tirto.id - Kasus penistaan agama yang menjerat Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama melebar kemana-mana. Seperti diketahui, Ahok berencana melaporkan beberapa orang saksi seperti Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Irena Handono, Muchsin Alatas dan Wilyudin Abdul Rasyid Dhani terkait kesaksian palsu yang ditudingkan Ahok kepada empat orang tersebut.
Di sisi lain, Novel pun melawan. Dia berencana melaporkan Ahok terkait tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik dalam konteks salah penulisan saat berita acara perkara (BAP).
Menyikapi hal ini, Ketua Lembaga Saksi dan Perlindungan Korban (LPSK) Abdul Haris Samendawai menilai tindak saling lapor ini bisa berdampak buruk bagi dunia pengadilan Indonesia. Alasannya, karena menimbulkan orang takut untuk menjadi saksi. Ada ketakutan saat jadi saksi maka siap-siap saja dikriminalisasi akibat keterangan di persidangan yang memberatkan terdakwa.
"Kalau saling lapor terus proses hukumnya tidak jelas ini kan membuat orang takut untuk melapor, membuat orang yang memberikan kesaksian juga khawatir. Terus langsung dilaporkan memberikan keterangan palsu. Situasi Ini kan situasi yang tidak kondusif," ujar Haris di Gedung LPSK, Jakarta, Selasa (31/1/2017).
Terkait dengan kasus penistaan agama yang menjerat Ahok, sampai saat ini saksi-saksi pemberat terdakwa diketahui belum meminta bantuan kepada LPSK. “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa mereka akan meminta perlindungan ke LPSK seperti Novel. Tapi sampai sekarang, Novel dan pengacaranya belum datang-datang, ” ujarnya.
Lalu bagaimana terkait tuduhan laporan palsu yang diarahkan Ahok pada saksi-saksi ini?
Ia mengatakan, LPSK tidak bisa serta-merta untuk melindungi saksi, apalagi jika ada saksi yang membawa keterangan palsu. Namun, soal saksi tersebut berkata benar atau tidak bukan wewenang LPSK, tetapi aparat penegak hukum. “Nah yang punya kemampuan untuk menguji itu kan penegak hukum. Dari pihak kepolisian penyidik. Jadi kita sampai sekarang belum tahu apakah tuduhan memberikan keterangan palsu itu, benar atau tidak,” tutur Haris.
Hal senada diungkap, Direktur Eksekutif Indonesia for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono. Dalam sidang Ahok, Keterangan itu palsu atau tidak ada di tangan hakim. Meskinya yang vokal menyuarakan ini hakim, bukan kuasa hukum terdakwa.
Widodo mengatakan, hakim berwenang menyatakan keterangan saksi itu palsu atau tidak diantaranya dengan mengecek berkas BAP. Dari BAP itu majelis hakim bisa mencocokan apakah keterangan BAP itu selaras dengan kesaksian di persidangan atau tidak.
Kata Widodo, persidangan Ahok ini sebenarnya tidak sekadar berbicara kasus penistaan agama. “Intinya adalah mengadu kekuatan. Jadi bukan mencari kebenaran dalam pengadilan tetapi adu kekuatan di luar,” ujarnya.
Menurut Widodo, konflik pada sidang Ahok ini akan ditiru pada pengadilan pidana lainnya. Oleh karena itu, ia meminta agar publik lebih bijak dalam memandang pernyataan saksi. Jangan sampai muncul persepsi bahwa keterangan yang memberatkan terdakwa itu sama dengan keterangan palsu.“Yang dicek kualitas keterangannya pertama kalau keterangan enggak bagus di-counter aja dengan keterangan saksi yang lain,” ujar Widodo.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan