tirto.id - Tengoklah Pasar Senen di Jakarta Pusat. Di Pasar terkenal pusatnya awul-awul ini menjadi sentral penjualan pakaian bekas di Jakarta. Ratusan kios hingga kaki lima berjejer memadati pasar ini dan selalu dijejali para pembeli. Saban hari paling tidak pedagang bisa mendapatkan uang Rp 1,5 juta. Kalau lagi ramai, penjualan perharinya bisa mencapai Rp 3 juta. “Kalau lagi ramai bisa Rp3 juta,” ujar Morland Simangungsong saat berbincang dengan tirto.id.
Di pasar ini, barang bekas berupa segala jenis pakaian tumpah ruah. Mulai jaket, kaos, kemeja hingga pakaian dalam bekas tersedia di sini. Para penjualnya umumnya punya trik marketing yang unik mulai dari membuat pantun hingga melabeli pakaian bekas itu pernah digunakan oleh selebriti. Paling kentara adalah soal merek, pada pedagang di Pasar Senen sudah mahfum memainkan harga barang branded.
“Bibir Merah, rambut keriting, barang mewah harga dibanting,” begitu ucapan penjual pakaian bekas di Pasar Senen bermain pantun untuk mecari perhatian pembeli. Selain pantun, ada juga pedagang yang menjual barang dagangannya dengan melabeli pakaian bekas itu pernah digunakan artis Hollywood. “G-stringnya nih bekas Paris Hilton,” seloroh seorang pedagang menggundang gelak tawa pengunjung Pasar Senen.
Jual beli pakaian bekas tetap berjalan dengan baik di Indonesia. Padahal, pada Februari 2015 lalu, masalah impor pakaian bekas ini sempat membuat geger. Ketika itu, Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga melakukan penelitian. Hasilnya, uji laboratorium dilakukan Kemendag menemukan kandungan 261.000 bakteri berbahaya dalam pakaian bekas. Munculnya isu itu pun membuat bisnis pakaian bekas menjadi sorotan. Mengingat bisnis ini rupanya menggiurkan. Untuk satu koli karung pakaian bekas untungnya bisa mencapai jutaan. Karena itu juga, pada bulan Juli, Kemendag mengeluarkan Peraturan Menteri yang isinya melarang impor pakaian bekas.
Dalam Laporan Analisis Impor Pakaian bekas di buat oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Tahun 2015 disebutkan Indonesia masuk urutan nomor 152 sebagai negara importir pakaian bekas dunia. Sedangkan sebagai eksportir, Indonesia masuk urutan nomor 71 sebagai negera eksportir pakaian bekas dunia.
Kementerian Perdagangan akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas (Permendag 51/2015) tanggal 9 Juli 2015. Permendag tersebut turunan Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 7/2014 tentang perdagangan yang menyatakan setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.
Berdasarkan atuaran tersebut ditegaskan bahwa larangan impor pakaian bekas dikarenakan pakaian bekas asal impor berpotensi membahayakan kesehatan manusia sehingga tidak aman untuk dimanfaatkan dan digunakan oleh masyarakat.
Aturan itu sempat dianggap bertabrakan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132/PMK.010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Pakaian bekas dan barang bekas masuk dalam item yang bea masuk impornya dinaikkan menjadi 35 persen. Meski demikian, aturan larangan impor pakaian bekas tetap berlaku, bahkan rencananya akan diperkuat melalui Peraturan Presiden.
Larangan itu sempat membuat bisnis pakaian bekas lesu. Namun, masalah ini kemudian lenyap begitu saja. Bisnis pakaian bekas ternyata masih marak dan ramai. Permintaan yang tinggi membuat para pedagang tak kapok meski sudah ada aturan yang melarang.
Menurut Dirjen Pelayanan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, Inspektur Jenderal Purnawirawan Syahrul Mamma, maraknya perdagangan pakaian bekas di Indonesia karena adanya oknum yang bermain dalam bisnis ini. Oknum itu kata Syahrul memasukan pakaian bekas melalui pelabuhan pelabuhan kecil di seluruh Indonesia. Paling banyak kata dia , impor pakaian bekas masuk ke Indonesia berasal dari Malaysia. “Paling banyak dari Malaysia. Itu adalah limbah,” kata Syahrul melalui sambungan telepon kepada tirto.id.
Ada permintaan konsumen
Maraknya penjualan pakaian bekas di tanah air memang bukan tanpa sebab. Menurut Syahrul meski aturan larangan sudah dikeluarkan, bisnis pakaian bekas ini tak berhenti atau hilang. Peredarannya bahkan semakin marak. Di Jakarta, penjualan pakaian bekas tidak hanya di Pasar Senen, tetapi penjualannya kini merambah ke wilayah penyangga seperti Tangerang, Depok hingga Bekasi.
“Karena memang ada permintaan, kita mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membeli pakaian bekas karena memang berbahaya bagi kesehatan,” kata Syahrul.
Syahrul menjelaskan jika pintu masuk pakaian-pakaian bekas itu ke Indonesia melalui berbagai cara. Sepengetahuan dia, pakaian bekas itu masuk melalui Pelabuhan Sumatera, Sulawesi bahkan sampai dengan Timor Leste. Mereka menyelundupkan pakaian-pakaian bekas itu untuk masuk ke Indonesia dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Untuk mencegah hal ini terus terjadi, Ditjen Pelindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan telah bekerja sama dengan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dan Dirjen Bea Cukai untuk mencegah masuknya impor ilegal pakaian bekas ini.
“Kita sudah bekerja sama dengan Bareskrim dan Bea Cukai,” ujar Syahrul. Dia pun menegaskan jika untuk mencegah peredaran pakaian bekas ini masuk ke Indonesia memang sulit. Kemendag pun tak bisa menindak para penjual karena bisa menyebabkan kegaduhan. “Kita cari distributornya,”katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mande mengatakan imbas pakaian impor bekas masuk ke Indonesia secara tidak langsung memengaruhi pertumbuhan industri garmen di Indonesia. Menurut dia, dengan masuknya pakaian impor bekas itu, ada persaingan yang tidak sehat karena barang baru harus bersaing dengan barang bekas. Dia pun meminta Pemerintah segera mengambil sikap dengan memperketat aturan.
“Dari waktu ke waktu akan memengaruhinya, ini bukan persoalan sepele tetapi masalah laten untuk industri,” ujar Roy.
Terkait hal ini, Syahrul Mamma mengatakan, masuknya impor pakaian bekas tak berpengaruh dengan idustri garmen di Indonesia. Sebab menurut dia, industri garmen dengan impor pakaian bekas adalah hal yang berbeda. “Terlalu jauh kalau disandingkan dengan industri garmen,” ujar Syahrul.
Limbah dari Eropa dan Asia
Pada 2013, Indonesia selain mengimpor pakaian jadi dalam keadaan baru juga mendatangkan pakaian bekas dan gombal. Pada tahun itu nilai impor pakaian bekas dan gombal nilainya mencapai $3,3 juta. Pada 2014, impor pakaian bekas dan gombal jumlahnya mencapai 189,8 ton. Menurut analisis dari Kementerian perdagangan, pakaian-pakaian bekas itu didatangkan ke Indonesia dari berbagai negara. Pasokan terbesar pakaian bekas berasal dari Perancis, Singapura, Belanda, Amerika Serikat, dan Thailand. Sedangkan impor gombal didatangkan ke Indonesia berasal dari Korea Selatan, Bangladesh dan Singapura. Lebih dari 90 persen impor gombal Indonesia berasal dari Korea Selatan dan Bangladesh.
Menurut Dirjen Perlindungan Kosumen dan Tertib Niaga, Irjen Purn Syahrul Mamma, pakaian-pakaian bekas itu adalah limbah berasal dari luar negeri. Jadi bukan hal yang mengagetkan jika hasil penelitian Kemendag menemukan banyaknya kandungan bakteri dalam pakaian bekas yang masuk ke Indonesia. Sayang Syahrul tidak merinci jumlah pakaian bekas yang masuk ke Indonesia saat ini.
Pada awal Agustus lalu, Kepolisian Daerah Metro Jaya mengamankan pakaian bekas sebanyak 2. 216 bal koli. Ribuan karung berisi pakaian bekas itu disita petugas dari sebuah gudang penyimpanan di Jalan Inspeksi Banjir Kanal Timur, Cakung, Jakarta Timur. “Kebanyakan memang yang masuk dari Malaysia, itu untuk didistribusikan termasuk ke Jakarta,” kata Syahrul. Minat yang tinggi membuat impor pakaian bekas secara ilegal saat ini masih berlangsung.
“Kita menghimbau warga supaya tidak mempergunakan atau membeli pakaian itu karena membawa banyak penyakit,” katanya.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti