tirto.id - Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyoalkan fungsi Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI yang disahkan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Selasa (30/7/2019) lalu.
Fahmi memahami Koopssus TNI sudah memiliki posturnya jelas, jumlah kekuatannya jelas, kemampuannya jelas, anggarannya juga sudah jelas hingga penentuan komandan, yakni Brigjen Rochadi, Direktur A BAIS TNI. Kemudian, Koopssus sudah memiliki payung hukum berupa Perpres 42/2019.
Namun, Fahmi menanyakan momentum apa kelompok ini digerakkan. Meski disebut kemampuan Koopsus TNI penangkal, penindak, dan pemulih, Fahmi mengingatkan tim yang dibentuk TNI baru bisa bergerak bila diminta Polri.
"Aturan main menyebutkan bahwa partisipasi TNI dalam penegakan keamanan dalam negeri, bersifat perbantuan alias diundang. Penjuru untuk urusan ini adalah Polri. Maka, jika diminta ya berangkat, tapi bagaimana jika tidak diminta?" kata Khairul Fahmi dalam keterangan tertulis, Rabu (31/7/2019).
Fahmi menerangkan, Koopssus TNI dibentuk berdasarkan UU No. 34/2004 pasal 7 (2) huruf b tentang operasi militer selain perang (OMSP) mulai angka 1 hingga angka 14.
Namun, tugas OMSP untuk Koopssus TNI jelas-jelas bersentuhan dengan UU No. 2/2002 pasal 13 yang menyebutkan bahwa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dengan rincian disebut pada pasal selanjutnya, adalah tugas pokok Polri.
Walau tugas TNI sudah diatur dalam pasal 7 ayat 3 dinyatakan dilaksanakan berdasar kebijakan dan keputusan politik negara, Fahmi memandang perlu ada pengaturan khusus yang jelas dan tegas tentang persentuhan tugas tersebut.
Sejauh ini, dalam kacamata Fahmi, urusan undangan alias perbantuan pada Polri masih mengandalkan kearifan Kapolri, bisikan tetangga dan arahan dari pejabat senior. Payung hukum kerja sama TNI-Polri juga abu-abu. Sebab, tak ada ukuran, indikator, parameter, atau apapun sebutannya, yang bisa menunjukkan kapan dan dalam situasi seperti apa TNI bisa diperbantukan atau dimintai bantuan.
Nota kesepahaman antara Panglima TNI dan Kapolri juga tak cukup jelas merinci urusan ini. Itupun masih harus kita imbuhi catatan jika nota kesepahaman dapat disebut sebagai payung hukum.
Oleh karena itu, Fahmi mendorong agenda lanjutan setelah pembentukan Koopssus TNI adalah pemerintah segera merumuskan persoalan tugas perbantuan TNI ini dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sekurang-kurangnya berupa peraturan pemerintah, atau bisa segera dalam bentuk Undang-Undang.
Namun, perumusannya harus dilakukan cermat dan hati-hati. Sebab, salah satu alasan pemisahan Polri dari TNI adalah untuk memastikan "criminal justice system" bisa berjalan sebagaimana mestinya, memiliki demarkasi yang jelas dengan angkatan bersenjata dan menjamin tegaknya prinsip-prinsip hak asasi manusia dan demokrasi.
"Tanpa itu semua [pengaturan peran TNI-Polri] saya khawatir jika Koopsus TNI ini kemudian sekadar ibarat anjing herder dengan tali kekang. Gagah, bertaring tajam, gonggongannya serem, pakaian dan perawatannya mahal namun cuma terkungkung di halaman rumah," kata Fahmi.
"Atau justru sebaliknya --dan ini yang jadi kekhawatiran-- gelaran Koopsus malah menjadi potensi benturan baru antara TNI dan Polri dalam urusan keamanan dan pengamanan. Gerak cepat pembentukan Koopsus TNI, menunjukkan ada ambisi kuat untuk segera operasional," pungkas Fahmi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri