tirto.id - Menteri Joko Widodo yang cukup disorot media massa adalah Prabowo Subianto. Dia, kata aktivis, dianggap tak cocok jadi Menteri Pertanahan karena diduga melanggar hak asasi manusia (HAM) kala masih jadi tentara.
Dia juga dianggap tidak tepat masuk kabinet karena lawan politik Jokowi dalam Pilpres 2019 dan 2014. Bahkan dipilihnya Prabowo membikin salah satu pendukung militan Jokowi, Pro Jokowi (Projo), membubarkan diri--meski lantas tidak jadi setelah sang ketua umumnya dipilih jadi wakil menteri.
Menko Polhukam Mahfud MD, yang berjanji akan menuntaskan kasus HAM masa lalu, mengatakan penolakan tersebut wajar belaka.
"Semua menteri pasti ada yang mendukung, ada yang menolak. Saya juga, menteri lain juga, Menteri Agama, Menteri BUMN, ada yang mendukung, ada yang menolak," ucap Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jumat (25/10/2019).
Penolakan dan persetujuan dari masyarakat sudah pasti muncul karena masing-masing menteri punya kekurangan dan kelebihan; sisi negatif dan positif.
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, dianggap tak punya rekam jejak yang baik di bidang yang akan dia pimpin dalam lima tahun ke depan. Pun dengan, misalnya, Erick Thohir yang dianggap masih terlalu muda untuk jadi menteri.
"Jadi bukan cuma Prabowo yang ditolak," tegas Mahfud.
Menurutnya suara-suara masyarakat itu tak perlu terlalu dipusingkan, apalagi sampai membuat seorang menteri mundur. Menurutnya kritik tersebut justru seharusnya jadi bahan bakar untuk perbaikan.
"Mari setiap masalah itu diperbaiki dan selesaikan, diarahkan ke arah yang benar," jelas Mahfud.
Salah satu yang mengkritik penunjukan Prabowo adalah Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati. Menurutnya bahkan yang berjalan mundur bukan hanya reformasi TNI dengan dipilihnya Prabowo sebagai Menhan, tapi "reformasi secara keseluruhan".
"Mundur dan gagal," katanya menegaskan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino