Menuju konten utama

Mabes TNI Pastikan MoU TNI-Polri Tidak Jadi Alat Kembali ke Orba

"Tidak ada maksud lain bahwa kemudian soalnya pertanyaannya dilarikan menjadi mau kembali seperti Orde Baru lah. Kok terlalu jauh sekali," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Sabrar Fadhilla.

Mabes TNI Pastikan MoU TNI-Polri Tidak Jadi Alat Kembali ke Orba
Presiden Joko Widodo didampingi Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian meninggalkan ruangan seusai memberikan pembekalan pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Selasa (23/1/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id -

Markas Besar TNI tidak mempermasalahkan anggapan sejumlah pihak tentang nota kesepahaman atau MoU antara TNI-Polri. Akan tetapi, mereka menyayangkan ada pandangan bahwa MoU tersebut sebagai alat TNI untuk kembali ke zaman Orde Baru.

"Tidak ada maksud lain bahwa kemudian soalnya pertanyaannya dilarikan menjadi mau kembali seperti Orde Baru lah. Kok terlalu jauh sekali," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Sabrar Fadhilla di Mabes AD, Jakarta, Senin (5/2/2018).

"Ingat apa yang kita lakukan ini untuk negara dan bangsa. Tujuannya untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. TNI pun juga patuh dalam aturan," lanjut Sabrar.

Sabrar mengingatkan, MoU dilakukan sebagai perpanjangan MoU kerjasama TNI-Polri yang habis pada 2018. MoU sendiri berisi tentang perbantuan TNI kepada Polri terkait penanganan unjuk rasa atau kekerasan sosial. Isi MoU pun bukan menjadikan TNI sebagai garda terdepan, tetapi membantu kepolisian dalam penanganan unjuk rasa dan masalah keamanan sosial. "Dalam perbantuan itu mengedepankan polisi, bukan kemudian kita yang di depan seperti zaman dulu," kata Sabrar.

Sabrar mencontohkan kepolisian melakukan analisa terhadap suatu unjuk rasa. Begitu kepolisian sudah memprediksi ancaman bahaya, mereka bisa menghubungi komandan distrik militer (Dandim) setempat untuk membahas masalah pengamanan. Nantinya, apabila kepolisian dan Brimob belum bisa menindak, TNI baru bergerak sebagai perbantuan.

Menurut Sabrar, TNI tidak menutup kemungkinan akan terlibat dalam pengamanan aksi buruh. Namun, mereka baru turun apabila Polri kekurangan tenaga dalam mengamankan objek vital. "Kalau kerusuhan massa itu psikologi massa ketika jadi besar itu ga terbendung kerusakannya maka sifatnya hanya untuk menjaga-jaga supaya jangan sampai terjadi hal-hal yang tdak diinginkan untuk semua," kata Sabrar.

Mantan Kadispenad ini menambahkan TNI pun akan berusaha tidak akan menggunakan senjata api dalam mengendalikan massa saat diperbantukan oleh kepolisian.

Menurut Sabrar, TNI akan mengedepankan pencegahan sebelum menggunakan senjata api. "Semaksimal mungkin tidak semua digunakan untuk yang benar-benar jalan terakhir kalo situasi betul-betul chaos dan butuh penangkalan saya kira tolong dipahaminya seperti itu," kata Sabrar.

Di lain pihak, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani mengungkapkan nota kesepahaman atau MoU TNI-Polri terkait perbantuan TNI menyalahi Undang-Undang (UU).

"MoU ini secara hukum tidak dapat digunakan sebagai acuan utama operasional karena masih menyimpan tiga persoalan utama," kata Yati berdasarkan rilis yang diterima Tirto, Sabtu (3/2/2018).

Tiga persoalan yang dimaksud Yati yakni pertama, MoU bukanlah landasan hukum yang menjadi acuan dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang termaktub dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum.

Kedua, lanjut Yati, pembuatan MoU ini menyalahi UU TNI karena diinisiasi dan ditandatangani oleh Panglima TNI dan Kapolri dan bukan atas dasar keputusan politik Presiden sebagai panglima tertinggi kedua institusi tersebut serta representasi otoritas sipil

“Ketiga, materi muatan dalam MoU belum menyentuh kepada mekanisme inisiasi tugas perbantuan yang seharusnya melibatkan keputusan otoritas sipil baik tingkat pusat maupun daerah,” kata Yati.

Dikatakan Yati, MoU TNI-Polri terkait perbantuan dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat tumpang tindih dengan tiga undang-undang lain yakni, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Yati melanjutkan Presiden dan DPR RI sebagai otoritas representasi kontrol sipil harus segera mengevaluasi MoU antara TNI-Polri tentang perbantuan dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Selama ini, pembuatan MoU tidak didasarkan pada keputusan politik negara antara pemerintah melalui Presiden dan DPR.

Baca juga artikel terkait KERJA SAMA TNI-POLRI atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri