tirto.id - Konsumsi makanan dan minuman manis di Indonesia terhitung tinggi, terutama di kalangan anak-anak dan anak muda. Kemudahan akses, rasa enak, dan harga murah menjadi salah satu faktornya. Padahal, konsumsi makanan maupun minuman manis yang berlebih dapat menyebabkan resistensi insulin. Pemerintah berupaya membatasi konsumsi gula melalui regulasi, namun edukasi publik tentang bahaya gula masih kurang.
Dewi (26), sempat punya kebiasaan jajan penganan manis setiap pagi dan sore hari, setiap hari.
"Dulu kalau pagi, suka beli Roti O dan kopi (memakai) brown sugar. Itu setiap hari begitu," ceritanya kepada Tirto, Kamis (15/8/2024).
Dewi juga mengaku kerap membeli minuman manis yang tengah populer, seperti boba, lewat layanan ojek online di tengah atau sore hari.
Tak hanya itu, tiap berkunjung ke minimarket, Dewi kerap menyempatkan diri merapat ke rak-rak ataupun kulkas untuk mengambil sebotol minuman dingin dengan perasa. "Di rumah juga pasti stock (minuman manis), saat belanja bulanan," tambahnya.
Merujuk ke informasi kandungan dalam minuman dalam kemasan seperti yang Dewi sebut, setidaknya ada 24 gram gula dalam satu takaran saji, 250 ml. Sementara satu botol tersebut punya ukuran 350 ml.
Produk serupa, teh dalam kemasan, cenderung punya kandungan gula yang sama. Salah satu minuman teh punya kandungan gula 26 gram per sajian, sebanyak 350 ml. Produk ini sendiri menggunakan kemasan 390 ml.
Sementara teh kemasan lainnya, mengandung gula 19 gram dalam takaran saji 225 ml. Menariknya, produk tersebut dikemas dalam botol 450 ml. Artinya, ada dua sajian di dalam satu botol, dan minuman ini punya kandungan gula sebanyak 38 gram.
Dari minuman manis dalam kemasan itu saja, konsumsi gula Dewi sudah hampir setara dengan konsumsi gula ideal yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO). Merujuk anjuran WHO, konsumsi gula setiap hari idealnya sekitar 10 persen dari total energi atau setara dengan 50 gram atau empat sendok makan bagi setiap orang setiap harinya.
Namun belakangan, intensitas Dewi membeli minuman dan makanan manis mulai berkurang. Dia mengurangi jajan produk manis setelah hasil medical check-up (MCU) yang disediakan dari tempatnya bekerja, menyebut kalau kadar gula darahnya naik dan perlu mendapat perhatian.
"(Hasil MCU) intinya gula darah sudah tinggi. Saya disuruh kurangi makanan dan minum manis. Kemudian, menurut hasil MCU itu, saya sudah masuk overweight. Sudah di atas normal, walaupun gak terlalu tinggi, tapi konsumsi gula harus dibatasi. Karena pekerjaan saya kan kebanyakan duduk yah, takutnya kalau sudah gula (indikasi diabetes), nanti saya jadi mudah capek dan mengantuk. Dan itu bisa ganggu konsentrasi kerja," ceritanya.
Dewi terhitung beruntung, mendapat "alarm" soal konsumsi makanan manisnya. Di sisi lain, terdapat banyak anak muda yang, akibat konsumsi gula berlebih, berujung menderita gagal ginjal.
Anak-anak muda ini di antaranya tergabung dalam Komunitas Pasien Cuci Dara Indonesia (KPCDI). Tony Richard Samosir (41), salah seorang pendiri komunitas tersebut sekaligus orang yang sempat harus bolak-balik cuci darah, sempat membagikan ceritanya kepada Tirto.
Di komunitas tersebut, Tony yang sehari-hari aktif berkomunikasi dengan para penyintas cuci darah, menceritakan mulai banyak anak muda di usia produktif yang mengalami gagal ginjal.
Ia menyoroti kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis. Menurutnya, hal ini menjadi faktor pendorong banyaknya anak muda yang terkena gagal ginjal.
"Saat ini memang kan makanan minuman kekinian lebih banyak pilihan. Sekarang boba-boba banyak. Dari rasa coklat, strawberry, sampai apapun ada tersedia. Dan kita mudah ditemukan," ujarnya kepada Tirto, Senin (5/8/2024).
Konsumsi makanan-minuman manis ini kerap kali dikombinasikan dengan kemudahan teknologi yang membuat orang semakin malas bergerak. Tony mencontohkan proses membeli minuman manis yang bisa dilakukan lewat gawai.
"Seiring teknologinya semakin canggih, aplikasi platform-platform juga meningkat. Untuk membeli makanan itu kan sekarang kita tinggal pencet saja, sudah datang dia. Kita nggak perlu beli, lari-lari seperti dulu saya waktu masih kecil," ujarnya.
Tingginya Konsumsi Makanan dan Minuman Manis
Fenomena tingginya konsumsi makanan dan minuman manis di tengah masyarakat ini juga tergambar dari data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2023.
Untuk makanan manis, data SKI 2023 merekam, sebanyak 56,2 persen orang Indonesia mengonsumsi makanan manis 1-6 kali setiap minggunya. Sementara 33,7 persen lainnya bahkan mengonsumsi makanan manis satu kali atau lebih dalam sehari. Sisanya, sebanyak 10,1 persen, menyantap makanan manis kurang dari empat kali dalam sebulan.
Data konsumsi minuman manis tak kalah "gawat". Sebanyak 47,5 persen masyarakat yang disurvei SKI 2023 menjawab, mereka biasa minum manis lebih dari satu kali dalam sehari. Sebesar 43,3 persen mengaku minum manis 1-6 kali dalam seminggu. Hanya 9,2 persen yang menjawab konsumsi minuman manisnya kurang dari empat kali dalam satu bulan.
Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat deskripsi makanan manis dalam laporan ini adalah makanan yang mengandung gula yang tinggi, termasuk yang lengket. Sementara klasifikasi minuman manis dalam SKI 2023 adalah minuman yang mengandung gula tinggi.
Dua kelompok pangan ini juga termasuk dalam jenis makanan yang berisiko untuk terjadinya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, dan kanker, dalam laporan tersebut. Artinya, semakin banyak dikonsumsi, kelompok makanan ini berpotensi lebih besar untuk menimbulkan penyakit.
Tidak berhenti sampai situ, jika melihat penjabaran berdasar kelompok umurnya, terlihat tren anak dan remaja yang cenderung lebih sering mengonsumsi produk pangan manis.
Frekuensi konsumsi makanan manis lebih dari satu kali dalam sehari paling dominan di kelompok usia 3-4 tahun dan 5-9 tahun. Namun, di kelompok umur lain, proporsi konsumsi makanan manis 1-6 kali per minggu di atas 52,6 persen. Trennya, semakin tua orang Indonesia, proporsi frekuensi konsumsi makanan manisnya cenderung menurun.
Sementara untuk produk minuman manis, di kelompok usia anak, 3-4 tahun (51,4 persen) serta 5-9 tahun (53 persen) konsumsi minuman manis lebih dari satu kali/hari di atas 50 persen. Kelompok usia remaja awal, 10-14 tahun, konsumsi minuman manis lebih dari satu kali setiap hari juga mencapai 50,7 persen.
Namun, secara umum, konsumsi minuman manis masyarakat Indonesia lebih tidak terkendali lagi. Persentase mereka yang mengonsumsi minuman manis kurang dari tiga kali dalam sebulan, tidak ada yang mencapai 18 persen di semua kelompok umur.
Meski begitu, ada sedikit kabar baik dari data tersebut. Jika dibandingkan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, konsumsi makanan dan minuman manis masyarakat Indonesia dibanding lima tahun lalu bisa dikatakan membaik.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan, anak usia 3-4 tahun dan 5-9 tahun yang mengonsumsi makanan manis lebih dari satu kali sehari, saat itu mencapai 59 persen.
Sementara itu, di seluruh kelompok umur, frekuensi minum minuman manis lebih dari satu kali sehari saat itu berada di 56 persen, dibanding 47,5 persen pada SKI 2023.
Namun, bahaya dari konsumsi makanan serta minuman manis sejak dini tetap perlu menjadi perhatian. Sebab, masyarakat Indonesia adalah salah satu konsumen minuman berpemanis paling besar di Asia Tenggara.
Berdasar penelitian Fabrizio Ferretti dan Michele Mariani pada tahun 2015, Indonesia berada di peringkat tiga konsumsi minuman manis per orang selama setahun di wilayah Asia Tenggara. Rata-rata orang Indonesia minum 20,23 liter minuman berpemanis per orang per tahun pada tahun 2015. Orang Myanmar, sebagai perbandingan, mengonsumsi 10,74 liter minuman berpemanis per orang per tahun.
Hal ini tidak ideal, mengingat menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), konsumsi makanan maupun minuman manis yang berlebih dapat menyebabkan resistensi insulin. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Dr. Eva Susanti, S. Kp., M. Kes., menyebut produk dengan kandungan rasa manis dapat merusak kesehatan secara perlahan.
Dalam keterangan dari situs resmi Kemenkes, Januari 2024 lalu, Eva menjelaskan kebiasaan konsumsi makanan dan minuman manis berlebih kemudian bisa berujung kadar gula dalam darah menjadi tinggi, lebih dari normal, yang kemudian menjadi indikasi diabetes tipe 2.
“Konsumsi gula yang terus menerus akan menyebabkan resistensi insulin, ketika tubuh tidak bisa menggunakan insulin secara efektif, sehingga kemungkinan akan terkena risiko mengalami diabetes apabila tidak diimbangi dengan aktivitas fisik,” ujar Eva.
Gaya Hidup dan Maraknya Makanan-Minuman Tidak Sehat
Sementara itu, Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, menyebut beberapa faktor, termasuk genetik, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan gaya hidup, sebagai penyebab masalah kesehatan masyarakat.
Secara khusus, gaya hidup dianggap sebagai faktor terbesar penyumbang tingginya angka penyakit tidak menular (PTM) di kalangan anak muda saat ini, seperti diabetes, hipertensi, dan gagal ginjal.
Narila, yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) DKI Jakarta, juga menyebut kemajuan teknologi dan maraknya peredaran makanan dan minuman dengan kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) tinggi, sebagai faktor yang turut mendorong gaya hidup tak sehat di masyarakat.
“Gaya hidup ini punya kontribusi yang cukup besar. Anak muda jaman sekarang dipenuhi dengan segala kemudahan, jadi aktivitas fisik makin kurang. Lalu di lain sisi, ketersediaan berbagai makanan/minuman tidak sehat sangat banyak dan semakin gampang dijangkau,” kata Narila kepada Tirto, Selasa (6/8/2024), sejalan dengan Tony dari KPCDI.
Data SKI 2023 juga sempat menyinggung makanan tidak sehat yang disebut Narila. Laporan tersebut mendata konsumsi makanan berisiko, yang mencakup pangan dengan GGL tinggi.
Indikator yang digunakan untuk mengukur hal tersebut di antaranya konsumsi makanan-minuman manis (seperti yang dijabarkan di atas), makanan asin, makanan berlemak/kolesterol/gorengan, makanan yang dibakar, makanan daging olahan dengan pengawet, bumbu penyedap, minuman berkarbonasi, minuman berenergi, dan mie instan/makanan instan lainnya.
Dari 10 indikator konsumsi pangan tersebut, empat yang masuk kategori GGL --makanan manis, minuman manis, makanan asin, dan makanan berlemak, dominan dikonsumsi hampir setiap hari oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
SKI 2023 juga mensurvei alasan konsumsi makanan-minuman berisiko tersebut. Jawaban paling banyak berturut-turut: enak rasanya (96,2 persen), mudah didapatkan (91,3 persen), lebih murah (79,3 persen), dan tidak tahu bahaya atau risikonya (43,3 persen).
Selain itu, data SKI 2023 juga menunjukkan konsumsi sayur dan buah-buahan mayoritas masyarakat Indonesia masuk kategori "kurang".
Sebanyak 96,7 persen masyarakat dianggap belum masuk kategori "cukup" dalam mengonsumsi sayur dan/atau buah. Celakanya lagi, dari angka tersebut, ada 11,8 persen masyarakat yang mengatakan sama sekali tidak mengonsumsi sayur dan/atau buah dalam 7 hari.
Adapun klasifikasi "cukup" konsumsi sayur dan/atau buah dalam laporan itu adalah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Jika mengonsumsi lebih sedikit dari ketentuan tersebut, termasuk kategori "kurang".
Namun, permasalahan konsumsi makanan tidak sehat, kemungkinan juga ada kaitannya dengan masalah harga pangan. Berdasar data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization, FAO), harga makanan bergizi di Indonesia termasuk salah satu yang paling mahal di dunia.
Perhitungan FAO menunjukkan, pada tahun 2021, harga makanan bergizi di Indonesia US$4,73 perhari untuk satu orang (sekitar Rp70 ribu). Nilai ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan harga makanan bergizi paling mahal nomor 11 di dunia, sekaligus nomor 1 di ASEAN.
Lebih lanjut, Narila menilai merebaknya penjualan makanan dan minuman tidak sehat tersebut berbanding lurus dengan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap informasi kandungan gizi dalam makanan dan minuman.
“Kadang malah ada yg diklaim sebagai minuman kesehatan tapi kadar gulanya tinggi bisa sampai 25 gram per takaran saji. Sementara, gak semua masyarakat punya kesadaran berapa asupan gula yang mereka konsumsi per hari. Gak semua aware kalo konsumsi makanan dan minuman dengan GGL tinggi berisiko diabetes, hipertensi, obesitas dan lain-lain,” ujarnya.
Rendahnya pengetahuan dan awareness masyarakat Indonesia terhadap informasi kandungan gizi dalam makanan dan minuman juga disoroti oleh Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Iqbal Mochtar.
Iqbal berpendapat, hulu dari masalah kesehatan di Indonesia ada di edukasi. Ia menilai, masyarakat Indonesia saat ini masih sangat minim sumber pengetahuan dan pendidikan soal kesehatan.
“Kalau menurut saya, kelemahan kita di Indonesia, karena banyak sekali, hampir semua penyakit itu sebenarnya hulunya itu adalah adanya edukasi. Adanya pendidikan kesehatan yang adekuat (memadai). Karena kalau ini ada, itu masyarakat akan melakukan upaya secara mandiri untuk menghindari hal itu terjadi,” ujar Iqbal kepada Tirto, Rabu (7/8/2024).
Tingkatkan Edukasi Masyarakat dan Perketat Regulasi
Iqbal, dari PB IDI, meminta pemerintah untuk lebih meningkatkan pemberian edukasi kesehatan kepada masyarakat. Ia memberi contoh, bentuk yang paling sederhana dari edukasi kesehatan adalah program penyuluhan kesehatan ke masyarakat.
Iqbal, yang juga menjabat sebagai Ketua Kluster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, mencontohkan, di sejumlah negara luar, edukasi kesehatan dilakukan secara door to door, dari rumah ke rumah. Di sana para tenaga promosi kesehatan, memberikan penjelasan langsung kepada masyarakat terkait informasi dan sejumlah isu kesehatan.
“Mereka memberikan penjelasan langsung kepada masyarakat. Itu program health education yang sebenarnya harus kita galakkan dan kita marakkan di Indonesia. Masyarakat itu perlu tahu apa bahaya diabetes, apa bahaya hipertensi pada anak, makanan-makanan apa yang berbahaya, obat-obat apa yang berbahaya? Itu yang harus mereka tahu,” katanya
Sementara di Indonesia, ia menyoroti minimnya tenaga health promotion. Ia menggambarkan, berdasar hitungan kasar, saat ini Indonesia memiliki kurang lebih 10 ribu puskesmas. Namun, saat ini puskesmas-puskesmas tersebut tidak punya tenaga promosi kesehatan yang memadai.
“Sampai saat ini itu gak ada tenaga health promotion di Puskesmas. Tenaga untuk health promotion, untuk edukasi kesehatan itu gak ada. Jadi program edukasi kesehatan itu di Puskesmas itu hanya dijalankan oleh staff-staff, itu (pun) secara bergilir. Padahal mereka tidak punya kapasitas, tidak memiliki background di bidang itu,” tambah Iqbal.
Sementara itu, Narila dari IAKMI menilai dibutuhkan upaya promotif dan preventif untuk meningkatkan kesadaran dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang dampak konsumsi makanan atau minuman tinggi GGL.
Dari sisi upaya promotif, ia mendorong pemerintah untuk lebih gencar meningkatkan edukasi dan mempromosikan gaya hidup sehat ke masyarakat. Sementara itu, langkah preventif bisa dilakukan dengan cara memperketat regulasi soal peredaran makanan dan minuman dengan kandungan GGL tinggi.
Soal itu, ia setuju dengan langkah pemerintah mengendalikan konsumsi GGL yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam aturan tersebut, di antaranya aturan tentang penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak tercantum.
“Ya, aturan GGL itu penting banget supaya masyarakat aware karena ada cukai yg diberlakukan jika makanan/minuman tinggi GGL. Selain itu, supaya masyarakat aware misal dikasih pelabelan warna yg berbeda untuk level kandungannya, misalnya yg label merah itu kandungan gula tinggi dan gak sehat. Jadi masyarakat juga teredukasi,” kata Narila.
Sebagai informasi, PP No 28 Tahun 2024 mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dapat menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji, seperti yang tercantum dalam Pasal 194 ayat 1 beleid tersebut.
Dijelaskan dalam pasal selanjutnya, penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak, dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi dengan mempertimbangkan kajian, risiko dan atau standar internasional.
Peraturan ini juga mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti yang tercantum dalam Pasal 194 ayat 4 beleid tersebut.
Tertera juga larangan untuk melakukan penjualan atau peredaran pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam dan lemak pada kawasan tertentu.
Peraturan itu juga menyebut bahwa orang yang melanggar ketentuan terkait batas maksimal kandungan gula, garam dan lemak akan dikenakan sanksi administratif mulai dari peringatan, denda, penghentian kegiatan produksi, hingga penarikan peredaran dan pencabutan perizinan berusaha.
Pemerintah sendiri baru saja menerbitkan PP No 28 Tahun 2024 tersebut pada akhir Juli lalu. Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menjelaskan pengesahan peraturan pemerintah tersebut merupakan salah satu bentuk dari langkah transformasi kesehatan guna membangun arsitektur kesehatan Indonesia yang tangguh, mandiri, dan inklusif.
“Kami menyambut baik terbitnya peraturan ini, yang menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri,” ujar Budi, Selasa (30/7/2024).
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty