tirto.id - Setelah membuat petisi menolak iklan Shopee Blackpink, Maimon Herawati kembali menjadi sorotan lantaran membuat petisi menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Dosen di Universitas Padjajaran Bandung itu menilai RUU PKS tak ubahnya RUU yang mendukung perzinaan. Dari perspektif Maimon pula, RUU PKS dinilainya memberi ruang bagi individu yang tidak terikat pernikahan untuk melakukan hubungan seksual, namun bisa menjerat para lelaki yang secara hukum berstatus sah sebagai suami untuk memaksa istri melakukan hubungan seksual.
Maimon menjadi perbincangan aktivis feminisme lantaran dianggap menjadi penghambat perempuan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Salah satu kritikan datang dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Melalui juru bicaranya Dara Nasution, PSI menilai Maimon tidak memiliki empati terhadap sesama perempuan.
Jika Maimon dianggap mewakili mereka yang anti-feminisme di Indonesia, Jair Bolsonaro menjadi wajah seksisme dan misoginisme di Brazil.
Seperti diwartakan BBC, sebelum menduduki kursi presiden, Bolsonaro mendapat tentangan dari para aktivis lantaran secara terbuka mengatakan dia tak mendukung perempuan mendapat gaji yang sama dengan laki-laki. Bolsonaro juga dikenal sebagai tokoh rasis dan kontra LGBTQ. Akibat pandangannya ini pula, dia sempat ditusuk pembencinya saat berkampanye pada 6 September lalu.
Selain Bolsonaro, politikus lain yang memilih menjadi anti-feminis adalah Eunice Atujide. Melansir CNN, kandidat calon presiden Nigeria dalam pemilu 2019 ini mengatakan dia benci orang memanggilnya feminis karena istilah itu menyangkutkannya dengan banyak hal yang tak dia sukai.
Dalam salah satu kicauannya di Twitter, Atujide menulis, “Saya bukan seorang feminis. Siapa yang feminis? Teman saya yang tidak akan memasak untuk suami dan anak-anaknya karena kesetaraan? Orang yang menghina laki-laki karena dia bisa? Perempuan yang tak membiarkan laki-laki menahan pintu untuk mereka karena itu merendahkan mereka? Memangnya apa arti feminisme?”
Dia menilai feminisme tidaklah relevan dengan budaya Afrika. Atas kicauannya itu pula, Atujide mendapat kritik dari penulis “Love Does Not Win Elections” Ayisha Osori.
Osori menyayangkan pilihan Atujide untuk turut melanggengkan patriakisme dalam politik Nigeria. Atujide dinilai melupakan betapa kecilnya porsi perempuan yang hanya menempati enam persen kursi parlemen. Menurut data dari World Economic Forum, Nigeria juga menempati posisi kelima terbawah dalam kesetaraan gender di Afrika pada 2017 lalu.
Dari survei yang dilakukan Refinery29 dan CBS News, 54 persen perempuan di Amerika Serikat tidak menganggap diri mereka sebagai feminis. Menurut Katherine Twamley, ini terjadi karena feminis diafiliasikan sebagai “pembenci laki-laki”.
Dalam wawancaranya dengan The Independent, dosen sosiologi di University College London ini mengatakan orang menilai feminis lekat dengan kesan “agresif” dan “tukang koar-koar” sehingga mereka juga tak nyaman dengan istilah ini.
Pelatih Perkembangan Diri dan Karier Perempuan Kathy Caprino sepakat dengan Twamley. Selain dipandang sebagai pembenci laki-laki, feminis dianggap mampu merusak tatanan kepercayaan, agama, tradisi, hubungan sosial, hingga kesempatan dalam ekonomi. Jika mereka berhasil menguasai pelbagai bidang, peluang lelaki pun akan semakin kecil.
“Ini membuat orang-orang ketakutan dan menganggap pandangan mereka (feminis) salah. Sebelum Anda mengidentifikasi diri sebagai feminis, tanyakanlah pada diri sendiri apa yang Anda rasa baik dan tidak. Kalau Anda percaya pada kesetaraan namun menolak feminisme, bisakah Anda mengartikulasikan alasannya? Saya pikir itu akan membantu diri kita,” pungkas Caprino.
Editor: Yulaika Ramadhani