tirto.id - Cerita tentang lumbung kokaina (cocaine) di Kolombia bukan barang asing di kuping saya. Di Johannesburg, saya ketemu Paul Radu, dedengkot jurnalis investigasi yang menceritakan bisnis legal bernilai miliaran dolar itu. Darinya, saya paham bagaimana Kolombia bisa jadi produsen 90 persen kokaina yang tersebar di seluruh dunia.
Radu pergi ke bagian utara Kolombia, tinggal dengan orang-orang lokal untuk mempelajari koka, “Tanaman koka, masuk jenis narkotika,” kata Radu. Dari daun koka, kau akan menghasilkan kokaina. “Tapi orang-orang ini, mereka cuma menanam daun koka. Mereka tidak memproduksi narkoba. Mereka bukan penjual narkoba. Mereka memanennya untuk dijual ke orang lain yang memproduksinya jadi pasta, tahap pertama supaya jadi kokaina,” tambah Radu.
Pasta sudah termasuk narkoba, yang kemudian dijual ke orang-orang yang memproduksinya jadi kokaina. Saya diingatkan lagi tentang Radu dan pengalamannya menguak skema bisnis itu ketika menonton film teranyar karya Fernando León de Aranoa, Loving Pablo. Sebuah biofilm tentang Raja Narkotika dari Kolombia: Pablo Escobar.
Cerita Radu waktu itu seru. Mendengar kisah jurnalis yang langsung terjun menghadapi marabahaya demi sepotong berita memang menegangkan. Cara itu pula yang dipakai Aranoa. Loving Pablo dinarasikannya lewat suara Virginia Vallejo, seorang jurnalis-selebritas yang punya kedekatan khusus dengan Escobar. Vallejo diperankan Penélope Cruz aktris Hollywood keturunan Spanyol.
Film ini diadaptasi dari memoir Vallejo tentang mantan pacar dalam buku Loving Pablo, Hating Escobar. Maka, tak heran ceritanya tak cuma berfokus pada kisah hidup sang Raja Narkotika yang diperankan Javier Bardem, suami Cruz. Perspektif Vallejo juga kental dijahit Aranoa dalam filmnya. Sehingga pesan-pesan feminisme tak mungkin tak menonjol.
Salah satu pesan paling kasatmata adalah bagaimana bisnis duniawi memperlakukan perempuan. Vallejo mencitrakan dirinya sebagai seorang perempuan mandiri. Satu dari sedikit sekali mereka yang berhasil mencapai sukses. Ia sangat marah bila disebut bukan siapa-siapa, atau dianggap mendompleng kekayaan dari Escobar.
“Aku sudah punya nama jauh sebelum bertemu denganmu,” katanya pada Escobar sendiri dalam sebuah makan malam romantis.
Vallejo juga perempuan yang berani, meski ia bukan jurnalis yang jujur. Ia pertama kali bertemu Escobar di sebuah pesta yang jadi kedok penasbihan sang Kingpin jadi penguasa tertinggi bisnis kokaina di Kolombia. Alih-alih merasa terancam, berkat kepercayaan dirinya pada pesonanya, Vallejo justru merasa aman di sarang mafia itu.
Vallejo sama sekali tak salah, Escobar kelak memang akan jadi penguasa Kolombia sekaligus buronan dunia. Di Kolombia, ia sudah ada di sarang sang bandit, tempat mana lagi yang lebih aman?
Perspektif percaya diri itu diukir tebal Aranoa. Lewat mata kamera penonton akan sadar, betapa percaya dirinya Vallejo muda. Mata semua anak buah Escobar selalu ganjen meliriknya tiap kali ia lewat. Ia tak risih, malah menganggapnya sebagai pujian. Ia sadar pandangan-pandangan nakal itu sulit dilarang, sekaligus yakin kalau para cecenguk itu tak akan berani menyenggol ‘tropi’ sang bos. Vallejo memang mafhum, kalau dirinya cuma dianggap Escobar sebagai pajangan prestisius.
Cerita tentang serbuk kokaina dan pasta—seperti yang dikisahkan Radu—juga hadir di Loving Pablo. Di tengah film, Escobar mengajari putra sulungnya Juan Pablo tentang beda dua benda itu. “Jangan pernah makan dua-duanya, oke? Paham, kan?” tanya Escobar sampai anaknya mengangguk.
Ia memang dikenal cerdik dan cerkas. Escobar adalah salah satu ikon sekaligus legenda paling dikenang dari tanah Kolombia. Namanya mulai mendunia pada awal 90-an, saat Kolombia dikenal sebagai penyetok 80 persen kokaina yang masuk ke Amerika Serikat. Kartel Medellin, pimpinan Escobar, diperkirakan menghasilkan 70 juta dolar AS per hari. Kekayaan sang Kingpin bahkan diduga mencapai 30 miliar dolar AS.
Pada masa itu, Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan jadi salah satu pemimpin dunia yang memulai perang dengan narkoba dan narkotika karena terpengaruh bisnis ilegal Escobar. Salah satu perang yang kini juga jadi propaganda populer di Indonesia.
“Ingat kata Ibu Nancy Reagan,” kata Escobar pada putra sulungnya Juan Pablo. “Jauhi narkoba. Kata-kata perempuan itu benar,” sambungnya.
Karakter Escobar yang ditonjolkan Aranoa memang terkesan konyol dan kocak. Meski begitu Ia tetap dingin, keras, dan tegas. Namun, lebih sering kita menemui dialog-dialog dan adegan yang membuat figur Escobar tampak lebih humanis. Terutama ketika bicara tentang anak dan istrinya. Di kalangan keluarga dekat, ia bahkan bercitra hangat. “Selera humor Pablo masih belum berubah ya,” kata salah seorang kerabat yang menjenguknya di penjara buatannya sendiri, saat bilang ingin membelikan es krim di tengah kota untuk putrinya Manuella.
Selain cara Aranoa menjabarkan kisah Escobar lewat narasi Vallejo, lakon sepasang suami-istri ini memang jadi elemen paling menonjol dalam film ini. Bardem dan Cruz memang bukan nama baru. Kualitas mereka sudah harum di berbagai ajang dan festival film, termasuk Oscar yang paling populer.
Ada satu adegan di hampir ujung film yang jadi pamungkas pertunjukan kualitas Bardem-Cruz. Pasca nasib Escobar makin terancam karena badan intelijen Kolombia yang bekerja sama dengan Amerika Serikat, Escobar dan Vallejo terlibat cekcok panas. Konten dialog mereka dibalut dialog domestik, yang sepertinya cuma membahas hidup dua karakter ini. Padahal ada muatan yang lebih besar di sana: nasib bisnis kokaina Escobar, politik luar-negeri Kolombia-AS, bahkan secuil anak haram budaya patriarki yang gamblang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua.
Geraman, tangis tersedak, dan ingus Cruz yang naik-turun benar-benar jadi gong dalam adegan itu. Ada jeda dua detik yang juga bikin ujung cekcok Vallejo-Escobar jadi makin menyayat.
Kemampuan bernarasi Vallejo sebagai seorang jurnalis boleh dibilang baik. Kisah Pablo Escobar yang sudah sering kita dengar (paling anyar adalah yang dirayakan Netflix lewat serial Narcos), tetap saja menarik. Dramatis, khas telenovela yang juga ciri khas Kolombia. Namun, dikemas dengan sinematografi yang rapi lewat tangan Aranoa.
Karena Vallejo jelas bukan jenis jurnalis seperti Radu, maka tak usah heran dengan eleman drama itu. Toh, sejak awal, film Aranoa sudah memperingatkan penonton tentang beberapa elemen yang sengaja didramatisirnya.
Editor: Nuran Wibisono