tirto.id - Minggu, 31 Juli lalu, lima penerbangan Lion Air terlambat belasan jam. Ratusan penumpang terlantar di Bandara Soekarno-Hatta hingga Senin. Mereka emosi dan sempat mengamuk lalu memblokir landasan pesawat maskapai itu di Terminal 1A.
Lima penerbangan yang terlambat itu adalah untuk tujuan Banjarmasin, Bengkulu, Lombok, dan dua penerbangan ke Surabaya. Tak hanya penumpang di Bandara yang bereaksi, masyarakat luas, melalui media sosial juga ikut meluapkan amarahnya, sebab mereka juga punya pengalaman menunggu berjam-jam karena penerbangannya terlambat.
Berbagai istilah yang memelesetkan nama Lion Air muncul di media sosial, mulai dari “Lie on Air, We Make People Cry” hingga “Delayion Air, We Make People Delay”. Padahal tagline asli maskapai itu adalah We Make People Fly.
Terlambat belasan jam pada akhir Juli itu bukan pertama kalinya. Maskapai yang dipimpin Rusdi Kirana ini memiliki rekam jejak panjang dalam hal keterlambatan, bukan hanya di Soekarno Hatta, tetapi juga bandara-bandara lain di Indonesia.
Meski dihujat karena sering terlambat, karena bagasi rusak, karena nomor tempat duduk ganda, hingga mendapat hukuman dari pemerintah, maskapai berlogo singa merah ini masih menjadi raja di pasar maskapai Indonesia. Itu artinya, mayoritas pengguna pesawat terbang masih membeli Lion Air dengan segala ketidakpastian jadwalnya.
Tiketnya masih laris manis, karena memang biasanya lebih murah. Lion Air menguasai hampir setengah pasar penerbangan komersil. Tahun lalu saja, angkanya mencapai 41,6 persen. Sementara Garuda Indonesia hanya 23,5 persen.
Di posisi ke tiga, ada Sriwijaya Air dengan pangsa pasar 10,4 persen. Disusul Citilink 8,9 persen, Wings Air 4,7 persen, dan Air Asia Indonesia 4,4 persen. Selisih pangsa pasar yang cukup jauh antara Lion dan maskapai lainnya.
Dari segi jumlah pesawat, Lion juga masih juaranya dengan total 191 pesawat terhitung Januari tahun ini. Angka ini sebenarnya tak begitu jauh dari jumlah yang dimiliki Garuda, yakni 179 armada. Jumlah ini disusul Sriwijaya Air yang hanya 44 dan Air Asia yang memiliki 26 armada saja di Indonesia.
Pertumbuhan jumlah pesawat di industri penerbangan ini cukup signifikan. Tahun 2013, Lion hanya memiliki 118 armada. Artinya ada penambahan 73 pesawat selama tiga tahun. Begitu juga dengan Garuda Indonesia, tiga tahun lalu jumlahnya masih 106 pesawat, total penambahan armadanya juga sama, 73.
Sebagai maskapai yang secara pangsa pasar ada di posisi kedua dan secara kualitas disebut yang terbaik di Indonesia, Garuda Indonesia juga sedang ketar-ketir. Sepanjang Januari hingga Juni tahun ini, ia mencatat kerugian $63,2 juta atau sekitar Rp824 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, maskapai pelat merah ini membukukan laba bersih senilai Rp392,6 miliar.
Anjloknya bottom line ini disebut-sebut karena adanya perang harga. Direktur Utama Garuda Indonesia M. Arif Wibowo mengatakan kerugian yang dialami perseroan karena adanya persaingan yang cukup ketat di pasar domestik. Hal ini membuat Garuda harus bisa mematok harga yang cukup bersaing.
“Harga rata-rata kami turun 10 persen dibandingkan tahun lalu,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers, Senin (1/8/16). Kendatipun kapasitas Citilink naik 20 persen, tidak bisa menutupi penurunan pendapatan Garuda secara keseluruhan. Pada semester I ini, pendapatan Garuda turun 4,1 persen dibandingkan semester I tahun lalu.
Selain karena perang harga, kerugian yang diderita Garuda disebutkan karena melemahnya nilai tukar rupiah. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Helmi Imam Satriyono menyebutkan bahwa 80 persen pendapatan Garuda dalam rupiah, sedangkan laporan keuangan dicatatkan dalam dolar. “Jadi begitu dolar menguat, tentu akan ada koreksi,” katanya.
Tahun 2014, Garuda juga pernah menderita rugi parah mencapai $395,22 juta atau setara Rp4,89 triliun. Tahun itu, Garuda mendatangkan 31 pesawat baru. Ini adalah penambahan jumlah pesawat terbanyak dalam empat tahun terakhir.
Banyaknya pesawat baru membuat kapasitas kursi meningkat. Tetapi peningkatan ini tidak dibarengi oleh peningkatan penjualan. Selisih antara pengeluaran dan pendapatan itulah yang membuat kerugian membengkak.
Tahun 2015, Garuda berhasil berbenah diri dan mencetak laba $168,74 juta. Tahun ini, kerugian kembali menghantui.
Melihat besarnya pangsa pasar Lion dan Garuda yang begitu besar dan jauh di atas pesaing lainnya, akan cukup sulit bagi Sriwijaya, yang menempati posisi ketiga untuk mengejar. Apalagi jika tak ada penambahan jumlah armada dan penerbangan.
Dengan jumlah armada paling banyak, harga murah, dan rute penerbangan paling variatif, Lion tampaknya akan tetap memimpin pasar. Walaupun terus-terusan delay, sering merusak bagasi penumpang, dan sering membuat penumpang kebingungan dengan nomor kursi ganda. Ia hanya bisa berhenti jadi penguasa jika para konsumen bersepakat tak lagi menggunakan maskapai ini, meskipun harganya murah.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti