Menuju konten utama

Makna Keris Bagi Para Penggemarnya Kini

Keris tidak semata-mata barang masa lalu, tapi simbol rute peradaban bangsa Nusantara.

Makna Keris Bagi Para Penggemarnya Kini
Salah satu keris yang dipamerkan pada penyelenggaran "Keris Indonesia for Peace and Humanity " di Bentara Budaya Jakarta. foto/Sylviana Hamdani

tirto.id - Awan kelabu menggelayut rendah saat Jimmy S. Harianto mengeluarkan sebilah keris dari warangka-nya. Sorot matanya khidmat saat mengangkat tosan aji tanpa luk itu di tangan kanan dan memperlihatkannya pada para penggemar keris yang sedang berkumpul di kafe depan Bentara Budaya sore hari itu.

“Dulu itu saya pernah sakit-sakitan,” ujar penulis lepas dan kolektor keris, yang biasa dipanggil Pak Bo, pada hari Jumat (25/11). “Sampai saya kemudian menemukan dan membeli kembali keris yang pernah saya jual ini.”

Keris yang dipegang Jimmy sore itu berpamor Tunggul Wulung, yang sekilas mirip sketsa sederhana orang dengan kepala, dua tangan dan dua kaki. Konon kabarnya, keris seperti ini memang memiliki tuah untuk menyembuhkan penyakit. Keraton Yogyakarta juga memiliki bendera dengan motif sejenis yang berfungsi mengusir wabah.

Tunggul Wulung hanya salah satu dari pamor (pola) yang terbentuk pada bilah keris. Sejatinya, ada lebih dari 120 pamor yang memiliki nama dan maknanya masing-masing.

“Pamor itu ada dua (jenisnya),” kata Riyo S. Danumurti, penulis buku budaya dan kolektor keris, pada kesempatan yang sama. “Pamor tiban terbentuk secara alami saat keris ditempa. Sementara pamor rekan sengaja didesain oleh Sang Empu (pembuat keris) menurut pesanan.”

Keris memang memiliki sejarah yang panjang di Nusantara. Teknik pembuatannya mencerminkan seni metalurgi kuno yang sarat estetika dan nilai-nilai spiritual.

Pada tahun 2005, UNESCO memberi pengakuan kepada keris sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia.

“Bangsa kita patut berbangga (dengan diakuinya keris sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO),” kata Donny Gahral Adian, dosen filsafat Universitas Indonesia dan kolektor keris, saat diwawancara oleh Tirto.id di Bentara Budaya hari Jumat (25/11). “Hal ini menunjukkan bahwa dari seni budaya, bangsa kita cukup unggul.”

Sejarah mencatat bahwa senjata ini sudah mulai dibuat dan dipergunakan di Tanah Jawa sejak abad ke-10 Masehi, sebelum akhirnya menyebar hampir ke seluruh Nusantara.

Keris sejatinya terbuat dari campuran besi dan batuan meteorit yang mengandung nikel dan titanium. Senjata ini biasanya dikerjakan oleh seorang pandai besi, atau juga dikenal sebagai empu.

Sebelum pembuatan, empu biasanya harus melakukan puasa dan mendaraskan doa-doa tertentu untuk menyelaraskan energi agar bilah yang dikerjakannya memiliki kekuatan seperti yang diinginkan pemesannya.

Keris dibuat dengan ditempa, dipotong dan dilipat berulang-ulang di atas paron (landasan tempa) hingga memiliki puluhan ribu lapisan yang menjadikannya sangat kokoh.

“Keris adalah puncak peradaban kita,” lanjut Donny. “Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa seni tempanya ditiru oleh NASA dalam menciptakan bahan-bahan tahan panas untuk pesawat ulang alik.”

Keris juga tampaknya tetap mendapat tempat di hati penggemarnya di era modern ini.

Pameran Keris Indonesia for Peace and Humanity yang baru-baru ini dilaksanakan di Bentara Budaya Jakarta hampir tidak pernah sepi dari pengunjung, juga di hari-hari kerja. Lapak-lapak penjual keris di kanan dan kiri ruang pamer utamanya juga terlihat selalu padat oleh kolektor keris, yang mayoritas laki-laki, baik yang sekadar datang untuk melihat-lihat, mengagumi, maupun berniat memilikinya.

Belasan komunitas keris yang berbasis di Facebook juga rata-rata memiliki ribuan anggota yang aktif dalam diskusi dan interaksi di media sosial.

“Keris justru menemukan momentumnya lagi di jaman modern ini,” ujar Revitriyoso Husodo, aktivis sosial dan kolektor keris, saat diwawancara Tirto.id pada Kamis malam (24/11). “Ketika dunia morat-marit seperti sekarang ini, semakin banyak orang yang justru merasa membutuhkan keris.”

Infografik Keris

Infografik Keris. tirto.id/Tino

Sarana untuk Mencapai Tujuan

Ada puluhan kisah tentang raja-raja Nusantara yang menggapai kekuasaan dengan menggunakan senjata keris. Salah satu yang mungkin paling terkenal ialah kisah tentang Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung dengan keris yang dikerjakan Empu Gandring untuk kemudian menjadi penguasa di Singasari.

Berabad-abad kemudian, ternyata keris masih menjadi sarana untuk mencapai tujuan. Tentunya, tidak dengan membunuh siapa-siapa.

“Keris itu sebenarnya benda yang memudahkan kita untuk konsentrasi demi mencapai tujuan,” Revitriyoso menjeaskan.

Penggemar keris itu kemudian mencontohkan bahwa bila menginginkan kemakmuran, orang bisa membeli keris dengan pamor Udan Mas (Hujan Emas) dan menaruhnya di tempat yang mudah dilihat dan diraih.

“Tiap hari kamu lihat dan kamu pegang (Keris Udan Mas) sebagai pengingat untuk bekerja lebih keras lagi,” tambahnya.

Hal seperti ini tentunya harus dibarengi dengan pengertian yang mendalam dan penghayatan akan nilai-nilai intrinsik dalam tosan aji ini.

Sedemikian mengakarnya kepercayaan masyarakat akan kekuatan keris sehingga penjualannya cenderung melonjak menjelang pemilihan kepala daerah maupun pejabat-pejabat negara.

“Dalam pilpres dan pilkada, pasaran keris itu naik drastis,” Pak Bo mengatakan. “(Para pembeli) biasanya para calon yang mencari sipat kandel (dalam bahasa Sansekerta artinya ‘kesaktian’) untuk membesarkan hati.”

Dalam kondisi normal pun, pasaran keris tak pernah sepi. Pusaran produksinya di Madura rata-rata menghasilkan 5.000 bilah keris per bulan.

“Dan semuanya itu terserap pasar,” Pak Bo melanjutkan.

Beberapa pengrajin bahkan sudah mengekspor hasil kriyanya secara rutin pada kolektor-kolektor keris di Malaysia dan Belanda.

Referensi Hidup

Apa makna keris bagi kolektor-kolektor Indonesia di masa sekarang ini?

“Kita harus menjadikan keris tidak semata-mata barang masa lalu, tapi simbol rute peradaban bangsa Nusantara,” budayawan Dr. Ngatawi Al-Zastrow mengatakan dalam acara Puja Rahayuning Rat yang dilaksanakan di Bentara Budaya hari Kamis (24/11).

Menurut budayawan Jawa ini, keberadaan keris sebagai rute peradaban bangsa bisa mengingatkan akan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang kreatif, pekerja keras dan berbudaya tinggi.

“Dengan menggunakan keris sebagai rute peradaban, kita juga bisa menjadikan keris sebagai referensi hidup sehingga kita tidak kebingungan dan kehilangan jalan,” tukas Ngatawi.

Sebagai referensi hidup, Ngatawi juga percaya bahwa keris bisa menjadi jawaban atas problematika yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

“Keris mengasah kepekaan rasa sehingga kita bisa berdialog dengan alam, lingkungan dan masyarakat,” jelas Ngatawi. “Ini disimbolisasikan dengan bermacam-macam yang ada pada keris, mulai dari bentuk fisik dan ornamen pada keris, yang memaknai bagaimana manusia harus menyatu dan peka terhadap lingkungan.”

Revitriyoso pun setuju dengan pandangan ini.

“Keris membuat (manusia) seolah-olah stereo dan bisa keluar dari diri sendiri,” katanya. “Nanti lama-lama akan terbangun perasaan lebih aware dan peka terhadap maksud hati setiap orang.”

Lebih lanjut, aktivis sosial ini beranggapan bahwa keris bisa menjadi pegangan spiritual dalam bentuk yang tangible.

“Manusia modern justru merindukan sesuatu yang bersifat spiritual,” ujar Revitriyoso. “Keris itu spiritualitas di tanganmu. Seseorang yang mempunyai keris itu berusaha menyeimbangkan diri dengan dunia (sekitarnya).”

Selain menjadi pegangan spiritual, keris juga nampaknya bisa menjadi andalan di hari-hari yang sulit.

“Ketika kita butuh uang, keris itu liquid kok,” ujar Riyo saat diskusi bersama para penggemar keris di Bentara Budaya di penghujung pekan itu. “Tapi (keris) yang bagus yah.”

Menurut penulis ini, biaya pembuatan keris yang terbaik hanya sekitar tiga juta Rupiah. Namun selain itu, bilah dan warangka keris sering dihiasi dengan tatahan emas dan berlian untuk mempercantik tampilannya. Hal inilah yang lantas meningkatkan harga keris di pasaran.

“Mungkin seperti kita punya mobil tua, (yang kemudian) dimodif, hingga harganya jadi tak ternilai,” ujar Riyo sambil tersenyum.

Perawatan Keris

Namun fungsi dan nilai keris sebagai alat untuk mencapai tujuan, pegangan hidup dan aset yang sewaktu-waktu cair tentunya juga ditentukan oleh perawatannya.

Sebagai benda yang terbuat dari besi, keris mudah teroksidasi oksigen dari udara dan menjadi berkarat. Karat ini bila dibiarkan tentu bisa merusak bentuk keris secara permanen.

Untuk mencegahnya, keris harus dicuci secara berkala.

“Mencucinya tidak sulit, yah,” kata Riyo. “Tapi memang membutuhkan keahlian agar tidak rusak.”

Setiap tiga bulan sekali, Riyo selalu mengeluarkan semua keris yang dikoleksinya untuk direndam dalam campuran air kelapa dan perasan jeruk nipis selama 24 jam untuk melarutkan karat yang menempel pada bilah besinya.

Donny Gahral Adian juga melakukan teknik pemeliharaan yang hampir mirip. Setiap enam bulan, dosen filsafat ini mengeluarkan koleksi kerisnya yang hampir berjumlah 100 dari lemari penyimpanannya dan merendamnya dalam campuran air kelapa dan perasan jeruk nipis selama 2 x 24 jam. Setelah itu, bilah keris akan direndamnya dalam air warangan yang mengandung arsenik untuk mengembalikan warna alami keris yang hitam legam dan pamor aslinya.

“Kalau kita sibuk dan tidak punya banyak waktu, ada juga jasa pencucian keris di Museum Pusaka di Taman Mini Indonesia Indah,” kata Donny.

Selain itu, apakah ada ritual-ritual khusus seperti memandikan keris dengan kembang tujuh rupa diiringi dengan pembacaan doa-doa tertentu?

“Itu preferensi pribadi masing-masing,” jawab Donny.

Revitriyoso meyakini bahwa ritual-ritual seperti yang lazim diketahui sebagai jamasan memang diperlukan untuk mengisi ulang daya magis yang terkandung di dalam keris.

“Keris itu seperti mengandung gelombang elektromagnetik tertentu,” terangnya. “Sehingga kalau tidak secara rutin di-jamas atau di-charge, gelombangnya akan melemah.”

Tradisi jamasan selain mengisi ulang daya yang terdapat dalam keris juga berfungsi sebagai amplifikasi niat baik yang terkandung dalam hati sang pemilik.

“Bayangkan, di jaman dulu tidak mudah lho mencari kembang tujuh rupa,” kata Revitriyoso sambil tergelak. “Selain itu, air untuk mencuci keris juga biasanya harus diambil dari sendang-sendang tertentu. Harus niat banget itu.”

Lebih lanjut, tradisi jamasan bukan ditujukan untuk membersihkan bilah keris dari karat semata.

“Proses pencucian keris itu sebenarnya bukan soal mencuci keris (saja), tapi juga diri sendiri,” Revitriyoso menjelaskan. “Di upacara pencucian keris selalu ada pembacaan doa-doa yang tujuannya semakin mendekatkan kita kepada (Tuhan) Yang Maha Kuasa.”

Jauh melampaui ruang dan waktu, keris nampaknya tetap menjadi pusaka pegangan yang ampuh mengarahkan pemiliknya pada tujuan hidup, maupun menyelaraskan hati dan pikiran dengan Tuhan dan sesama.

Baca juga artikel terkait BUDAYA JAWA atau tulisan lainnya dari Sylviana Hamdani

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Sylviana Hamdani
Penulis: Sylviana Hamdani
Editor: Lilin Rosa Santi