tirto.id - Artikel sebelumnya di tautan berikut: Mengapa Orang Brasil Pilih Politikus Lawas Jadi Presiden?
Dua dekade silam, Luiz Inácio Lula da Silva atau populer dipanggil Lula saja menjadi Presiden Brasil berkat sejumlah janji kampanye. Saat ini ia kembali memperebutkan posisi yang sama dan sangat mungkin terealisasi. Menariknya, betapa mirip cita-cita yang diusung sekarang dengan yang dulu.
Hal ini tentu saja memunculkan kesan bahwa tidak ada kemajuan sosioekonomi yang berarti di negara tersebut selama ini.
Dalam wawancara terbaru, Lula berujar: “Prioritas saya adalah memastikan setiap orang bisa sarapan, makan siang, dan makan malam setiap hari.” Pernyataan tersebut seperti pengulangan dari ucapannya pada Oktober 2002, persis setelah dinyatakan menang pilpres: “Jika setiap penduduk bisa makan tiga kali sehari, terpenuhi sudah misi dalam hidup saya.”
Namun keprihatinan Lula memang mencerminkan kenyataan Satu momok yang kembali menghantui Brasil sekarang adalah kerentanan pangan. Berdasarkan laporan yang dirilis bulan Juni lalu oleh lembaga riset pangan Rede Penssan, 33 juta penduduk Brasil mengalami kelaparan.
Jumlah yang hampir sama juga ditemui pada dekade 1990-an. Oleh karena itulah Brasil pernah dimasukkan oleh PBB ke dalam Peta Kelaparan.
Kasus kerentanan pangan dilaporkan berangsur turun antara 2004 dan 2013—meliputi era kepemimpinan Lula dan penerusnya dari Partai Buruh, Dilma Rousseff (2011-2016). Akhirnya, pada 2013, nama Brasil dihapus dari Peta Kelaparan dan setidaknya 77 persen populasi berhasil mencapai ketahanan pangan. Kala itu, hanya 3,6 persen dari total penduduk yang mengalami kerentanan pangan akut.
Mirisnya, kinerja pemerintah yang dimotori oleh Presiden Rousseff beserta Partai Buruh justru memburuk dan performa ekonomi Brasil kian merosot. Dilansir dari BBC, ekonom sepakat bahwa salah satu biang kejatuhan ekonomi adalah pemerintahan yang terlalu banyak menghabiskan anggaran pada 2013.
Ada juga yang menilai pemerintah menggelontorkan uang terlalu besar untuk tunjangan dan program kesejahteraan, termasuk pensiun yang sebagian diberikan pada pekerja usia 50-an. Kemudian juga berbagai manfaat lain yang nilainya besar, terutama untuk para PNS.
Selama resesi berlangsung pada 2015-2016, kontraksi ekonomi nyaris menyentuh angka 7 persen, dengan pertumbuhan setelahnya berkisar satu persen saja.
Ketika Jair Bolsonaro terpilih menjadi presiden pada 2018, kerentanan pangan akut meningkat sampai 5 persen.
Kesulitan pangan ini semakin kentara selama pandemi Covid-19 berlangsung. Tahun lalu bahkan terdapat laporan tentang antrean warga untuk menerima donasi tulang-belulang daging sapi yang biasanya dijadikan pakan binatang peliharaan.
Pandemi juga mendorong semakin banyak warga jatuh ke lubang kemiskinan ekstrem—dalam sebulan hanya mampu menghasilkan 246 reais atau tak sampai Rp800 ribu. Jumlahnya meningkat jadi sekitar 27 juta orang atau 12,7 persen dari total populasi—tertinggi tertinggi sejak 2011 atau setelah masa jabatan Lula.
Di samping itu, tingkat pengangguran juga meroket selama satu dekade terakhir. Antara 2012 sampai 2019, jumlah orang yang menganggur naik nyaris dua kali lipat: dari 7,6 juta jiwa hingga 13,4 juta jiwa. Pada puncak pandemi di April 2021, Brasil mencatat rekor tingkat pengangguran tertinggi, yakni 14,8 juta orang atau 14,7 persen dari total populasi.
Solusi Lula untuk Brasil
Dengan semua masalah itu, solusi apa yang ditawarkan Lula untuk meringankan beban mereka yang kelaparan dan terhimpit kemiskinan? Jawabannya tentu saja standar, yaitu perbaikan ekonomi, salah satunya dengan perluasan lapangan kerja.
Akan tetapi, ketika ditanya tentang langkah konkret untuk mendorong ekonomi, respons Lula terkesan berputar-putar—atau dasarnya memang belum spesifik saja.
Sebagai contoh, dalam wawancara dengan Timeyang terbit Mei silam, Lula menolak bicara tentang kebijakan ekonomi sebelum dinyatakan resmi sebagai pemenang. “Karena saya sudah jadi presiden dua kali,” ujarnya. “Kalian harus paham, alih-alih bertanya apa yang akan saya lakukan, lihat saja apa yang sudah pernah saya lakukan.”
Sementara kepada Economistyang mewawancarainya September kemarin, sang mantan presiden mengawali jawabannya dengan sederet klaim prestasi kepemimpinannya terdahulu: rata-rata pertumbuhan ekonomi 4,5 persen, penurunan utang pemerintah dari 60 persen PDB jadi 39 persen, keberhasilan melunasi utang ke IMF, cadangan devisa yang menggemuk, sampai kenaikan upah minimum 77 persen dan meningkatnya taraf hidup kalangan termiskin.
Paling pol, Lula sekadar menyampaikan pandangan tentang pentingnya pemerintah jadi agen pendorong yang memicu atau menyetrum pembangunan.
Menurut Lula, yang mengaku tidak hobi melakukan nasionalisasi, negara perlu melakukan intervensi pada sektor yang tidak mampu ditangani oleh swasta, seperti konstruksi atau pembangunan. Salah satu caranya dengan mengajak lembaga perbankan negara atau bank BUMN agar ikut serta berinvestasi pada proyek-proyek tersebut.
Meskipun ingin negara lebih terlibat dalam urusan ekonomi, Lula tetap menganggap penting peran swasta, termasuk dari luar negeri.
Apabila nanti terpilih jadi presiden lagi, kata Lula pada Economist, diaingin bergegas melakukan rapat dengan para gubernur untuk membahas proyek prioritas di setiap negara bagian yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja, seperti pembuatan jalur kereta, jalan tol, perumahan, sampai di bidang sanitasi.
Janji kampanye Lula yang lain berkaitan dengan program kesejahteraan dalam wujud bantuan langsung tunai untuk kalangan miskin, yang sudah digencarkan administrasinya sejak dua dekade silam, Bolsa Familia. Pada era kepresidenan Bolsonaro, namanya diganti jadi Auxilio Brasil.
Lula mengusahakan agar bantuan tersebut nilainya tetap 600 reais (sekitar Rp 1,7 juta) setiap bulan sampai tahun depan—ditambah dengan ekstra 150 reais bagi keluarga yang punya anak sampai usia 6 tahun.
Selain itu, Lula berencana menghapus aturan tentang pembatasan pengeluaran negara supaya ia bisa menggelontorkan sumber daya lebih banyak di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dirinya juga akan mereformasi sistem pajak dengan menarik uang lebih tinggi dari kalangan terkaya.
Semua program di atas memang tampak menarik. Tapi rencana adalah satu hal, realisasi merupakan hal lain.
Lula mungkin sulit menerapkannya karena tersandung legislatif, Kongres Nasional Brasil. Lembaga tersebut masih didominasi oleh anggota dewan dari spektrum politik kanan, termasuk dari partai penyokong Bolsonaro, Partido Liberal.
(Bersambung...)
Editor: Rio Apinino