stok nanas madu Pemalang bagi pedagang di Jakarta.
Aneka Aral
Pujiono (36) masih ingat betul bagaimana ia merugi hingga jutaan rupiah karena terlalu bersemangat berjualan nanas, dan tidak jeli memperkirakan cuaca. Sebanyak 4,5 dus isi nanas terpaksa membusuk karena sepi pembeli.
“Waktu itu, awalnya nanas super yang saya jual laku keras. Lalu, karena nafsu, saya langsung beli 5 dus untuk besoknya. Eh, saat nanas sudah sampai dan mau dijual, malah hujan terus. Dari 5 dus, cuma setengah dus yang laku,” tutur Pujiono kepada Tirto.
Tidak seperti Heri dan Cipto, Pujiono sudah berjualan nanas madu Pemalang di Jakarta sejak 5 tahun yang lalu. Selain sebagai pedagang, pria yang biasa disapa Puji ini juga menjadi penyedia stok bagi Heri dan Cipto.
Sebelum menjadi pedagang nanas, Puji memiliki profesi sebagai tukang dalam perusahaan kontraktor. Namun lantaran kebutuhan keluarga semakin besar, ia memutuskan keluar dari pekerjaannya untuk menjadi seorang pengusaha.
Dari sekian banyak pilihan, Puji memilih menjadi pedagang nanas madu Pemalang. Bukan tanpa sebab Puji memilih nanas. Selain karena ia sendiri berasal dari Pemalang, nanas madu Pemalang juga lebih manis ketimbang nanas pada umumnya. Dia melihat ada potensi besar di sini.
Lokasi pertama yang dipilih Puji untuk berdagang nanas adalah di sekitar Mampang, Jakarta Selatan. Stok dagangan dia dapat langsung dari pemasok di Pemalang. Hasil yang didapat Puji lumayan, bahkan pendapatannya lebih besar ketimbang saat menjadi tukang.
Dua tahun setelahnya, beberapa kawan Puji tertarik untuk ikut berdagang. Ia pun menyambut keinginan mereka. Bagi Puji, semakin banyak orang yang tertarik, semakin cepat bisnis nanas madu berkembang.
Namun, memiliki mitra kerja juga tidak mudah. Selama ini, Puji masih kerap menanggung rugi yang ditimbulkan dari mitra kerjanya itu. Misalnya, ada mitra pedagang Puji yang mengambil satu dus isi 80 buah seharga Rp360 ribu. Namun dari 80 buah itu, 30 buah tidak terjual dan membusuk.
Angka itu jelas memberatkan bagi mitranya itu. Karenanya, Puji terkadang ikut menanggung sebagian kerugian, bahkan tidak jarang menanggung seluruhnya.
“Ini kebijakan dari saya saja. Karena kalau enggak begitu, ia enggak akan dapat duit. Kebutuhan enggak akan ketutup. Ini saya rugi, tapi memang harus berkorban dulu. Tentu saya juga minta ke teman-teman pedagang untuk lebih kerja keras lagi,” kata Puji.
Sudah berkecimpung di bisnis nanas selama lima tahun, membuat Puji memahami seluk beluk dunia ini. Ambisinya adalah jadi pemasok besar nanas Pemalang di Jakarta. Menurutnya, menjadi pemasok punya banyak kelebihan, mulai dari penghasilan yang lebih besar, hingga kemudahan untuk pulang kampung.
Namun tak ada ambisi yang mudah dicapai. Proses tak pernah mengkhianati. Dulu Puji pernah coba memotong proses ini: langsung jadi pemasok. Hasilnya? Gagal. Pasalnya, ketika itu Puji yang mengambil nanas langsung dari petani belum punya banyak "pembuangan", alias mitra pedagang yang memesan nanas padanya.
"Jadi keburu busuk. Saya beli nanas dari satu kebun, tapi jumlah pedagang saya masih kecil. Akhirnya balik lagi, beli dari supplier lagi, dan jadi pedagang lagi," kata Puji tertawa.
Namun kegagalannya itu menjadi pengalaman yang bagus bagi Puji. Ia kini lebih mengerti mengenai tata niaga nanas madu. Mimpinya sebagai supplier juga kini lebih terarah, dan amat mungkin bisa terwujud suatu saat kelak.
Saat ini, Puji masih menjadi pedagang nanas sambil mengajak orang-orang untuk bergabung dalam bisnisnya. Jumlah mitra pedagang yang sudah bergabung kini sudah mencapai sembilan orang. Menurut Puji, jumlah itu seharusnya sudah cukup bagi dirinya jika ingin mencoba jadi pemasok lagi.
Namun, kali ini Puji memilih untuk bersabar. Dia masih ingin menambah mitra pedagang hingga delapan orang lagi, sehingga pedagang "bawahannya" mencapai total 17 orang. Dengan jumlah itu, kemungkinan sukses jadi pemasok akan lebih besar.
“Persaingan sebagai supplier di Pemalang itu ketat mas. Harus kuat dulu pondasinya. Jadi mesti sabar. Ini juga sambil mengumpulkan uang untuk membeli mobil angkutnya juga, biar lebih efisien lagi."
Editor: Nuran Wibisono